Mohon tunggu...
Yasir Husain
Yasir Husain Mohon Tunggu... Guru - Guru

Teacher; Penulis Buku Nasihat Cinta dari Alam, Surga Menantimu, SETIA (Selagi Engkau Taat & Ingat Allah)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ada Perceraian, Beginilah Hikmah di Balik Pernikahan Sahabat Zaid bin Haritsah

6 Desember 2019   20:59 Diperbarui: 21 Juni 2021   12:49 1703
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ada Perceraian, Beginilah Hikmah di Balik Pernikahan Sahabat Zaid bin Haritsah. | Sumber: abanaonline.com

Zaid bin Haritsah, salah seorang sahabat yang pertama kali masuk Islam. Setia mendampingi Rasulullah Saw., hingga diangkat menjadi panglima perang pada Perang Mu'tah. Beliau kemudian wafat (syahid) dalam perang tersebut. Yang sangat istimewa, beliau satu-satunya Sahabat yang disebutkan namanya dalam Al-Qur'an secara eksplisit.

Bagaimana kesalehannya? Tentu beliau masuk Generasi terbaik sebagaimana dijelaskan Rasulullah Saw. dalam haditsnya.

Selanjutnya, bagaimana kehidupan rumah tangganya? Ternyata beliau juga pernah bercerai dengan istrinya. Dari perceraian itulah kemudian banyak hikmah yang terjadi. Banyak pelajaran hingga turunnya sebuah hukum tentang bolehnya menikahi mantan istri anak angkat.

Ya, mantan istri beliau, Zainab binti Jahsy kemudian dinikahi oleh Rasulullah Saw. yang adalah ayah angkat beliau.

Dari kejadian ini pula, rangkuman kisah pernikahan beliau dijadikan pelajaran. Mulai awal dijodohkannya dengan Zainab yang langsung ditanggapi Zainab dengan penolakan.

Sebagai catatan, pada waktu itu di kalangan masyarakat Arab masih kental perbedaan strata sosial. Kalangan atas dianggap tak selevel dengan kalangan bawah.

Baca juga: Kisah Sahabat Julaibib "Si-Buruk Rupa" yang Menjadi Rebutan Bidadari Surga

Zainab binti Jahsy dikenal memiliki strata sosial yang tinggi. Keluarga memiliki kedudukan dan kekuasaan. Sementara Zaid bin Haritsah hanyalah seorang budak yang dianggap memiliki strata sosial di bawah.

Inilah yang menjadi perbedaan mencolok antara keduanya. Rasulullah Saw. ingin mematahkan tradisi tersebut dengan menikahkan keduanya, sekaligus strata sosial tidak boleh dijadikan masalah untuk mengahalangi pernikahan. Lalu kemudian turunlah ayat yang menyangkut peristiwa ini, yaitu QS. Al-Ahzab: 36,

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) patut bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata." (QS Al Ahzab: 36)

Dengan turunnya ayat ini, tak ada lagi alasan bagi Zainab untuk menolak pernikahan dengan Zaid bin Haritsah. Lalu terjadilah pernikahan itu.

Seiring berjalannya waktu, perbedaan yang mencolok di antara keduanya tak juga bisa diatasi. Tetap saja ketidakcocokan menjadi hal yang dominan. Hingga kemudian perceraian pun diajukan, dan Rasulullah Saw. mengabulkannya.

Sebenarnya, kasus pernikahan Zaid bin Haritsah dan Zainab binti Jahsy mirip-mirip dengan pernikahan Rasulullah Saw. dengan Ibunda Khadijah. Sebagaimana yang diketahui, Khadijah adalah bangsawan yang kaya raya, sementara Rasulullah adalah orang yang bekerja untuk Khadijah waktu itu.

Tapi setelah pernikahan, Khadijah kemudian memercayakan seluruh hartanya kepada Rasulullah Saw. hingga terjadilah keseimbangan di antara keduanya untuk hidup rukun dalam pernikahan. Sayangnya hal ini tidak terjadi kepada Zaid bin Haritsah dan Zaenab binti Jahsy, hingga akhirnya keduanya bercerai.

Dari kejadian ini, ada banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik, di antaranya,

1. Strata Sosial bukanlah alasan untuk menghalangi pernikahan.

2. Walaupun Strata Sosial bukan menjadi alasan, akan tetap jika menikah dengan perbedaan strata sosial yang mencolok, dibutuhkan perjuangan besar untuk menemukan keseimbangan.

Baca juga: Zaid Bin Haritsah, Bekas Budak dan Satu-satunya Sahabat Nabi yang Namanya Diabadikan dalam Al Quran

3. Ada hadis Rasulullah Saw. yang menyerukan untuk menikahi yang sekufu (sederajat). Ini lebih memudahkan nantinya. Tapi jika kemudian memilih yang tidak sekufu, ada usaha keras yang harus dilakukan agar bisa seiring (poin kedua).

4. Perceraian bukanlah dosa jika dilakukan dengan tetap memerhatikan aturan-aturan syariat.

5. Perceraian bukanlah ukuran untuk menilai saleh atau tidaknya seorang karena hal ini pun pernah terjadi pada seorang sahabat bernama Zaid bin Haritsah.

6. Pernikahan adalah mempererat hubungan suami dan istri untuk menjalani ibadah dalam rumah tangga. Jika kemudian lebih banyak mudharatnya jika dipertahankan, tentu perceraian menjadi pilihan terbaik.

7. Zainab binti Jahsy kemudian menjadi istri Rasulullah Saw. sekaligus menjadi landasan hukum bolehnya menikahi mantan istri anak angkat. Zaid bin Haritsah dikenal sebagai anak angkat Rasulullah Saw. yang mantan istrinya, Zainab binti Jahsy, kemudian dinikahi oleh Rasulullah.

Nah, dari kisah ini tentunya banyak hal yang bisa kita petik. Salah satunya, jangan pernah menilai orang yang bercerai dari pernikahan sebagai orang yang memiliki aib besar. Kita tak pernah benar-benar tahu apa yang menjadi landasannya.

Perceraian bisa terjadi pada siapa saja. Tak memandang kedudukan, pekerjaan, gelar, dan status sosial. Perceraian adalah hal yang dibolehkan dalam agama tapi sangat dianjurkan untuk tak melakukannya dengan melakukan segala cara yang maksimal.

Perceraian dalam pernikahan adalah kejadian yang melibatkan dua orang. Jadi benar-benar tak bisa dijadikan ukuran untuk menilai baik buruknya seseorang secara pribadi.

Seseorang bisa saja memiliki banyak nasihat dan tip agar keluarga selalu harmonis dan jauh dari perceraian, dan ketika orang-orang menerapkannya maka benar-benar manjur dan mujarab. Itu bisa. Ketika nanti yang memberikan nasihat tiba-tiba bercerai bukan berarti nasihatnya omong doang.

Kembali lagi ke yang tadi, perceraian itu melibatkan dua orang. Nasihat indah tentang pernikahan baru benar-benar terealisasi jika kedua belah pihak (suami-istri) menjalankannya dengan baik.

Baca juga: Usamah bin Zaid: Sahabat Nabi yang Sangat Dicintai Rasulullah SAW

Kesimpulannya, jangan pernah mengesankan diri  dan berlagak paling suci di tengah kasus perceraian orang-orang yang bercerai, dengan menilai orang yang bercerai memiliki aib besar. Memberi nasihat tetap harus berjalan, memvonis buruk haruslah dihindari.

Zaid bin Haritsah adalah Sahabat Rasulullah Saw. Sangat dekat dengan Rasulullah Saw karena menjadi pelayan sekaligus anak angkat Rasulullah. Beliau juga menjadi Panglima perang kaum muslimin pada Perang Mu'tah lalu gugur sebagai syahid di dalamnya.

Beliau adalah satu-satunya sahabat yang namanya nyata disebutkan dalam Al-Qur'an. Kesalehannya? Tentu tak diragukan lagi. Nah, Zaid bin Haritsah saja dengan segala keistimewaan itu pernah bercerai dengan beberapa pertimbangan yang tentunya menjadikan perceraian itu adalah jalan terbaik, apalagi hanya orang-orang biasa atau generasi di belakang.

Perceraian adalah hal yang sangat diperintahkan untuk dihindari walaupun melakukannya bukanlah pelanggaran. Namun begitu, jika perceraian menjadi jalan terbaik maka itulah pilihannya. Maka sungguh keterlaluan jika ada orang yang memvonis keburukan-keburukan pada seseorang hanya karena melakukan perceraian.

Wallahu A'lam

Yasir Husain, Penulis Buku "Hadiah Spesial untuk Jiwa yang Gelisah"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun