Dalam kesempatan itulah ia mendapat nasehat saleh nan suci dari perempuan juru masak itu:
"Misel, dari kodratnya manusia dilahirkan untuk kawin. Manusia bisa melahirkan karena ia kawin. Keberadaanmu di dunia ini adalah hasil dari perkawinan dua jenis manusia yang berbeda kelamin. Tuhan menciptakan demikian agar pria dan wanita itu saling melengkapi. Jika engkau tak sanggup mempertahankan cara hidupmu yang sekarang, pilihlah cara hidup yang sesuai dengan kodratmu sebagai manusia. Kawinlah! Tapi jika tidak, berhentilah mengintipku sembari menyetubuhi dirimu sendiri. Aku tak ingin engkau mengeksploitasi tubuhku dengan lamunanmu. Carilah cara hidup yang normal yang sesuai dengan kodratmu sebagai laki-laki yang normal."
Perkataan perempuan juru masak itu membuat Misel tertunduk malu dengan amarah yang mulai membara dalam hatinya. Ia tak menduga kalau pernyataan seperti itu bisa dilontarkan dari mulut seorang perempuan yang hanya bermodalkan pengetahuan setingkat sekolah dasar.
Perasaan malu dan jengkel bercampur menjadi satu. Ia ingin berteriak untuk melampiaskan kemarahannya tetapi ia malu jika semua orang akan mendengar teriakannya dan ketahuan kalau ia sedang berduaan dengan seorang perempuan yang tentu saja hal itu tidak boleh terjadi untuk pria seperti dia.
Misel hendak berlalu. Tetapi, perempuan juru masak itu menarik tangannya sambil berkata:
"Aku tak peduli bagaimana reaksimu atas perkataanku. Tapi aku harus mengatakan sesuatu yang benar. Aku sadar aku bukanlah apa-apa. Pengetahuanku tentang kehidupan tak sesempurna yang engkau miliki dan dapatkan. Maklumlah, aku tidak mengenyam pendidikan tinggi sepertimu. Tapi aku berharap engkau bisa menekuni jalan hidup yang telah engkau pilih sedari awal. Jika engkau sudah tidak sanggup untuk menjalaninya, engkau tentu saja bisa mengundurkan diri secara bijak dengan mengatakan tidak pada jalan hidupmu yang sekarang. Aku  yakin engkau sangat mengerti maksudku. Hanya inilah caraku untuk memperhatikanmu dan mendukungmu guna memilih mana yang terbaik untuk engkau jalani. Melihat gelagatmu yang sekarang, jujur aku hanya bisa mengatakan carilah perempuan dan  kawinilah dia seumur hidupmu."
Perempuan itu berkata lugas penuh percaya diri. Ia tak menyangka kalau ia bisa berbicara layaknya seorang yang memiliki pengetahuan tinggi. Misel tak sanggup menanggapinya. Ia berlalu dari perempuan juru masak itu dan kembali ke kamarnya. Suasana hati dan pikirannya benar-benar kacau. Hancur. Berantakan.
"Aiishh, Tuhan...! Apa yang terjadi pada diriku? Aku sedemikian konyol di hadapan perempuan juru masak itu. Harkat dan martabatku hancur. Wahai perempuan pemuas syawat, sebegitu cerdaskah engkau di hadapanku hingga lidaku kelu menanggapi perkataan dan nasehat salehmu? Dan, tak berkutik di hadapanmu? Ketahuilah aku mengenyam pendidikan tinggi dan memahami segala sesuatu. Engkau, perempuan adalah degradasi laki-laki. Engkau diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Engkau ada setelah laki-laki ada. Bagaimana  engkau bisa menasehatiku seperti itu hingga seakan-akan perempuan diciptakan lebih awal dari laki-laki?"
Misel mengungkapkan kemarahan dan kegusaran di dalam kamarnya. Tetapi, percuma. Karena, hal itu tidak didengar oleh perempuan juru masak itu. Sekiranya perempuan juru masak itu mendengar kegusaran dan kemarahan Misel yang bernada penghinaan terhadap perempuan yang adalah dirinya, mungkin ceritanya berbeda.
Walau demikian, Misel menaruh dendam pada perempuan itu. Ia ingin agar perempuan juru masak itu mendengarkan secara langsung isi kemarahannya. Dan, kesempatan untuk bisa menjumpai perempuan itu hanya pagi hari. Itu pun jika ia bangun lebih awal dari semua penghuni rumah karantina.
Sebab, mereka sama sekali tidak diperkenankan untuk berduaan dengan perempuan. Dan adagium yang selalu hidup kekal dalam pikiran mereka ialah perempuan sebagai biang kerok atau faktor pencetus jatuhnya laki-laki ke dalam dosa.