Dalam diskusi seputar agama, sering kali muncul pandangan bahwa kebenaran hanya bisa didapat dari ulama yang bersanad atau memiliki kredibilitas akademis tertentu, seperti mereka yang berkuliah di lembaga-lembaga agama seperti Madinah. Lebih jauh lagi, sebagian umat Islam menolak mentah-mentah pemahaman dari kelompok lain seperti Yahudi, Syiah, atau sumber-sumber di luar Islam. Mereka berpegang teguh bahwa ilmu harus diambil dari ulama terdahulu yang telah mapan dalam ajaran agama. Namun, apakah benar bahwa sumber kebenaran hanya terbatas pada ulama-ulama bersanad atau dengan latar belakang tertentu? Artikel ini akan membongkar pandangan tersebut dan menekankan bahwa verifikasi informasi jauh lebih penting daripada siapa yang menyampaikan.
1. Verifikasi Lebih Penting daripada Sumbernya
Dalam dunia yang penuh dengan informasi, yang paling penting bukanlah siapa yang menyampaikan suatu pengetahuan, tetapi bagaimana pengetahuan tersebut dapat diverifikasi. Dalam Islam sendiri, konsep tabayyun (memeriksa kebenaran) sangat ditekankan. Allah berfirman dalam Al-Qur'an: "Wahai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti..." (QS. Al-Hujurat: 6). Ayat ini menunjukkan bahwa informasi harus diperiksa, terlepas dari siapa yang menyampaikannya. Proses verifikasi adalah kunci dalam menentukan kebenaran, bukan identitas sumbernya.
2. Islam adalah Agama Ilmu Pengetahuan
Islam mengajarkan bahwa umatnya harus mencari ilmu dari berbagai sumber, bahkan dari orang-orang yang dianggap "berbeda" secara agama atau budaya. Dalam hadis terkenal, Rasulullah SAW bersabda: "Tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri China." Meskipun hadis ini tidak secara literal menyebutkan Yahudi atau Syiah, intinya adalah Islam mendorong umatnya untuk mencari ilmu dari mana pun, bahkan dari tempat yang jauh atau dari orang yang berbeda keyakinan. Jika ilmu itu benar dan dapat dibuktikan, maka itu tetaplah ilmu yang bermanfaat.
3. Kebenaran Tidak Monopoli Suatu Kelompok
Menganggap kebenaran hanya bisa datang dari ulama yang memiliki sanad atau kredibilitas akademis seperti Madinah adalah suatu kekeliruan. Sejarah Islam dipenuhi dengan contoh-contoh ulama dan cendekiawan yang mengambil ilmu dari berbagai sumber, bahkan dari filsafat Yunani, Hindu, atau tradisi lainnya. Ibnu Sina (Avicenna) misalnya, mempelajari filsafat Yunani dan pengobatan yang kemudian menginspirasi pemikirannya yang cemerlang di dunia Islam. Al-Ghazali juga mengkritik filsafat Yunani, tetapi tetap mempelajarinya untuk memahami argumen-argumen tersebut sebelum menyampaikan kritiknya.
4. Bahaya Doktrinasi yang Tertutup
Menolak secara mutlak pemahaman dari orang atau kelompok yang berbeda keyakinan tanpa mempertimbangkan isi dari argumen tersebut adalah bentuk dogmatisme yang membahayakan. Ini membatasi kemampuan umat Islam untuk berpikir kritis dan menyaring informasi. Alih-alih mengabaikan atau menolak langsung, umat Islam seharusnya membuka diri untuk memeriksa informasi dari berbagai sumber, selama informasi tersebut bisa diverifikasi dan mendukung kemaslahatan umat. Mengunci diri hanya pada satu kelompok atau pandangan justru bertentangan dengan semangat Islam yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan.
5. Ulama Terdahulu Juga Berbeda Pandangan
Tidak semua ulama terdahulu sepakat dalam berbagai hal. Fikih dan tafsir Islam kaya akan perbedaan pendapat (ikhtilaf). Hal ini menunjukkan bahwa para ulama sendiri memahami bahwa kebenaran bukanlah monopoli satu orang atau kelompok tertentu. Mereka terbuka terhadap diskusi dan verifikasi dari berbagai sudut pandang, dan ini seharusnya menjadi pelajaran penting bagi umat Islam di zaman sekarang.
6. Ilmu Adalah Anugerah dari Allah, Bukan dari Identitas Sosial
Kebenaran dan ilmu adalah anugerah dari Allah SWT. Sumber ilmu tidak harus berasal dari satu kelompok tertentu. Bahkan dalam sejarah Nabi Muhammad SAW, ada kisah di mana beliau belajar dari orang-orang di luar komunitas Muslim, seperti dalam hal taktik perang, di mana Nabi mengambil strategi dari Salman Al-Farisi, seorang Persia yang awalnya bukan Muslim. Ini menunjukkan bahwa Nabi sendiri bersedia belajar dari orang lain yang berbeda latar belakang.
7. Pentingnya Ilmu Universal
Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang pesat, dan umat Islam harus turut berperan serta dalam perkembangan ini. Dengan hanya membatasi sumber ilmu pada ulama-ulama tertentu atau lembaga-lembaga agama, umat Islam akan kehilangan kesempatan untuk mendapatkan ilmu yang relevan dengan kehidupan modern. Umat Islam perlu mengambil bagian dalam ilmu pengetahuan universal, baik itu dari barat, timur, atau kelompok lain, selama ilmu tersebut membawa manfaat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Kesimpulan
Pandangan bahwa kebenaran hanya bisa didapat dari ulama bersanad atau yang memiliki kredibilitas akademis tertentu, sementara menolak pemahaman dari sumber lain seperti Yahudi atau Syiah, adalah bentuk doktrin yang membatasi. Islam mengajarkan kita untuk berpikir kritis, mencari ilmu dari berbagai sumber, dan yang terpenting adalah memverifikasi kebenaran, bukan semata-mata melihat dari siapa ilmu itu berasal. Ambillah ilmu walau dari orang Yahudi---pesan ini menekankan bahwa ilmu dan kebenaran bisa datang dari mana saja, selama itu dapat diverifikasi dan memberikan manfaat. Verifikasi dan penyaringan informasi jauh lebih penting daripada siapa yang menyampaikan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H