Mohon tunggu...
Yasin Almaliki
Yasin Almaliki Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Memori Tiang Bambu

16 Juli 2023   08:15 Diperbarui: 16 Juli 2023   08:17 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Abdul...kemari, Le" Ibunya memanggil dari ruang tamu.

"Enggeh Mak". Dijawabnya dari kamar sambil bergegas menuju ruang tamu.

"Ini, ada surat undangan upacara hari kemerdekaan dari Pak RT". Dibukanya surat itu dan dibacanya secara perlahan.

"Loh, ini bukan surat undangan, Mak. Isinya surat permohonan menjadi petugas pengibar bendera hari kemerdekaan" Jawab Abdul dengan agak kaget.

"Sudahlah, kamu ikuti saja itu. Nanti malam pergi berlatih sama teman-teman yang lain di lapangan kampung" Bujuk Ibunya sembari membalikkan badan Abdul dan menyuruhnya kembali.

Malam ini Abdul dan kawan-kawan kampungnya sedang berlatih upacara untuk besok. Malam yang begitu sakral. Berselimut cahaya Rembulan yang ditutupi awan tebal. Orang-orang kampung biasa menyebutnya dengan malam tirakatan. Malam ini adalah malam dimana para warga kampung membuat acara doa bersama mengenang jasa-jasa para pahlawan kemerdekaan. Tak hanya berdoa, para warga juga menyelipkan berbagai rangkaian kegiatan seperti pembagian hadiah dan makan bersama. Para ibu-ibu kampung pasti akan sibuk dengan tungku mereka sedari pagi, membuat berbagai macam jajanan dan makanan untuk dibawa saat malam tirakatan ini. Sedang para lelaki akan sibuk menyiapkan tempat dan kebutuhan-kebutuhan acara.

Selepas isya' para petugas yang sudah dipilih oleh ketua RT bersiap unuk melakukan latihan dilapangan desa. Abdul dipilih sebagai pengibar bendera bersama dua rekannya. Di desa ini, setiap tahun para petugas digilir secara bergantian antar RT. Terkadang, jika tidak ada para pemuda yang mahir baris berbaris, ketua RT akan mendatangkan instruktur dari kecamatan. Hal ini dilakukan untuk menghormati hari raya kemerdekaan yang sakral itu.

"Dul, kamu latih itu teman-temanmu. Kamu kan lulusan sekolah mentereng di kota juga sarjana. Hitung-hitung bagi ilmu pada sesama". Pak RT sengaja tidak mendatangkan instruktur karena Bibi Rus telah memberitahunya bahwa keluarga Abdul akan datang. Abdul pun dipilih sebagai instruktur. "

"Kok saya, Pak?. Kenapa tidak yang lain saja. Ada Si Rahmat juga" Elak Abdul.

"Rahmat Absen hari ini" Jawab Pak RT dengan singkat.

Rahmat adalah kawan kampungnya Abdul. Dia sering menjadi pelatih bagi teman-temannya saat ada agenda upacara di kampung ini. Tapi Rahmat sekarang sudah menjadi instruktur dan instruktur tidak akan datang atau ikut campur tanpa adanya surat permintaan yang masuk ke kantor.

 Kali ini Asep menjadi pemimpin upacara. Dia adalah teman Abdul yang paling tinggi dan besar postur tubuhnya. Hentakan kakinya mirip dengan hentakan kaki tentara yang berselimut sepatu pantofel. Suaranya lantang sekerasa suara toa masjid. Tapi itu hanya ketika Asep berteriak. Selain itu, suaranya seperti biasanya teman-teman Abdul atau bahkan lebih pelan dari mereka. Giliran Abdul bertugas. Dibusungkannya tubuh Abdul layaknya pengibar bendera istana negara. Hentakan kaki-kaki Abdul dan kawannya sangat rapi. Profesional meskipun rumput lapangan kampung ini tidak rata.

"Dul, konon dulu bendera merah putih saat upacara proklamasi diambil dari terpal tukang soto" Ucap Asep penasaran.

"Iya, konon juga seseorang keliling Jakarta hanya untuk mencari kain warna merah untuk bendera proklamasi itu. Dia kemudian menemukan kain terpal merah yang dipakai penjual soto dan akhirnya dibeli dengan harga limaratus sen"

"Wahh mahal amat. Pasti sugih tukang soto itu" Ucap Asep

"Ono-ono wae kowe, Sep. itu bukan tentang seberapa mahal harganya tp tentang seberapa besar nilainya, wes-wes ayok latihan meneh." Jawab Abdul

 Sebatang tiang bambu ditatap Abdul, sebuah memori yang tak luput dari pikirannya. Apa benar kita sudah merdeka?. Kenapa kampung ini masih saja tak pernah tersentuh listrik. Menyalakan obor dan uplik di malam hari. Atau memang mereka lupa dengan kampung ini?. Ahh, pikiranmu melayang jauh Dul. Segeralah berlatih kembali, luka tanganmu akan menjadi saksi kesuksesanmu di masa depan. Abdul pasti ingat wejangan Pak Kyai Mustofa Kamil "Bersyukurlah atas apa yang sekarang Tuhan berikan kepadamu". Besok Pak Kyai akan memberikan amanat lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun