Budaya masyarakat Indonesia cenderung lebih menghargai profesi yang dianggap "mapan" seperti dokter, insinyur, atau pegawai negeri. Anak-anak yang bercita-cita menjadi atlet sering kali dianggap tidak serius atau tidak memiliki masa depan yang cerah. Â
Pola pikir seperti ini membuat banyak orang tua enggan mendukung anak-anak mereka untuk mengejar karier di bidang olahraga. Bahkan, ketika seorang anak menunjukkan bakat di olahraga, mereka tetap didorong untuk fokus pada pendidikan formal daripada mengembangkan potensinya. Â
4. Kurangnya Program Pembinaan Usia Muda
Negara-negara yang sukses dalam mencetak atlet profesional, seperti Jepang, Jerman, atau Brasil, memiliki program pembinaan usia muda yang terstruktur. Di Indonesia, pembinaan seperti ini masih sangat minim. Klub olahraga atau akademi sepak bola, misalnya, sering kali hanya tersedia di kota besar, sementara anak-anak berbakat di daerah terpencil tidak memiliki akses yang sama. Â
Solusi:
- Mengembangkan lebih banyak program pembinaan usia muda di seluruh daerah. Â
- Memberikan insentif kepada pelatih dan akademi yang membantu mencetak atlet berbakat. Â
5. Kurangnya Dukungan dari Pemerintah dan Sponsor
Dukungan pemerintah terhadap olahraga masih sering kali kurang prioritas. Anggaran untuk pembangunan fasilitas olahraga atau pelatihan atlet sering kali kalah dengan sektor lain. Selain itu, sponsor dari pihak swasta juga lebih tertarik mendukung cabang olahraga populer seperti sepak bola, sementara olahraga lain sering kali diabaikan. Â
6. Mentalitas dan Motivasi Atlet
Banyak atlet muda di Indonesia yang kurang memiliki mentalitas kompetitif karena minimnya pembinaan yang berfokus pada pengembangan karakter dan disiplin. Negara-negara maju membangun mental juara sejak usia dini, sementara di Indonesia, banyak atlet muda yang belum terbiasa menghadapi tekanan kompetisi di tingkat internasional. Â
Kesimpulan
Minimnya atlet profesional di Indonesia bukan sepenuhnya kesalahan individu, melainkan masalah sistemik yang melibatkan berbagai pihak: Â