2. Efek Psikologis Harapan
Harapan memberikan ketenangan psikologis. Misalnya, dalam situasi krisis kesehatan, seseorang yang mendatangi pemuka agama untuk mendapatkan nasihat sering kali merasa lebih damai, meskipun masalahnya belum terselesaikan. Ketenangan ini dapat membantu seseorang membuat keputusan lebih baik atau bertahan lebih lama.
3. Narasi Harapan
Baik dokter maupun pemuka agama menggunakan narasi untuk menciptakan harapan. Namun, narasi mereka berbeda:
Dokter mungkin memberikan harapan melalui fakta ilmiah yang sering kali keras dan realistis.
Pemuka agama, di sisi lain, menawarkan harapan spiritual yang sering kali lebih diterima secara emosional, meskipun kurang konkret.
Contohnya adalah saat pandemi COVID-19. Banyak orang merasa terhibur oleh pidato para pemimpin atau tokoh agama yang menyatakan bahwa "kita akan melewati ini bersama," meskipun faktanya pandemi masih berlangsung lama. Narasi harapan seperti ini membantu masyarakat bertahan di tengah ketidakpastian.
Kesimpulan
Emosi dan harapan adalah dua kekuatan tak kasat mata yang menggerakkan manusia. Emosi seperti kebanggaan dan keberanian menciptakan persatuan yang kuat, sementara harapan memberikan alasan untuk bertahan meskipun keadaan tampak mustahil.
Sebagai manusia, kita hidup di dunia yang tidak hanya dipenuhi oleh fakta, tetapi juga oleh narasi besar seperti negara, agama, dan ideologi. Meskipun sering kali disebut sebagai "ilusi" oleh para pemikir modern, narasi-narasi ini justru menjadi fondasi utama keberlangsungan hidup manusia. Kita adalah spesies yang hidup melalui cerita, dan justru cerita-cerita inilah yang membuat kita bertahan, bersatu, dan maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H