Hubungan dalam keluarga adalah pondasi utama dalam kehidupan kita. Namun, tanpa disadari, ada tiga kebiasaan yang sering dilakukan yang dapat merusak keharmonisan tersebut. Dengan memahami lebih dalam kebiasaan-kebiasaan ini, kita bisa belajar untuk membangun hubungan yang lebih sehat dan saling menghargai.
1. Suka Menyalahkan
Menyalahkan sering menjadi respons spontan ketika sesuatu tidak berjalan sesuai harapan. Dalam keluarga, kebiasaan ini bisa muncul dalam situasi sederhana, seperti menyalahkan anak atas nilai buruknya atau menyalahkan pasangan karena lupa melakukan sesuatu.
Namun, apa yang sebenarnya terjadi ketika kita menyalahkan? Orang yang disalahkan akan merasa disudutkan, bahkan ketika mereka mungkin tidak sepenuhnya bersalah. Kebiasaan ini juga menciptakan jarak emosional, karena orang yang disalahkan akan cenderung menghindar daripada mencoba memperbaiki keadaan.
Yang perlu dipahami adalah, menyalahkan bukanlah solusi. Sebaliknya, itu hanya reaksi yang lahir dari emosi sesaat. Dengan memahami hal ini, kita bisa mulai mengubah fokus dari "siapa yang salah" menjadi "apa yang bisa dilakukan bersama."
2. Terlalu Sering Mengomeli
Mengomeli adalah bentuk komunikasi yang penuh emosi, biasanya dilakukan untuk menegaskan sesuatu. Namun, bagi yang menerima, omelan sering kali terasa seperti serangan, bukan perhatian.
Dalam hubungan keluarga, mengomeli bisa menjadi kebiasaan yang tidak disadari. Orang tua, misalnya, mungkin merasa perlu terus-menerus mengingatkan anak tentang tanggung jawabnya. Namun, omelan yang terlalu sering justru membuat anak merasa tertekan dan kehilangan motivasi.
Lebih penting lagi, mengomeli bisa membuat pesan yang ingin disampaikan tidak sampai dengan baik. Ketika suara keras dan nada negatif mendominasi, perhatian penerima justru tertuju pada rasa tidak nyaman, bukan pada isi pesan.
Dengan memahami ini, kita bisa mulai mengganti omelan dengan cara komunikasi yang lebih efektif dan penuh kasih sayang.
3. Mengkritik Tanpa Memberikan Dukungan
Kritik adalah bagian dari kehidupan. Dalam keluarga, kritik sering diberikan dengan niat baik untuk membantu seseorang berkembang. Namun, jika kritik disampaikan tanpa rasa empati atau dukungan, hal ini justru bisa merusak hubungan.
Kritik yang tidak diiringi dukungan dapat dirasakan sebagai bentuk penolakan atau penghinaan. Anak yang sering dikritik tanpa dipuji atas usahanya, misalnya, akan tumbuh dengan perasaan bahwa dirinya tidak pernah cukup baik.
Untuk memahami mengapa kritik bisa melukai, kita perlu melihat dari sudut pandang orang yang dikritik. Ketika seseorang mendengar kritik, mereka bukan hanya mendengar kata-kata, tetapi juga merasakan emosi di baliknya. Kritik tanpa dukungan terasa seperti serangan, bukan pembelajaran.
Dengan memahami pentingnya dukungan dalam kritik, kita bisa mulai menyampaikan kritik dengan cara yang lebih membangun dan menciptakan hubungan yang lebih kuat.
Tiga kebiasaan ini---menyalahkan, mengomeli, dan mengkritik tanpa dukungan---sering kali dilakukan tanpa kita sadari. Dengan lebih memahami bagaimana kebiasaan-kebiasaan ini memengaruhi hubungan dalam keluarga, kita bisa belajar untuk lebih bijak dalam berinteraksi.
Hubungan keluarga yang harmonis tidak dibangun dalam sehari, tetapi dengan langkah-langkah kecil untuk memahami satu sama lain, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih nyaman, penuh kasih, dan saling mendukung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H