Dari balik jendela dapur, Misel menatap seksama tubuh perempuan juru masak itu yang asyik membersikan ketel air. Misel terlelap dalam hasrat yang sulit terbendung. Ia bagai buaya lapar yang siap mencabik dan menelan mangsanya.
Apa dayanya bunyi lonceng di menara Kapela menghentikan lamunan dan hasrat liarnya.
"Teng...teng...teng...!"
"Aiish... lonceng. Engkau lagi-lagi menjadi penguasa atas diriku. Bukankah engkau benda mati? Tapi bagamana mungkin yang mati bisa menguasai yang hidup? Engkau benda mati yang hanya bisa berbunyi jika dibunyikan. Namun siapa gerangan yang membunyikan lonceng itu. Mungkinkah  angin yang menggerakkannya?"
Kata-kata yang diungkapkan Misel dalam hatinya tak lebih sebagai ekspresi kekesalannya atas bunyi lonceng yang membuyarkan libido tak terbendungnya. Namun, ia juga dikagetkan oleh perempuan gembrot yang tanpa ia sadari memperhatikan gerak-geriknya di balik jendela dapur.
Rupanya perempuan itu tahu apa yang telah dilakukan Misel yakni menggerak-gerakan kepalanya, tangannya, pantatnya, dan kakinya. Entah, bersetubuh dengan tembok, angin, jendela atau bayangan dirinya sendiri.
Misel terperanjat tatkala perempuan pembangkit hasratnya berdiri tegap di hadapannya dengan senyum penuh kemenangan.
"Misel, mengapa engkau ada di sini? Apa yang sedang engkau lakukan di pagi yang subuh ini?"
Tanya wanita itu dengan lembut dan pura-pura menyelidiki. Padahal ia sudah tahu apa yang telah dilakukan Misel dalam kesendirinya. Misel menatap perempuan itu dan meresponnya dengan tergagap-gagap.
"Hhmm... a...a...ku, a...a...ku, aku sed...sed...dang ber...ber...ber...do...do..do...a."
Sejenak mereka saling beradu pandang. Misel tak sanggup mengelak hasrat liarnya lewat kerlingan mata kirinya ke arah perempuan juru masak itu. Namun kesempatan itu terpaksa harus dilewatkan, soalnya semua penghuni rumah karantina sudah bangun.