Mohon tunggu...
YASIR
YASIR Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWA

Mengajarkan berfikir kritis untuk masyarakat indonesia, dan berbagi pengetahuan lain.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Parenting Positif, Mengapa Memarahi Anak Bisa Menghambat Perkembangan Mereka

31 Desember 2024   17:50 Diperbarui: 2 Januari 2025   14:45 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar dari: chatgpt.com

Di Indonesia, kebiasaan orang tua memarahi anak masih sering terjadi. Pola asuh ini bahkan dianggap hal yang lumrah dan sudah menjadi tradisi turun-temurun. Orang tua memarahi anak dengan harapan anak menjadi disiplin, patuh, dan mengerti kesalahannya. Namun, apakah metode ini benar-benar efektif, atau justru menimbulkan dampak buruk pada mental anak?

Dampak Negatif Memarahi Anak

Memarahi anak, terutama dengan nada tinggi atau disertai ancaman, sering kali tidak memberikan efek positif jangka panjang. Sebaliknya, berikut adalah beberapa dampak negatif yang dapat terjadi pada anak:

  1. Rasa Takut Melakukan KesalahanAnak yang sering dimarahi cenderung takut untuk mencoba hal baru atau mengambil risiko karena khawatir dimarahi jika melakukan kesalahan. Akibatnya, anak menjadi kurang kreatif dan enggan bereksplorasi.

  2. Kepercayaan Diri yang MenurunKetika anak terus-menerus dimarahi, mereka bisa merasa bahwa dirinya tidak cukup baik atau selalu salah. Hal ini dapat menurunkan rasa percaya diri mereka, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan mereka untuk bersosialisasi dan berkembang.

  3. Respon Emosional yang Tidak Sehat  Anak yang sering dimarahi bisa menunjukkan berbagai reaksi emosional, seperti menangis, menjadi pendiam, atau bahkan melawan. Dalam jangka panjang, anak mungkin menyimpan rasa sakit hati atau kebencian terhadap orang tua.

  4. Trauma dan StresPola asuh yang penuh dengan kemarahan dapat menyebabkan trauma emosional. Anak yang terus-menerus hidup dalam ketakutan berisiko mengalami stres kronis, yang dapat berdampak buruk pada kesehatan mental mereka di masa dewasa.

Mengapa Tradisi Ini Masih Dilakukan?

Ada beberapa alasan mengapa kebiasaan memarahi anak masih dipertahankan di banyak keluarga di Indonesia:

  1. Warisan Pola Asuh TradisionalBanyak orang tua mempraktikkan metode yang sama seperti yang mereka alami semasa kecil. Mereka berpikir bahwa dimarahi adalah bagian penting dari mendidik anak.

  2. Kurangnya Pengetahuan tentang Pola Asuh PositifTidak semua orang tua memahami bahwa ada cara lain untuk mendisiplinkan anak tanpa menggunakan kemarahan. Edukasi tentang pola asuh modern belum merata.

  3. Tekanan Ekonomi dan SosialOrang tua yang hidup dalam tekanan ekonomi dan sosial sering kali tidak memiliki kesabaran yang cukup untuk menangani anak dengan tenang. Kemarahan menjadi pelampiasan emosi mereka.

Alternatif Pendekatan yang Lebih Positif

Alih-alih memarahi anak, orang tua dapat mencoba pendekatan yang lebih positif untuk mendidik dan mendisiplinkan mereka:

  1. Komunikasi yang Empati Ketika anak melakukan kesalahan, cobalah untuk berbicara dengan tenang dan tanyakan alasan di balik tindakan mereka. Ini membantu anak merasa didengar dan dihargai.

  2. Berikan Contoh yang Baik  Anak cenderung meniru perilaku orang tua. Jika orang tua menunjukkan ketenangan dan sikap positif, anak akan belajar untuk menghadapi masalah dengan cara yang sama.

  3. Jadikan Kesalahan Sebagai Pelajaran  Daripada memarahi, ajak anak berdiskusi tentang apa yang bisa mereka lakukan berbeda di lain waktu. Pendekatan ini membantu anak belajar dari kesalahan tanpa merasa dihakimi.

  4. Latih KesabaranMengasuh anak  memang tidak mudah, tetapi orang tua perlu melatih kesabaran. Dengan bersikap tenang, orang tua bisa menciptakan lingkungan yang lebih nyaman bagi anak untuk tumbuh dan berkembang.

Membentuk Generasi yang Lebih Percaya Diri

Tradisi memarahi anak tidak lagi relevan di era modern yang menuntut generasi muda untuk kreatif, percaya diri, dan berani mengambil risiko. Sebagai orang tua, peran kita adalah membimbing mereka dengan kasih sayang dan pengertian, bukan dengan ketakutan. 

Dengan mengubah pola asuh menjadi lebih positif, kita tidak hanya membantu anak tumbuh menjadi individu yang lebih kuat, tetapi juga membangun generasi yang siap menghadapi tantangan masa depan.

Saatnya meninggalkan tradisi lama yang membebani mental anak dan beralih ke pola asuh yang lebih mendukung pertumbuhan mereka. Anak-anak adalah investasi masa depan bangsa; perlakukan mereka dengan cinta dan penghargaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun