"Bagaimana mungkin aku yang hitam keriting, gembrot pendek seperti ini, bisa memikat mata Misel, pria tampan berjubah putih nan imut itu? Jika badanku tidak membangkitkan daya tarik pria, mengapa pria seperti Misel  menaruh minat pada tubuhku?Ataukah aku hanyalah obyek pelampiasan syawatnya? Aiish..., pria memang begitu. Bertampang saleh dan luguh namun hatinya memendam syawat yang menjulang."
Perempuan juru masak itu tidak habis-habisnya berpikir tentang apa yang telah dilakukan Misel terhadap dirinya. Maklumlah sepanjang hidupnya ia belum pernah menjalin hubungan yang spesial apa lagi hubungan intim dengan laki-laki. Perempuan juru masak itu menyandang julukan sebagai ra-tu (perawan tua).
Fakta ini mempertegas kenyataan kalau dia memang tidak membangkitkan hasrat para pejantan tangguh yang ada di rumah karantina itu. Atau mungkin saja ada lelaki yang terpaksa memendam hasrat itu. Hal itu terjadi karena takut dinilai tak pantas untuk bertahan di rumah karantina.
O ya, rumah ini kadang disebut juga sebagai rumah suci karena para penghuninya belajar untuk hidup suci dengan menahan syawat. Mereka belajar dari para guru dan maha guru yang bergelar master pun doktor dalam bidang filsafat dan teologi jebolan universitas ternama di negara-negara benua biru, sebut saja Eropa.
Tidak tanggung-tanggung mereka memiliki nalar yang mumpuni untuk mengerti, memahami dan mengajarkan atau menjelaskan tentang Tuhan yang absolut dan manusia yang fana. Kelak hasil didikan mereka akan menjalani hidup suci dengan mengabdikan diri sebagai saksi dan pewarta kebenaran iman kristiani ke seluruh penjuru dunia yakni Asia, Afrika, Amerika, Eropa dan Australia.
Mereka menjelajahi dunia, menguasai bahasa internasional, menguasai ilmu pengetahuan tentang ke-Tuhan-an, ke-manusia-an, termasuk menguasai syawatnya. Slogan utama dalam menguasai syawat adalah menyangkal diri atau bisa juga disebut menipu diri. Mereka berani mengatakan tidak pada hasrat kodrati manusia, yaitu kawin.
Inilah yang menjadi penyebab utama mengapa perempuan juru masak itu tak pernah mendapat belaian lembut lelaki di rumah karantina itu. Pasalnya, ia berada di tempat di mana hal itu haram dan najis untuk dilakukan.
Namun, pengalaman perjumpaannya dengan Misel memunculkan keraguan dan tanda tanya besar akan integritas diri pribadi dari para penghuni rumah karantina. Hal itu pula yang mendorongnya untuk terus bergumul guna mencari dan menemukan jawaban, sekurang-kurangnya untuk memuaskan dahaga keingintahuannya:
"Jika semua pria tampan berjubah putih di sini adalah manifestasi keagungan Ilahi maka sesungguhnya Misel tak seharusnya berperilaku genit terhadapku. Mungkinkah perilaku Misel menggambarkan perilaku mereka pada umumnya? Tapi..., rasa-rasanya itu tidak mungkin. Mereka semua yang ada di sini dekat dengan Tuhan. Mereka selalu mendaraskan mazmur dan kidung pujian setiap pagi, siang, sore dan malam hari menjelang tidur. Mereka semua tidak mudah dijatuhkan oleh godaan apa pun bahkan paha perawan yang tersingkap sulit mereka tatap. Tetapi mengapa Misel cowok tampan itu? Aiish..., aku harus menasehatinya dengan nalar sederhana yang kumiliki agar ia menekuni cara hidup selibat secara benar dan jujur."
Juru masak ini memang satu dari sekian banyak orang yang mendukung perjalanan hidup kaum selibater. Dukungannya sangat tulus dan tanpa pamrih. Sebuah dukungan yang mengikat namun tetap membiarkan untuk bebas memilih antara menjadi imam selibater yang memang wajib tidak kawain, atau hidup berkeluarga yang sudah pasti kawin.
Perempuan juru masak itu berusaha mencari waktu yang tepat untuk bisa berbicara empat mata dengan Misel lelaki bermata mesum itu. Tetapi, bukanlah hal yang mudah baginya untuk bertemu Misel, pria yang terpenjara dalam ketatnya aturan dan padatnya kegiatan akademik yang menjadi rutinitas warga di rumah karantina nan suci itu. Ia sendiri juga terjebak dalam beratnya pekerjaan sebagai juru masak yang ia emban sendirian.