agama yang cenderung membatasi kehidupan duniawi dengan dalih akhirat. Salah satu contoh yang cukup menggelitik adalah pandangan bahwa hal-hal seperti bekerja, menonton film, atau mengurus kebutuhan duniawi dianggap kurang penting karena tidak akan ditanyakan di akhirat. Sebaliknya, hal-hal seperti salat, puasa, atau ritual keagamaan lainnya dianggap sebagai satu-satunya yang perlu ditekankan.
Dalam beberapa kesempatan, sering kali kita mendengar pernyataan dari tokohPandangan seperti ini, meskipun berakar pada pemahaman agama, kerap kali tidak mencerminkan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Islam sendiri sebenarnya mengajarkan prinsip keseimbangan (wasathiyah), di mana kehidupan dunia dan akhirat harus berjalan seiring. Artikel ini akan mengkritisi pandangan-pandangan tersebut dan mengajukan alternatif pola pikir yang lebih relevan dengan realitas hidup manusia.
1. Kesalahan dalam Memisahkan Dunia dan Akhirat
Pernyataan yang sering terdengar adalah: "Di akhirat nanti, kita tidak akan ditanya apa pekerjaanmu, berapa rumahmu, atau film apa yang kamu tonton. Yang ditanya adalah bagaimana salatmu, puasamu, dan ibadahmu." Pernyataan ini sering diulang-ulang oleh para penceramah, seolah-olah ingin menekankan bahwa aktivitas duniawi tidaklah penting dibandingkan dengan ibadah.
Namun, pandangan ini sesungguhnya mengabaikan fakta bahwa manusia hidup di dunia dengan kebutuhan yang harus dipenuhi. Kita membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup, membutuhkan informasi untuk memahami dunia, dan membutuhkan hiburan sebagai cara untuk menjaga kesehatan mental. Bahkan, Al-Quran sendiri mengakui bahwa cinta manusia terhadap harta benda, anak-anak, dan kemewahan adalah sesuatu yang alami dan tidak dilarang selama tidak berlebihan (QS. Ali Imran: 14).
Lebih jauh, Islam tidak hanya membahas akhirat, tetapi juga mengatur bagaimana manusia menjalani kehidupan dunia dengan baik. Dalam Surat Al-Qashash ayat 77, Allah berfirman:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia."
Ayat ini dengan tegas menunjukkan bahwa kehidupan duniawi adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ibadah kepada Allah. Dengan demikian, pernyataan yang memisahkan dunia dan akhirat secara kaku justru bertentangan dengan ajaran Islam yang utuh.
2. Kesalahan dalam Memahami Prinsip Kehati-hatian (Syubhat)
Seringkali, pola pikir yang kaku ini juga terlihat dalam masalah syubhat (hal-hal yang meragukan). Misalnya, jika ada perbedaan pendapat ulama tentang hukum menggunakan celana pendek di atas lutut, sebagian orang dengan mudahnya berkata, "Hindari saja, karena kalau salah, kita bisa berdosa."
Pemikiran seperti ini, meskipun tampaknya menunjukkan kehati-hatian, justru menciptakan kebingungan dan ketakutan yang tidak perlu. Dalam Islam, perbedaan pendapat adalah sesuatu yang wajar, dan setiap pendapat ulama memiliki dasar argumen yang kuat. Kita tidak perlu mempersulit diri dengan menghindari sesuatu yang sebenarnya diperbolehkan oleh sebagian ulama.
Surat Al-Maidah ayat 101 memberikan pelajaran yang sangat relevan dalam hal ini:
"Janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, akan menyusahkan kamu."
Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak memperumit agama dengan mempertanyakan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Sebaliknya, kita diajak untuk mengambil jalan tengah yang mendukung kemudahan dan manfaat bagi kehidupan kita.
3. Islam adalah Agama Kemudahan, Bukan Kesulitan
Salah satu prinsip mendasar dalam Islam adalah bahwa agama ini diturunkan untuk memudahkan umat manusia, bukan untuk menyulitkan mereka. Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda:
"Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada seorang pun yang mempersulit agama ini kecuali ia akan kalah."
Jika kita terlalu terfokus pada hal-hal yang kaku, seperti memperdebatkan panjang celana atau menilai seseorang hanya dari ritual ibadahnya, kita justru melupakan esensi Islam sebagai agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah:
"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya."
Dengan demikian, fokus kita seharusnya adalah pada bagaimana kita dapat memberikan kontribusi positif kepada sesama, bukan sekadar pada aspek-aspek superfisial yang tidak relevan.
4. Pentingnya Keseimbangan dalam Agama
Islam mengajarkan kita untuk hidup seimbang antara dunia dan akhirat. Tidak ada larangan untuk menjadi kaya, memiliki banyak rumah, atau menikmati hiburan, selama hal tersebut dilakukan dalam koridor yang benar. Bahkan, dengan memiliki kekayaan, kita bisa lebih banyak membantu orang lain, seperti bersedekah, membangun fasilitas umum, atau mendukung pendidikan.
Mengabaikan kebutuhan dunia dengan alasan akhirat adalah bentuk pengingkaran terhadap realitas. Faktanya, kita hidup di dunia dengan segala dinamikanya, dan kita harus menghadapi tantangan tersebut dengan bijak. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa bekerja keras atau mencari informasi adalah sesuatu yang kurang penting. Justru hal-hal tersebut adalah bagian dari ibadah, karena niatnya adalah untuk kebaikan.
Kesimpulan
Pandangan yang memisahkan dunia dan akhirat secara kaku adalah pandangan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Islam mengajarkan kita untuk menjalani kehidupan dunia dengan sebaik-baiknya, sembari tetap mengingat akhirat sebagai tujuan akhir. Tidak ada yang salah dengan bekerja keras, mencari kekayaan, atau menikmati hidup, selama itu dilakukan dengan cara yang benar dan tidak melupakan kewajiban kita kepada Allah.
Mari kita tinggalkan pola pikir yang kaku dan membatasi. Sebaliknya, marilah kita mengedepankan pola pikir yang seimbang dan relevan dengan realitas kehidupan. Islam adalah agama yang memudahkan, bukan agama yang membebani.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H