Bagaimanakah jika ketentuan perpajakan dalam UU Cipta Kerja diberlakukan dalam konteks asas lex specialis derogate legi generali, UU Cipta Kerja sebagai lex specialis, sedangkan UU Perpajakan sebagai lex generalis? Atau sebaliknya UU Perpajakan sebagai lex specialis, sementara UU Cipta Kerja sebagai lex generalis?
Pada hemat kami jika yang diterapkan adalah asas hukum lex specialis derogate legi generali, akan menimbulkan perdebatan dan bisa saja tidak mencapai kesepakatan. Mengapa? Karena pasti ada banyak yang berpandangan bahwa UU Cipta Kerja sebagai lex specialis, sedangkan UU Perpajakan sebagai lex generalis. Tentu tidak sedikit juga yang berpendapat bahwa UU Perpajakan sebagai lex specialis, sementara UU Cipta Kerja sebagai lex generalis.
Hal yang sangat penting dicermati justru dengan berlakunya UU Cipta Kerja adalah mengenai ‘saat-saat kritis’ terjadinya peralihan atau perubahan berlakunya UU Perpajakan, mengingat UU Cipta Kerja tersebut mulai berlaku saat diundangkan. Sementara disisi lain dalam UU tersebut tidak mengatur mengenai ketentuan peralihan bagi UU Perpajakan, khususnya yang mengalami perubahan (dari RUU Cipta Kerja Final yang kami dapatkan dari berbagai media).
Karena itu para stakeholder perpajakan, baik itu regulator perpajakan, fiskus, Wajib Pajak, hakim pajak, konsultan pajak, advokat pajak, harus amat sangat berhati-hati di masa peralihan ketentuan ini, mengingat dalam ketentuan peralihan kadang-kadang menimbulkan kesalahpahaman. Meskipun dalam UU Cipta Kerja maupun dalam UU Perpajakan mengamanahkan juga pengaturan dalam Peraturan Pemerintah, tetapi hal itu pasti ada jarak waktu antara berlakunya UU Cipta Kerja yang mengatur perpajakan dengan Peraturan Pemerintah yang juga mengatur perpajakan.
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sesuai dengan asas hukum yang baik tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang terdapat dalam UU karena terdapat asas lex superiori derogate legi inferiori.(hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang lebih rendah). Dan perlu membangun pardigma glossatorisme (melaksanakan ketentuan yang sesuai ketentuan yang mengamanahkan) bukan gladiatorisme (melaksanakan ketentuan yang tidak sesuai dengan ketentuan yang mengamanahkan).
IUS CONSTITUENDUM
 Jika kembali membaca uraian di atas khususnya terkait dengan jumlah ketiga UU Perpajakan diatas (KUP 7 UU, Pajak Penghasilan 8 UU, dan PPN 7 UU), sangatlah wajar jika nantinya kita dalam praktek jarang sekali menemukan stakeholder perpajakan dalam melaksanakan ketentuan perpajakan dengan cara membaca naskah UU yang ditandatangani Presiden, walaupun itu hanya foto kopi.
Kebanyakan yang dibaca adalah buku UU yang merupakan unifikasi pasal-pasal yang terdapat dalam UU yang sejenis (biasanya disebut Susunan Dalam Satu Naskah), yang kadang-kadang berbeda dengan UU yang ditandatangani Presiden. Bahkan penulis pernah menemukan buku UU yang menyajikan UU KUP hanya sampai Pasal 44B, pasal sesudahnya tidak ada. Padahal buku tersebut diterbitkan oleh instansi pemerintah.
Saat ini saja, kita temukan sebagian besar bahkan hampir semua stakeholder perpajakan ketika mencari ketentuan perpajakan melakukannya dengan cara membaca buku UU Perpajakan, bukan naskah UU yang ditandatangani Presiden. Kecuali ketika hendak menyusun peraturan perundang-undangan atau beracara di lembaga peradilan, termasuk di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jadi dengan masing-masing jumlah UU yang seperti itu, tentu akan semakin jarang stakeholder dalam mencari peraturan dengan membaca naskah yang ditandatangani Presiden walaupun itu hanya foto kopi.
Kemudian bagaimanakah sebaiknya UU Perpajakan dalam konteks Ius Constituendum (hukum yang kita cita-citakan)? Â Pada hemat kami seyogianya kita mulai memikirkan dan menyusun UU (dan peraturan perundang-undangan lainnya) yang paling ideal dan juga turut mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tujuan Negara dalam Pembukaan Konstitusi kita, baik dari sisi arsitektur peraturannya maupun materi yang diatur.
Menyatukan semua UU Perpajakan menjadi satu UU merupakan suatu keharusan, baik itu konteksnya satu jenis UU maupun beberapa UU menjadi satu UU. Misalnya UU KUP yang jumlahnya 7 (tujuh) UU harus digabungkan menjadi satu UU, UU Pajak Penghasilan yang jumlahnya 8 (delapan) UU juga harus disatukan dalam satu UU, UU PPN yang jumlahnya tersebar di 7 (tujuh) UU juga harus digabungkan menjadi satu UU, demikian juga UU Perpajakan lainnya yang terdiri dari beberapa UU agar dibuat menjadi satu UU.