Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hamil di Usia Sekolah, Siapakah yang Salah?

6 April 2018   08:31 Diperbarui: 6 April 2018   09:29 385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Efek dari pergaulan bebas yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi sudah benar-benar kian terasa. Hal ini banyak menyasar anak-anak usia sekolah tingkat menengah.

Hampir di setiap pengujung tahun pelajaran, selalu ada saja peserta didik yang sudah dinyatakan positif hamil. Keadaan ini cenderung menimpah peserta didik peserta Ujian Nasional (UN) atau pun pada tingkatan di bawahnya.

Kenyataan ini sulit diingkari dan kebanyakan sekolah menyembunyikan kasus-kasus seperti ini karena dianggap mencoreng harkat dan martabat sekolah. Dan apa pun keadaannya, para siswa yang sudah hamil tetap diperkenankan mengikuti UN. Tentu dengan berbagai macam alasan rasional yang dikaitkan dengan kemanusiaan.

Ada juga sekolah yang ngotot untuk tidak memperkenankan peserta didiknya mengikuti UN jika sudah dinyatakan hamil. Dan, orangtua/wali lebih memilih untuk mengulang dengan memindahkan anaknya ke sekolah lain. Dengan catatan aib anak tidak diketahui oleh sekolah penerima. Kalau pun sudah diketahui, orangtua meminta kebijakan kepala sekolah untuk menerima dan merahasiakannya demi menjaga kenyaman siswa dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar.

Hamil pada usia sekolah bukanlah persoalan baru. Ini sudah menjadi masalah lama yang seakan sulit untuk dipecahkan. Ada begitu banyak cara yang sudah ditempuh oleh berbagai pihak guna mengatasi persoalan ini. Mulai dari aturan sekolah yang ketat sampai pada pengawasan serta perhatian intens oleh orangtua dan lingkungan. Namun, tetap saja ada kecolongan dari tahun ke tahun selalu saja ada peserta didik yang positif hamil.

Jika sudah demikian siapakah yang salah? Pertanyaan ini secara kasat mata lebih bernuansa mencari kambing hitam atas persoalan yang ada. Tetapi hemat saya, pertanyaan ini mengarah kepada penegasan kembali tentang pentingnya peranan pemerintah, lembaga pendidikan, serta keluarga dalam mengasuh dan mendidik anak usia sekolah.

Pada bagian penjelasan Undang-undang RI No 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen secara jelas mengatakan bahwa kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab.

Saat ini pemerintah sedang antusiasnya menerapkan Kurikulum 2013 (K13) yang sesungguhnya sejalan dengan bunyi penjelasan Undang-undang di atas. K13 ini menekankan pendidikan karakter (akhlak mulia) dalam setiap mata pelajaran yang diasuh. Dalam hal ini, semua mata pelajaran harus mencantumkan fokus karakter pada tujuan pembelajarannya.

Dalam sistem seperti ini tentu dibutuhkan kreativitas guru yang berhadapan langsung dengan peserta didik. Karena bagaimana pun para guru tidak hanya fokus pada pemahaman materi ajar tetapi ia sekaligus diharapkan mampu membentuk sikap atau karakter peserta didiknya.

Hemat saya hal yang paling penting di sini adalah kesanggupan untuk mengenal dan memahami gerak perasaan peserta didiknya. Hal ini dimaksudkan supaya guru dapat memilih metode dan pendekatan yang tepat dalam proses pembelajaran.

Bukan pekerjaan gampang untuk mendalami gerak perasaan setiap peserta didik yang datang dari berbagai latar belakang keluarga yang berbeda. Namun, dengan model penilaian K13 saat ini antara lain pengamatan guru, penilaian diri, dan penilaian antarteman sangat memungkinkan guru dapat mengenal gerak perasaan peserta didik.

Untuk mencapai maksud ini, dibutuhkan ketekunan dan keseriusan guru dalam menganalisa setiap penilaian. Dari sana akan dijumpai peserta didik yang bermasalah berdasarkan tingkatannya masing-masing. Kalau sudah ditemukan masalahnya, langkah selanjutnya diarahkan kepada guru BK untuk ditangani secara lebih dalam sekaligus diberitahukan kepada orangtua/wali peserta didik.

Pemerintah sesungguhnya sudah menyiapkan formatnya berupa K13, tinggal bagaimana sekolah menerapkannya dalam konteksnya masing-masing. Lebih dari itu, bagaimana sekolah mengkondisikan agar guru bisa melaksanakan tugasnya dengan cermat supaya jangan asal nilai atau hanya sekedar memenuhi standar administrasi.

Selain sekolah, keluarga dalam hal ini orangtua juga harus tetap berkoordinasi dengan pihak sekolah. Kecenderungan orangtua "zaman now" adalah membiarkan sepenuhnya pendidikan anak kepada pihak sekolah. Orangtua kurang menyadari dan memahami sepenuhnya tentang peranannya dalam pendidikan anak.

Padahal bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara sebagaimana dikutip oleh Refael Molina, anggota Forum Penulis NTT mengatakan keluarga adalah tempat yang sebaik-baiknya untuk melakukan pendidikan individual dan pendidikan sosial. Sehingga dapat dikatakan keluarga merupakan tempat pendidikan yang lebih sempurna sifat dan wujudnya daripada pusat-pusat pendidikan lainnya, untuk melangsungkan pendidikan ke arah kecerdasan budi pekerti (pembentukan watak individual) dan persediaan hidup kemasyarakatan (Poskupang.com Sabtu, 11 Maret 2017 18:33).

Jika mengacu pada konsep ini, sesungguhnya keluarga memiliki peranan yang paling signifikan dalam menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur kepada anak. Dan pihak sekolah tinggal memolesnya agar menjadi lebih baik lagi. Tetapi, alangkah cerdas serta mulianya jika sekolah dan keluarga bersama-sama berusaha sekuat tenaga dalam membina dan membentuk karakter anak. Dan ketika anak didera masalah (hamil), tidak perlu membangun argumentasi untuk saling menyalahkan. Sebab, tugas mendidik adalah tanggungjawab bersama baik sekolah maupun keluarga seturut peranan atau fungsinya masing-masing.

Sekiranya pihak sekolah dan keluarga senantiasa menyadari dan menjalankan fungsinya secara benar dan tepat, hemat saya tidak ada lagi "korban" berikutnya yang menimpah generasi muda bangsa. Sekolah dan keluarga layak disoroti secara serius. Karena, bagaimana pun juga sekolah dan pihak keluarga adalah kelompok yang memang bersentuhan langsung dengan pendidikan anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun