Mohon tunggu...
Yasintus Ariman
Yasintus Ariman Mohon Tunggu... Guru - Guru yang selalu ingin berbagi

Aktif di dua Blog Pribadi: gurukatolik.my.id dan recehan.my.id

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Celoteh Hancur Anak Negeri

26 Maret 2018   07:30 Diperbarui: 26 Maret 2018   08:32 1005
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Hei saudara-saudara, tidakkah kalian sadar kalau kita akan hancur di masa yang akan datang. Hancuuur, cur...cur...cur...ketahuilah ini bukan pernyataan imaginer, kayalan. Tetapi kenyataan yang bakal menimpah kita."

Dalam hitungan detik pernyataan itu menggema, viral. Nyaris membuat semua penghuni jagat resah. Ini bukan pernyataan sembarangan. Maklum, ini pernyataan dari orang terpandang, tercerdas, terbijaksana dan semua ter yang baik ada padanya.

Pagi itu udara terasa panas walau nyata kabut dingin menggerogoti tulang. Ini memang aneh. Tetapi itulah kenyataannya. Dan, sesungguhnya ini bukan tentang perkiraan cuaca. Atau alam yang ingin mengukum manusia. Tetapi ini soal hati. Soal perasaan gembira dan sedih serta galau. Siapa gerangan yang mengubah semua ini? Lelaki tua itu telah mengubah suasana. Pagi yang indah dengan udaranya yang sejuk disulapnya jadi panas. Hebat.

"Ah, pak tua sudahlah, kami sudah mampu bekerja, o ya, o ya"

Demikianlah reaksi Yan yang selalu asyik dengan laptop pinjamannya. Berselancar di dunia maya? Melihat situs seputar artis alay, perempuan yang menggadai keperawanan? Yang jelas ia asyik mendengungkan sebuah lagu di kesunyian hatinya. Sebenarnya ia tak ingin menggubris setiap ocehan pak tua yang merasa paling sempurna dari semua yang lebih dulu ada dan yang akan ada di dunia ini.

Ocehan kali ini memang agak lain, tidak seperti biasanya. Ocehan itu sanggup membuat dunia maya ramai bersorak sorai, bersuka ria. Semua penghuni jagat maya sontak menunjukkan diri sebagai orang yang juga tidak kala cerdas. Analisis kritis, rasional, bijak bestari ditumpahkan. Tidak ketinggalan para tukang hoaks itu. Sesungguhnya mereka yang paling bergembira ria, membesar-besarkan yang sederhana biar kelihatan lebih meyakinkan. Lawan-lawan politik yang selama ini menyimpan dendam kesumat, bangkit berdiri menampilkan wajah seakan-akan paling bijaksana membela kebenaran, keadilan serta kejujuran.

"Lagi-lagi dia. Memang tidak ada yang lain lagi kah? Kok hancur melulu?"

"Iya, memang su hancur tu ma."

Timpal seorang lelaki berjenggot, berbadan kekar, kurus, hampir tak ada lemak menempel di kulitnya. Ia datang menghampiri Yan. Ia membawa laptop yang kelihatannya sudah hancur, lusuh, tua. Dan besar kemungkinan laptop itu hasil hiba dari orang yang berkehendak baik, atau mungkin ia pilih di tong sampah.

"Bisa pinjam flash disk kah? Saya mau copy ni file rubrik penilaian Kurikulum K 13."

"Ah, mau colok di kau pu laptop peternak virus jahat itu kah? Tidak bisa le. Kau jangan bikin hancur saya punya flash disk. Soalnya banyak dokumen penting."

"Penting apa memang ee... Memang itu jawaban soal Ujian Nasional kah yang ada label tulisan di pojok atas Dokumen Negara dan di pojok bawah Sangat Rahasia."

"Jangan omong yang aneh-aneh, kawan. Ini flash disk pribadi untuk kepentingan pribadi."

"Hahahaha...jangan-jangan di itu flash disk banyak...."

"Ah, otakmu memang yang tidak beres, ngeres. Ni, baca ni artikel-artikel hari ini."

Yan menunjukkan tulisan-tulisan dari para kompasianer yang tentu saja sudah ditayang di Kompasiana. Ia tidak sedang on line. Artikel-artikel yang dianggapnya menarik selain difavoritkan, ia juga salin dan simpan di flash disk. Itu sebabnya ia tidak ingin memberikan flash disk itu kepada temannya. Soalnya, ia punya pengalaman buruk tentang flash disk yang hancur akibat virus dari laptop kuno, reot, tak tersentuh jaringan internet dan tentu saja masih menyimpan anti virus kadaluwarsa.

"Haa...? tahun 2030 kita semua hancur? Ah, ini hoaks benaran. Pak tua itu, lagi-lagi tentang dia. Begitu pandainya dia mengibuli masyarakat. Dia itu yang hancur. Dia su ti ada di tahun itu, kawan."

"Jangan reaksioner gitu dong. Kau tidak ada bedanya dengan beberapa tulisan di kompasiana itu."

"Ya, iya lah. Masa kita semua akan hancur. Memangnya dia Tuhan kah atau setan dalam cerita nenek moyang kita kah?"

