Sebab, jangan heran jika ada orang yang hidup dalam limpahan harta harus menghabisi nyawanya dengan gantung diri (bunuh diri), sementara yang hidup serba keterbatasan dalam hal materi masih tetap tegak berdiri menikmati indahnya dunia. Inilah misteri hidup yang harus selalu manusia gumuli dengan rasio berlandas iman jika tidak ingin terperosok dalam kehampaan, hidup tanpa makna dan bisa saja disamakan dengan binatang.
Jika demikian adanya, saya ingin menegaskan kembali apa yang pernah diungkapkan oleh Edi AH Iyubenu dalam artikelnya yang ditayangkan di basabasi.co pada 14 Agustus 2017 lalu bahwa jika telah memiliki iman di dalam hati (apa pun agamanya) janganlah merusakan kualitasnya dengan aneka pertanyaan nalar yang tidak akan bisa menemukan jawaban final.
Alangkah indahnya menghindarkan diri dari kesombongan terbesar dalam diri sendiri yaitu enggan atau bahkan tidak mengaku kepada diri sendiri bahwa nalar tak sanggup menjelaskan segala hal dalam hidup ini termasuk penderitaan yang dialami oleh orang saleh, orang yang bermurah hati, dan orang yang tekun beribadah.
Manusia yang beriman memiliki kerendahan hati, pasrah pada kehendak Ilahi dan bukannya pasrah pada keangkuhan nalarnya. Ia yang akan tetap tegak berdiri memuji kebesaranNya dan senantiasa tunduk sujud di hadapan keagunganNya walau terperosok dalam himpitan derita sehebat apa pun bentuknya. Jika kesabaran terbatas dan mudah didera keputusasaan, sesungguhnya ia belum beriman secara benar. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H