Manusia adalah makhluk yang sangat emosional. Kemampuan ini telah membedakan kita dari makhluk lain dan menjadi salah satu alasan utama mengapa kita bisa bertahan sebagai spesies. Ketika Bung Karno membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945, hal yang paling penting bukan hanya isi teks itu sendiri, tetapi juga bagaimana pesan itu disampaikan. Kata-katanya menyentuh perasaan jutaan rakyat Indonesia, memantik kebanggaan, keberanian, dan tekad melawan penjajahan. Dalam hitungan jam, emosi kolektif ini menciptakan gelombang besar yang mengubah arah sejarah bangsa.
Tentu, jika dipikirkan secara logis, melawan penjajah yang memiliki kekuatan lebih besar terdengar mustahil. Namun, emosi mampu menggerakkan manusia melampaui logika. Inilah keunikan manusia: kita tidak hanya hidup berdasarkan fakta, tetapi juga oleh narasi, perasaan, dan harapan.
Peran Emosi dalam Persatuan
Emosi memiliki peran yang sangat besar dalam menciptakan dan mempertahankan persatuan. Pada saat Bung Karno membacakan teks proklamasi, ia tidak hanya menyampaikan sebuah pernyataan politik. Ia menyentuh jiwa rakyat dengan menyuarakan perasaan mereka: marah terhadap penjajahan, bangga sebagai bangsa, dan penuh harapan untuk masa depan.
1. Emosi Menghubungkan Manusia
Ketika kita berbagi emosi yang sama---baik itu kemarahan, kebanggaan, atau harapan---kita merasa lebih terhubung satu sama lain. Inilah yang terjadi pada 17 Agustus 1945: rakyat Indonesia yang sebelumnya terpisah oleh berbagai perbedaan menjadi satu karena berbagi rasa yang sama.
2. Emosi Lebih Kuat daripada Logika
Dalam banyak kasus, emosi mampu mendorong seseorang melakukan hal yang tampaknya mustahil. Jika hanya berdasarkan logika, melawan penjajah yang lebih kuat mungkin terasa sia-sia. Namun, perasaan seperti keberanian dan harapan membuat rakyat Indonesia melampaui ketakutan dan risiko.
3. Politik dan Emosi
Bahkan di era modern, emosi tetap menjadi senjata utama dalam politik. Pemimpin yang sukses bukan hanya mereka yang memiliki program kerja terbaik, tetapi juga mereka yang mampu membangun hubungan emosional dengan rakyatnya. Kampanye yang membangkitkan rasa bangga terhadap identitas nasional atau menyentuh harapan masa depan sering kali lebih efektif dibandingkan dengan sekadar janji program kerja.
Harapan yang Menyelamatkan Hidup
Manusia tidak hanya bergantung pada emosi untuk bersatu, tetapi juga pada harapan untuk bertahan. Dalam situasi sulit, harapan sering kali menjadi "ilusi" yang menyelamatkan.
1. Harapan Memberikan Tujuan Hidup
Ketika seseorang memiliki harapan, ia memiliki alasan untuk terus berjuang. Misalnya, seorang pejuang kemerdekaan yang percaya bahwa perjuangannya akan membawa kebebasan lebih mungkin bertahan daripada seseorang yang menyerah pada kenyataan pahit.
2. Efek Psikologis Harapan
Harapan memberikan ketenangan psikologis. Misalnya, dalam situasi krisis kesehatan, seseorang yang mendatangi pemuka agama untuk mendapatkan nasihat sering kali merasa lebih damai, meskipun masalahnya belum terselesaikan. Ketenangan ini dapat membantu seseorang membuat keputusan lebih baik atau bertahan lebih lama.
3. Narasi Harapan
Baik dokter maupun pemuka agama menggunakan narasi untuk menciptakan harapan. Namun, narasi mereka berbeda:
Dokter mungkin memberikan harapan melalui fakta ilmiah yang sering kali keras dan realistis.
Pemuka agama, di sisi lain, menawarkan harapan spiritual yang sering kali lebih diterima secara emosional, meskipun kurang konkret.
Contohnya adalah saat pandemi COVID-19. Banyak orang merasa terhibur oleh pidato para pemimpin atau tokoh agama yang menyatakan bahwa "kita akan melewati ini bersama," meskipun faktanya pandemi masih berlangsung lama. Narasi harapan seperti ini membantu masyarakat bertahan di tengah ketidakpastian.
Kesimpulan
Emosi dan harapan adalah dua kekuatan tak kasat mata yang menggerakkan manusia. Emosi seperti kebanggaan dan keberanian menciptakan persatuan yang kuat, sementara harapan memberikan alasan untuk bertahan meskipun keadaan tampak mustahil.
Sebagai manusia, kita hidup di dunia yang tidak hanya dipenuhi oleh fakta, tetapi juga oleh narasi besar seperti negara, agama, dan ideologi. Meskipun sering kali disebut sebagai "ilusi" oleh para pemikir modern, narasi-narasi ini justru menjadi fondasi utama keberlangsungan hidup manusia. Kita adalah spesies yang hidup melalui cerita, dan justru cerita-cerita inilah yang membuat kita bertahan, bersatu, dan maju.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H