"Cukup teman, jangan kau singgung wilayah-wilayah di NTT ee. Mau kena parang ko?"
"Dasar, andalkan otot, otakmu blagu tau. Makanya baca banyak biar luas tu wawasan. Jangan habis kuliah habis juga bacanya. Dan, jangan hanya baca buku pelajaran. Giliran murid tanya bisanya cuma lihat di buku, para!"
"Su tau ju ee saya guru honorer juga na. Gaji su kecil, empat sampai lima bulan baru terima. Padahal jumlah jam mengajar sama bahkan lebih dari yang PNS. Jangan harap bisa mengabdi dengan baik. Bagaimana bisa mengajar dengan kreatif kalau perut kroncong terus, utang menumpuk. Mau berhenti kerja, susah juga. Nanti dibilang percuma ijazah sarjana kalau akhirnya nganggur. Saya pasrah sa teman, sambil tunggu mujizat"
Wajah temannya berubah jadi resah, kecewa dengan guratan ketakberdayaan terpampang di keningnya. Yan kenal betul temannya itu. Semangat kerja keras dan pantang menyerah. Dia bekerja apa saja yang bisa membiayai keluarganya. Menjadi tukang ojek setelah pulang sekolah, menjadi buru begasi saat kapal masuk pada sore hari atau pun pada malam hari, membersihkan kandang babi, kerbau, sapi, dan menjadi kuli bangunan saat liburan sekolah. Tidak ada yang tidak bisa ia lakukan kecuali disuruh mencuci pantat nyonya gembrot yang sudah alergi melihat rupiah.
"Pasrah? Nah, itu juga situasi yang bikin hancur generasi di masa depan. Jika seperti ini terus bukan tidak mungkin generasi kita benar-benar hancur."
"Iya betul su. Rasa-rasanya tidak sampai di tahun 2030 ee, sekarang pun memang su hancur."
"Hahaha..., akhirnya kau sadar juga. Begini saja, jadi guru itu memang mulia. Tetapi tidak mulia kalau hanya harap gaji honor yang lima bulan sekali terima itu. Pandai-pandailah mencari kerja sampingan tuk topang hidup. Contohnya buat akun di kompasiana, terus, rajin tulis. Siapa tahu rahmat keberuntungan tercurah dari sana."
"Memangnya kau su buat akun di kompasiana itu kah?"
"Iyalah, saya omong yang saya buat ee, bukan yang saya tidak buat. Saya pernah dapat untung juga walau baru sekali. Sesekali kerja jangan andalkan otot sa ee, otak juga, hehehe... ini..., saya kasih kau flash disk baru. Pakai saja, kalau kau ada rezeki baru kau ganti. Tidak diganti juga tidak apa-apa."
Yan menyodorkan flash disk yang baru kepada temannya. Temannya itu menerimanya dengan lapang dada sembari menahan nafas seakan ingin mengungkapkan sejuta kecemasan dan rasa terima kasih yang mendalam: "dalam suka dukaku, kamu tetap sahabatku."
Begitulah cara mereka berceloteh. Mereka adalah anak negeri yang mencoba bergumul dengan persoalan nasional di negerinya. Tapi ujung-ujungnya mereka terjebak dengan persoalan diri sendiri. Pernyataan sang pak tua di awal kisah seakan menggambarkan keadaan mereka sendiri yang sedang mereka gumuli. Bergumul dengan gaji mereka sebagai guru honorer/kontrak propinsi NTT yang tak kunjung dicairkan, utang yang menumpuk serta dihantui wajah rentenir yang geram.