Pesta umumnya dimengerti sebagai sebuah perayaan kegembiraan yang dihadiri oleh banyak orang. Karena itu untuk menyelenggarakan sebuah pesta dibutuhkan persiapan yang memadai, dalam hal ini anggaran atau biaya yang cukup. Â Dengan demikian bisa dibilang bahwa orang yang menyelenggarakan pesta adalah orang yang tergolong mampu atau kelompok yang berada.
Namun tidaklah demikian yang terjadi pada masyarakat di Desa Rana Mbata Kabupaten Manggarai Timur, provinsi NTT. Bagi masyarakat desa Rana Mbata, pesta merupakan kebiasaan yang sudah seharusnya dilakukan apa pun bentuk dan keadaannya.Â
Selain mengadakan pesta sekolah, pesta perkawinan, pesta adat kematian (kenduri), ada fenomena yang tergolong baru yakni pesta sambut baru. Setelah mencapai usia tertentu dan sudah dipersiapkan secara matang, seorang anak boleh menerima Sakramen Ekaristi. Untuk hal ini biasanya disebut Sambut Baru. Artinya, dalam upacara religius Sakramen Ekaristi seorang anak pertama kali menerima Hostia dan anggur.Â
Hostia (Latin: kurban) dan anggur yang menjadi simbol tubuh dan darah tanda pengorbanan dan kehadiran Yesus Kristus yang adalah jalan, kebenaran dan hidup bagi pemeluk agama Katolik.Â
Bagi saya pesta sambut baru di desa Rana Mbata tergolong baru karena pada masa saya dahulu tidak ada acara pesta syukuran besar-besaran setelah perayaan penerimaan Sakramen Ekaristi di Gereja. Kalau pun ada, biasanya sangat sederhana yakni semua anak-anak beserta orangtua penerima sakramen dikumpulkan di Aula Paroki dan menikmati makan minum ringan. Setelahnya kembali ke rumah masing-masing dan tidak ada acara lanjutan.Â
Namun, sekarang ini di kampung Mbata semua orangtua mengadakan pesta untuk anaknya yang sambut baru. Pesta sambut baru biasanya dilaksanakan pada bulan September atau bulan Oktober, semuanya tergantung kesepakatan pastor bersama dewan pastoral paroki. Jika pembaca berkesempatan bertualang ke kampung Mbata pada bulan yang disebutkan maka akan menjumpai keunikan pesta sambut baru di kampung tersebut.
Keunikannya adalah semua keluarga peserta sambut baru akan mengadakan pesta di rumah masing-masing. Alunan musik menggema memenuhi setiap sudut kampung. Semuanya berlomba-lomba menunjukkan volume musik yang keras. Hampir tidak ada keluhan karena semua warga berdendang ria menikmati suasana yang berlangsung hingga tengah malam.
Jika ada seratus orang anak yang sambut baru berarti ada seratus tempat pesta dengan dentuman musiknya masing-masing. Para tamu undangan pun dengan penuh semangat menghadiri semua pesta yang ada, membawa kado dengan nominal rupiah yang bervariasi, mulai dari sepuluh ribu hingga seratus ribu rupiah, tergantung kesanggupan masing-masing.Â
Fenomena pesta sambut baru tentu bukanlah hal yang baru untuk daratan Flores pada umumnya. Â Seiring berjalannya waktu, kampung Mbata juga ikut terpengaruh oleh arus kebiasaan masyarakat Flores pada umumnya, yakni mengadakan pesta setelah perayaan sambut baru di Gereja.Â
Bagi saya ada plus minus dari kebiasaan pesta sambut baru ini di kampung Mbata. Sisi positifnya adalah keakraban dalam persaudaraan atas dasar iman yang satu dan sama akan terus terbina.Â
Namun sisi negatifnya tentu ditilik dari segi ekonomi. Banyak yang memaksakan diri menyelenggarakan pesta padahal tidak memiliki stok finansial yang memadai.Â
Orang melaksanakan pesta hanya karena gengsi pribadi. Ada kecemburuan sosial yang terbentuk dalam diri anak mana kala dia melihat ada pesta temannya yang lebih mewah bila dibandingkan dengan pestanya.Â
Pernah terjadi seorang anak sambut baru mengundang warga untuk menghadiri pesta sambut barunya. padahal orangtuanya tidak merencanakan untuk mengadakan pesta.Â
Orangtuanya kaget ketika orang berbondong-bondong datang ke rumahnya untuk mengucapkan selamat. Dalam keadaan tergesa-gesa orangtuanya terpaksa menyediakan menu seadanya guna menjamu warga yang datang.Â
Keadaan ini menjadi buah bibir masyarakat. Keadaan ini pula yang mendorong para orangtua memaksakan keadaan untuk menyelenggarakan pesta sambut baru dari pada harus menanggung malu.Â
Hemat saya situasi seperti ini sebenarnya butuh kepekaan ekstra dari para agen pastoral bersama pemerintah desa setempat. Kepekaan untuk terus memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa meriahnya sebuah pesta tidak diukur oleh kemewahan yang ditunjukkan kepada tamu undangan.Â
Meriahnya pesta sambut baru mestinya diukur dalam bingkai iman yakni teladan hidup kesalehan dan pengembangan ekonomi rumah tangga haruslah tetap diutamakan.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H