"Nah, itu dia persoalannya. Tapi saya pikir kita harus berpikir positif. Artinya, mungkin pak tua itu ada benarnya. Kan, nenek moyang kita su bilang jangan cepat telan yang manis karena mungkin saja itu racun. Dan jangan cepat buang yang pahit karena bisa saja itu obat."

"Terus...?"

"Begini kawan. Apa yang dikatakan pak tua sesungguhnya tentang kita. Bukan tentang dirinya sendiri. Pernyataan itu mestinya mendorong kita untuk mawas diri, tahu diri. Kau tau kan, negeri ini masih rawan dengan isu sara. Ekonomi pun masih dikuasai aseng. Kalau ini kita pelihara terus maka negeri yang beribu-ribu pulau ini suatu saat akan hancur. Maksud saya terpecah bela, berdiri sendiri-sendiri. Timor Leste yang kecil itu saja bisa merdeka dan berdiri sebagai sebuah negara. Besok-besok Flores, Timor, Sumba..."

"Cukup teman, jangan kau singgung wilayah-wilayah di NTT ee. Mau kena parang ko?"

"Dasar, andalkan otot, otakmu blagu tau. Makanya baca banyak biar luas tu wawasan. Jangan habis kuliah habis juga bacanya. Dan, jangan hanya baca buku pelajaran. Giliran murid tanya bisanya cuma lihat di buku, para!"

"Su tau ju ee saya guru honorer juga na. Gaji su kecil, empat sampai lima bulan baru terima. Padahal jumlah jam mengajar sama bahkan lebih dari yang PNS. Jangan harap bisa mengabdi dengan baik. Bagaimana bisa mengajar dengan kreatif kalau perut kroncong terus, utang menumpuk. Mau berhenti kerja, susah juga. Nanti dibilang percuma ijazah sarjana kalau akhirnya nganggur. Saya pasrah sa teman, sambil tunggu mujizat"

Wajah temannya berubah jadi resah, kecewa dengan guratan ketakberdayaan terpampang di keningnya. Yan kenal betul temannya itu. Semangat kerja keras dan pantang menyerah. Dia bekerja apa saja yang bisa membiayai keluarganya. Menjadi tukang ojek setelah pulang sekolah, menjadi buru begasi saat kapal masuk pada sore hari atau pun pada malam hari, membersihkan kandang babi, kerbau, sapi, dan menjadi kuli bangunan saat liburan sekolah. Tidak ada yang tidak bisa ia lakukan kecuali disuruh mencuci pantat nyonya gembrot yang sudah alergi melihat rupiah.

"Pasrah? Nah, itu juga situasi yang bikin hancur generasi di masa depan. Jika seperti ini terus bukan tidak mungkin generasi kita benar-benar hancur."

"Iya betul su. Rasa-rasanya tidak sampai di tahun 2030 ee, sekarang pun memang su hancur."

"Hahaha..., akhirnya kau sadar juga. Begini saja, jadi guru itu memang mulia. Tetapi tidak mulia kalau hanya harap gaji honor yang lima bulan sekali terima itu. Pandai-pandailah mencari kerja sampingan tuk topang hidup. Contohnya buat akun di kompasiana, terus, rajin tulis. Siapa tahu rahmat keberuntungan tercurah dari sana."

"Memangnya kau su buat akun di kompasiana itu kah?"

"Iyalah, saya omong yang saya buat ee, bukan yang saya tidak buat. Saya pernah dapat untung juga walau baru sekali. Sesekali kerja jangan andalkan otot sa ee, otak juga, hehehe... ini..., saya kasih kau flash disk baru. Pakai saja, kalau kau ada rezeki baru kau ganti. Tidak diganti juga tidak apa-apa."

Yan menyodorkan flash disk yang baru kepada temannya. Temannya itu menerimanya dengan lapang dada sembari menahan nafas seakan ingin mengungkapkan sejuta kecemasan dan rasa terima kasih yang mendalam: "dalam suka dukaku, kamu tetap sahabatku."

Begitulah cara mereka berceloteh. Mereka adalah anak negeri yang mencoba bergumul dengan persoalan nasional di negerinya. Tapi ujung-ujungnya mereka terjebak dengan persoalan diri sendiri. Pernyataan sang pak tua di awal kisah seakan menggambarkan keadaan mereka sendiri yang sedang mereka gumuli. Bergumul dengan gaji mereka sebagai guru honorer/kontrak propinsi NTT yang tak kunjung dicairkan, utang yang menumpuk serta dihantui wajah rentenir yang geram.

Inilah kehancuran yang paling nyata. Tak perlu melihat jauh hingga ke negeri seberang. Atau menunggu puluhan tahun lagi. Tapi cukup melihat ke kedalaman diri. Akankah kehancuran ini berakhir ataukah masih berlangsung hingga ajal menjemput? Itu hanya sepenggal tanya. Jawabannya ada pada diri mereka masing-masing. Mengubah hidup menjadi lebih baik tentu harus mengandalkan kekuatan diri sendiri dan pertolongan Yang Kuasa. Bukan bergantung pada pengambil kebijakan yang kadang menjengkelkan.

Waingapu, 25 Maret 2018

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun