Mohon tunggu...
Yasinta Wirdaningrum
Yasinta Wirdaningrum Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ordinary Writer : Wanita dengan 1001 cerita

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Novel] Balada Istri Kedua

6 Oktober 2016   16:24 Diperbarui: 6 Oktober 2016   17:47 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istri kedua.. ya itulah statusku…status yang hanya diketahui  oleh keluarga dan sanak saudaraku. Meski terdengar negatif aku menjalaninya dengan mencoba tidak menghiraukan status. Kala itu aku berumur 23 tahun, perkenalanku dengan Rusdianto menjadi babak awal kehidupanku yang sesusungguhnya. Aku tidak sengaja berkenalan dengan Mas Rusdi melalui kakakku yang bekerja menjadi Marketing Asuransi dan sering  bertemu dengan banyak orang dan calon nasabah baru, hingga suatu saat aku dan kakakku sedang makan di restaurant cepat saji bertemulah kami dengan salah satu nasabahnya yang makan siang sendiri.

Mulailah aku diperkenalkan dengannya, awal singkat pertemuan kami ternyata terus berlanjut dari menitipkan salam, hingga suatu hari Mas Rusdi menghubungiku untuk sekedar jalan. Aku bersedia bertemu kala itu dengan bujuk rayu kakakku yang mengatakan orangnya sangat baik apalagi dia mempunyai perusahaan perkapalan. Tapi apa yang kakakku bujuk  bukan itu menjadi alasanku menerima ajakannya tapi menolak tawarannya yang sudah beberapa kali menghubungiku menjadi satu hal yang tidak enak kurasakan, terlebih dia adalah nasabah kakakku.

Sore itu merupakan pertemuan keduaku ,rasa canggung kami rasakan, usia yang terpatut 15 tahun menjadikan topik pembicaraan hanya datar dan tidak spesifik, hanya 25 menit pertemuan itu, aku mendapat kabar telpon ayahku jatuh sakit dan dilarikan ke Rumah Sakit. Mas Rusdi yang mengetahui pembicaraanku di telpon menawarkan untuk mengantarkanku ke Rumah Sakit. Setelah dia mengantarkanku lama kami tidak pernah saling menghubungi, akupun sempat melupakan sosoknya.

Aktifitasku sehari-hari hanya main dengan teman-teman sekolah SMA ku, nongkrong, jalan tidak jelas arah dan tujuan, karena anak bontot dari tiga bersaudara, aku sangat dimanja oleh kedua orangtuaku. Aku tidak pernah mengerjakan urusan rumah tangga, nilai sekolahpun pas –pasan bahkan bisa dibilang kurang, karena aku sering tidak masuk sekolah. Kondisi ini membuat aku tidak punya tujuan menata masa depanku sendiri. Cuek bahkan tidak memperdulikan lingkungan sekitar adalah diriku. Mungkin orangtuaku hanya pasrah melihat kondisiku dan mereka menunggu saja aku menikah dan selesailah tugas mereka mengurusku sebagai anak.

Enam bulan berlalu setelah Mas Rusdi tiba-tiba menghubungiku, rupanya pekerjaan dan perjalanannya keluar negeri membuat dia tidak bisa bertemu denganku. Saat itu dia sedikit memaksa bertemu dan ada oleh-oleh hasil perjalanannya keluar negeri yang dia belikan khusus untukku. Sepintas nada suaranya terdengar bahagia, entah apa yang membuatnya demikan dalam hatiku.

Kami bertemu kembali dan terlihat raut mukanya berbeda malam itu, topik perbincangan kami sudah lebih baik dari sebelumnya, perjalanannya keluar negeri menjadi obrolan yang menyenangkan kudengarkan.. disela obrolan dia mengeluarkan sesuatu dari sakunya, sebuah kotak kecil berisi gelang berlian dibukanya dihadapanku. Rupanya selama di luar negeri dia banyak memikirkan diriku, sehingga terbersit membelikanku hadiah agar aku selalu ingat padanya.

Pertemuan yang sering kami lakukan membuat kami merasa dekat satu sama lain, terlebih Mas Rusdi terlihat sangat memperhatikanku dari soal kecil sampai soal kebutuhan materi lainnya. Dia mengajak ku menikah, meski pernikahan secara agama adalah jalur yang harus aku tempuh bersamanya, predikat istri kedua mulai aku sandang ditengah kontroversi kepindahan agamaku mengikuti agama Mas Rusdi, meski ditentang oleh kakak ku yang laki, aku tetap menjalaninya.

Setelah menikah aku mengontrak di suatu Perumahan daerah Bekasi, kehamilanku yang baru memasuki semester  pertama telah membuat perubahan dalam tubuhku. Namun kehidupanku setelah kami menikah bukanlah kehidupan normal layaknya rumah tangga, Mas Rusdi hanya menengokku sebulan empat kali saja, sebab dia menutupi pernikahan kami dari istri pertamanya, yaah sesuatu yang memang menjadi resikoku tentunya. Namun lama-lama aku mulai terbiasa tanpa kehadirannya, sosok ibukulah yang selalu menjagaku setiap saat. Walau jarang datang Mas Rusdi tetap mengirimkan uang untuk kebutuhan kami, kendaraan dan kebutuhan lainnya dengan baik dia penuhi, hingga suatu saat anak kami lahir.

Entah perubahan apa yang telah terjadi pada Mas Rusdi kepadaku, ketika perutku mulai terasa akan melahirkan dia sangat sulit dihubungi, dengan alasan sedang mengurus usaha perkapalannya dan sedang berada di Laut. Sungguh perih kurasakan sebab aku tahu Mas Rusdi tidak kemana-mana, dan aku tidak mengerti ada hal apa yang membatasi dia untuk menemaniku melahirkan, mungkinkah istri pertamanya telah mengetahui keberadaanku, mungkin mereka sedang berada disituasi yang tidak bisa aku bayangkan.

Perutku yang semakin terasa mulas menandakan akan segera lahir anakku, ibuku segera membawaku kerumah sakit, walau dengan susah payah karena tidak ada yang membantu kami saat itu. Anakku lahir dengan selamat sehat dan sempurna, namun belum sempurna jika belum di adzankan oleh ayahnya menurut keyakinan agamaku saat ini. Ibuku yang susah payah mencoba menghubungi Mas Rusdi dan mengatakan untuknya segera datang untuk mengadzankan anaknya. Akhirnya dia datang juga sebentar, memenuhi kewajibannya sebagai seorang ayah baru dan mengurus biaya administrasi Rumah sakit kemudian berlalu pergi.

Ibuku menutupi sikap Mas Rusdi dengan mengatakan padaku bahwa suamiku harus segera ke Bandara untuk suatu urusan bisnis dan tidak bisa berlama-lama serta menitipkan salam padaku yang sedang tertidur pulas pasca operasi cesar. Saat itu sudah banyak timbul tanda tanya besar dalam benakku akan perubahan sikapnya.

Suatu hari Mas Rusdi mengunjungi kami dirumah kontrakan, dia memberitahukan kabar gembira akan membelikan rumah untuk kami , dan sudah membayar uang muka rumah tersebut. Aku bahagia sekali mendengar kabar ini, akhirnya aku bisa tinggal dirumah sendiri dan tidak terbebani dengan tetangga yang mulai curiga akan statusku sebagai istri kedua.

Rumah mewah beserta isinya dibelikan Mas Rusdi, tidak berselang lama mobilku digantinya dengan model terbaru city car lengkap  warna kesukaanku merah. Terasa kesempurnaan kehadiran anak dan kecukupan materi telah kudapat. Segala kesulitan ekonomi dan peliknya hidup tidak aku jumpai di rumah tanggaku, aku bersyukur dengan semua ini. Sampai suatu hari ketika anakku berusia 3 tahun ada seseorang yang melempari rumah kami dengan batu tepat mengenai kaca, sebab model rumah dikomplek kami tanpa pagar, sehingga orang iseng sambil lewat bisa saja melemparkan sesuatu di pekarangan rumahku.

Sambil terbangun kaget aku turun dari kamarku dan menjumpai pecahan kaca rumahku yang sudah berserakan dilantai. Aku dan ibuku saling berpandangan dan seakan mengerti siapa yang telah melakukan hal ini terhadap kami. Ibuku bergegas memangil pembantuku untuk membersihkan pecahan kaca tersebut, kami naik ke lantai atas dan membicarakan kejadian barusan. Aku menduga bahwa istri pertama Mas Rusdi telah mengetahui keberadaan kami dirumah baru, mungkin dia selama ini memata-matai Mas Rusdi dan menyuruh orang untuk mengikuti kemana saja Mas Rusdi pergi. Hingga jejak kami ditemukan dirumah sekarang.

Setelah kejadian itu aku tidak bisa tenang, anakku tidak lagi aku yang mengantar kesekolah, kami menggunakan jasa supir untuk anter jemput anakku sekolah, karena jaraknya lumayan jauh, sebuah sekolah bertaraf Internasional dipilihkan Mas Rusdi untuk anak kami bersekolah. Saat itu aku semakin sadar posisiku ini tidak bisa untuk menuntut banyak waktu dan perhatian Mas Rusdi, terlebih bisnis yang telah dia lakukan semakin membuatnya banyak menghabiskan waktu di luar kota, bahkan keluar negeri. Anakku sendiri jarang bertemu dengan ayahnya, walau untuk berjalan- jalan ke Mall di kala weekend tidak pernah mereka lakukan, aku mengerti Mas Rusdi mungkin takut bertemu dengan keluarga, kerabat atau teman kantornya.

Rutinitas yang menjadikan aku dan anakku bosan dengan kehidupan penuh ketakutan, tidak boleh ke mal- mal tertentu yang sekiranya menjadi tempat bertemu dengan banyak kerabat dan famili, tidak boleh ini, tidak boleh itu.. lama-lama tersiksa kami dibuatnya. Hidupku dibuat hampa dengan statusku istri kedua, bahkan mungkin bagi sebagian orang yang tahu aku dianggap bagai istri simpanan.

Terlebih kami tidak bisa melakukan aktifitas bersama-sama seperti tamasya,  datang di acara resepsi pernikaham atau sekedar silaturahmi di acara hari raya pun tidak pernah kami lewatkan bersama. Ketidakhadiran mas Rusdi terasa hanya untuk memenuhi kebutuhan materi saja, padahal diriku membutuhkan lebih dari itu, kehadirannya ditengah-tengah keluarga akan sangat berdampak bagi kejiwaan anakku yang sudah semakin besar  tapi ya sudahlah, nasib ini ternyata harus ditanggung juga oleh anakku yang tidak mengerti permasalahan orangtuanya.

Sepi dan sepi menjadi pengisi hari-hariku, kegiatanku hanya ikut perkumpulan ibu-ibu sosialita dari sekolahan, gaya hidup yang tinggi menjadikanku mengukuti selera kaum jetset, arisan ke Singapura, jalan – jalan ke Bali kerap menjadi kegiatanku dengan mereka, yang ku cari sekarang bukan lagi sosok suami ada di sisiku tapi hanya uang yang aku tunggu darinya, jahat memang sikapku sekarang padanya, namun keegoisan mas Rusdi untuk mengunjungiku terasa tidak adil 1 bulan sekali juga belum tentu dia lakukan, dia hanya mngirimkan uang untuk kebutuhan anak, sekolah, supir, makan dan kebutuhan gaya hidupku sekarang.

Suatu hari aku bertemu dengan seorang pemuda berwajah lumayan disuatu area parkir mal, dia menanyakan sesuatu yang sebetulnya aku sendiri tidak tahu jawabannya, sebab harus ditanyakan kepada pengelola gedung mal tersebut, dari situ kami berkenalan dan saling bertukar nomer telpon hingga berlanjut sering jalan bersama dan mengisi hari-hariku dikala sendiri menunggu mas Rusdi datang.

Hubunganku dengannya semakin dekat, bahkan aku sudah tidak lagi ikutan acara sosilalita dengan teman-temanku, uang dari Mas Rusdi sering aku habiskan bersamanya, seperti pergi makan, bensin.. hingga suatu hari aku terlena bujuk rayunya untuk membayarkan sebuah kendaraan dengan alasannya untuk dipakai usaha. Aku yang saat itu sedang terlena dan serasa jatuh cinta padanya tidak sadar dengan kondisi bahwa aku sedang dimanfaatkan saja olehnya. Hingga suatu saat aku tersadar bahwa sudah ratusan juta uang yang telah aku keluarkan untuknya selama ini. Aku menyesal telah melakukan kebodohan dalam hidupku. Uang tabungan hasil kiriman Mas Rusdi habis hanya untuk seorang pemuda yang pandai merayu dan memberi perhatian lebih padaku, perhatian yang berharga sangat mahal harus kutebus dengan habisnya tabunganku untuknya…hingga aku putuskan untuk mengakhiri hubunganku dengannya.

Kehidupan sebagi istri kedua memang dilema pahit yang harus aku telan sendiri. Hingga suatu hari mas Rusdi datang membicarakan tentang suatu kondisi yang membuatku syok secara ekonomi. Usahanya bangkrut, kredit macetnya menumpuk, dia tidak bisa lagi mengirimkanku uang belanja seperti biasa besarnya, mungkin hanya sepertiga dari biasanya.. kepalaku yang dari tadi mendengarkan ceritanya tentang kondisi perusahaannya tidak bisa berfikir panjang dan menanggapinya. Aku hanya lemas dan terasa sakit kepalaku mendengar semua ceritanya.

Mulai bulan ini pincang kondisi ekonomi keluargaku, tidak ada lagi uang lebih untuk belanja kebutuhan pribadiku, tidak ada lagi buget ke salon yang biasanya aku lakukan 2x dalam sebulan, bahkan untuk kebutuhan makan harus di irit-irit agar bisa memenuhi semuanya, meskipun sudah diupayakan namun masih harus nombok sana-sini. Otakku yang biasa santai menghadapi kebutuhan hidup mulai dilanda ketegangan, setiap pengeluaran mulai harus aku hitung hingga ac yang tidak perlu dan lampu-lampu dimatikan jika tidak dipergunakan ketat aku terapkan. Sekarang badanku sering dilanda gatal yang tidak tertahankan, entah dari mana sumber penyakit gatal yang aneh bagiku tidak pernah aku alami sebelumnya, mungkin ini akibat kondisi stres yang melandaku sehari-hari.

Ternyata kabar syok perekonomian keluargaku tidak cukup sampai disini, rumah yang selama ini kami tinggali, harus di jual mas Rusdi, dan tidak lain harus segera dijual, dengan alasan takut terdeteksi pihak Bank dan bisa di segel untuk menutupi hutang perusahaan mas Rusdi. Aku hanya bisa pasrah menerima kondisi ini dan tidak sanggup untuk kubayangngkan lepas dari kemewahan rumah dan lingkungan yang selama ini kami tempati 8 tahun sudah. Aku yang selama ini tidak pernah bertanya bahkan ikut campur kondisi perusahaannya merasa sangat kaget harus menghadapi perubahan hidup yang cepat aku rasakan. Rumah sudah dijual kepada developer komplek , sementara mencari rumah tinggal baru kami mengontrak disebuah rumah kecil sambil bersembunyi dari kejaran pihak Bank.

Hancur sudah ekonomi keluargaku, uang hasil penjualan rumah dikuasai seluruhnya mas Rusdi, tanpa kesepakatan bersama dia telah membayar uang muka pembelian rumah dikawasan pinggir Jakarta, dengan sistem membangun cluster, namun hutang mas Rusdi diluar memaksanya menggunakan uang untuk penyelesaian pembangunan rumah, hingga sampai pada tahap rumah tidak dapat dilanjutkan karena mas Rusdi tidak melakukan pelunasan untuk pembangunan rumah tersebut. Tidak terbayang aku tinggal dikontrakan kecil yang seadanya, menunggu rumah yang sedang dibangun namun ternyata uang tersebut sudah tidak ada, hingga kami harus mengambil keputusan untuk menjual kembali rumah yang belum selesai dibangun, kondisi ini semakin membuatku stres menjalani hidup yang tak menentu.

Hari yang berat aku lewati  bersamaan dengan harus ditutupnya bisnis kecil-kecilan bersama tanteku lantaran modal yang tidak ada, habis untuk kebutuhan makan kami bertiga, aku terpaksa mengurus kepindahan etalase dan perlengkapan masak untuk dipindahkan kerumahku. Mobil sewaan yang menjadi andelan kami sehari-hari kuparkirkan di depan mini market, lamanya urusanku dengan pihak pemilik tempat ternyata telah menghalangi mobil pengunjung mini market yang terlihat sedikit kesal padaku ketika aku menuju mobilku. Aku meminta maaf pada seorang pria putih, ganteng dan good looking. Karena salahku, aku berusaha ramah padanya dan meminta maaf atas serobotan parkir yang menghalangi kendaraannya.

Kami berkenalan, dia meminta nomer telponku, karena merasa bersalah padanya aku memberikan saja nomerku, dan berlalu pulang. Usaha dan sisa uang sudah habis, nasibku dan anakku harus ditebus dengan mahal akibat ulah suamiku yang menjual rumah dan mengurus segala sesuatu tanpa persetujuanku. Hidup kami sangat pahit, tiba-tiba serasa di alam mimpi tiba-tiba tidak punya apa-apa, tersisa mobil mewah yang masih harus dibayarkan cicilannya karena aku menggadaikan BPKB mobil tersebut.

Perkenalanku di mini market ternyata berlanjut, dari sekedar iseng Tomi menghubungiku, kami bertemu sekedar jalan makan dan aku menerima ajakannya untuk mengusir stresku..aku dan Tomi semakin sering bertemu, tanpa pikir panjang aku memberanikan diri meminjam uang padanya, entah sudah hilang urat maluku hingga dengan orang yang baru kenal aku berani meminjam uang padanya..aku sudah tidak perduli, dikasih syukur tidak ya sudahlah dalam hatiku. Tanpa disangka Tomi adalah laki-laki yang baik, perhatian menolong dan tidak pamrih.. aku mengajaknya berkenalan dengan ibu dan anakku. Tomi adalah sosok yang santun, mudah bergaul dan bisa akrab dengan anakku, mereka tampak asik membicarakan permainan yang sedang tren digandrungi anak-anak seumurnya.

Mas Rusdi menghubungiku dan menyuruhku bersiap-siap pindah ke kontrakan baru yang lebih besar dan nyaman disuatu komplek dekat dari jalan tol, aku sedikit lega bisa pindah dari kontrakanku yang sempit dan keluar dari mimpi burukku untuk tetap berada di rumah ini. Mulai kukemasi barang – barang kami, ibuku yang sudah tua ikut membantu kemi berkemas, mungkin dihatinya juga sudah tidak kerasan dan ingin segera pindah.

Kontrakan baru kami lumayan nyaman, besar namun tidak sebesar dan semewah rumah kami dulu, tapi aku bersyukur walau harus mengambil dari uang sisa penjualan rumah untuk mengontrak rumah yang juga terbilang lumayan mahal, tapi aku dan anakku bisa tidur dengan lebih nyaman. Tomi semakin akrab denganku dan anakku, dia sudah mengerti kondisi rumah tanggaku dan sering dia yang memberikan uang untuk kebutuhan rumah tanggaku dari uang makan, bayaran anakku, supir dan segala tetek bengek pengeluaran kecil, semua ini karena mas Rusdi sudah tidak pernah lagi memberikan kami uang untuk keperluan hidup kami, seenaknya saja dia datang dan pergi tanpa meninggalkan uang untuk kami makan.

Ibuku yang sudah tua semakin kesal juga melihat mas Rusdi yang seakan angkat tangan dari semua ini. Terus terang aku sudah tidak tahan dengan kondisi ini, waktu terus berjalan, statusku yang menjadi istri kedua kini digantung mas Rusdi, dia masih suka datang berkunjung karena saat ini hubungannya dengan istri pertamanya juga tidak harmonis dikarenakan usaha mas Rusdi yang tengah terpuruk.

Aku bingung dengan keadaan ini, Tomi sangat baik dan perhatian dengan keluargaku dan menutupi semua kebutuhan kami, sementara mas Rusdi tidak juga menceraikanku, kini aku dan Tomi harus kucing-kucingan jika ingin bertemu, aku tidak ingin hubunganku diketahui mas Rusdi dan menganggap aku yang mengkhianatinya, padalah aku lakukan ini karena banyak alasan yang tidak bisa aku sebutkan satu persatu, walau aku sadar aku tetap juga diposisi salah sebagai istri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun