Desa wisata Samiran? Ya pertanyaan itu muncul ketika mendengar kata Desa Wisata Samiran. Desa wisata ini memiliki branding yang unik yaitu Dewi Sambi. Keunikan nama yang dimiliki membuat orang yang mendengar akan penasaran. Dewi Sambi diambil dari kependekan Desa Wisata Samiran, Boyolali. Lantas dimana ada dimana Dewi Sambi? Dan apa yang menjadi nilai jualnya? Dewi sambi berada di antara Gunung Merapi dan Merbabu, kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali. Lokasi yang begitu indah bukan? Ya keindahan bentang alam berpadu dengan kegagahan yang ditunjukkan oleh Merapi dan Merbabu menjadi nilai jual yang membuat wisatawan datang ke desa yang berada di ketinggian sekitar 1600 mdpl. Keindahan alam yang memanjakan mata ditemani oleh sejuknya udara pegunungan membuat nuansa yang cocok untuk healing. Nuansa damai selalu tercipta di kawasan dewi sambi disetiap waktu.Â
Perjalanan singkat ku mengenai pertemuan arunika di kala pagi hari dengan nuansa kedamaian yang tercipta di desa ini dimulai saat aku datang ke homestay setelah adzan isya berkumandang. Lantunan adzan berpadu dengan dinginnya udara malam dan mata dimanjakan dengan citylight kota Boyolali, Solo dan sekitarnya menjadi suasana selamat datang bagiku. Siapa sangka suhu menunjukkan di angka 13 derajat membuat setiap orang yang aku jumpai selalu membalut seluruh badan dari ujung kaki sampai dengan kepala dengan kain tebal. Cosplay saat berada di musim salju eropa, tinggal kurang saljunya saja. Namun dinginnya malam berbanding terbalik dengan sikap masyarakat lokal yang aku temui baik di sepanjang perjalanan menuju lokasi, maupun masyarakat lokal sekitar homestay yang menjadi tempat singgah sementara saat aku berada di dewi sambi. Disaat api menjadi musuh pasukan pemadam kebakaran, di sini menjadi teman bahkan sahabat baik bagiku. Hanya api yang dapat memberikan kehangatan selain selimut yang berada di kamar homestay. Ku seduh kopi dengan sekuat tenaga melawan dinginnya malam dapat membantu memberikan kehangatan dari dalam tubuhku.Â
Aku datang berdua dengan Erfando Subroto, biasa dipanggil Broto. Dia adalah temanku yang berasal dari Semarang. Memang bisa dibilang broto ini orangnya sangatlah kocak dan slengekan. Salah satu kekocakannya dilakukan dengan mencelupkan pisang goreng ke dalam gelas yang berisikan kopi. Hal kocak yang ia lakukan membuat suasana terbangun baik dengan tuan rumah pemilik homestay.Â
"Mas e niki kok gayeng men, slengekan, marai ngguyu wae (Masnya yang ini asik ya, slengekan, membuat tertawa saja)". "Nggih ngeten niki pak, o nggih pak Dewi Sambi niki mpun dangu nopo pripun nggih pak? (ya begitulah pak, o iya pak Dewi sambi ini sudah lama apa gimana ya pak?)" sahut Broto yang penasaran dengan adanya dewi sambi. Pak Suarno mendekat ke api dan mencari posisi yang enak untuk mulai menjawab pertanyaan Broto.Â
Beliau menjelaskan bahwa Dewi sambi dibentuk pada tahun 2008, saat itu banyak wisatawan yang datang ke kawasan Desa Samiran untuk melihat keindahan Merapi, Merbabu, kegiatan pertanian masyarakat, peternakan, dan berbagai makanan khas daerah seperti Jadah Mbah Rubi. Kemudian timbul inisiatif dari salah satu pendiri untuk membentuk Desa Wisata Samiran melalui Pokdarwis Desa Samiran. Perkembangan masif ditunjukkan oleh desa ini hingga memiliki hampir 40 homestay yang berada di kompleks Dewi Sambi.
Percakapan kami semakin larut semakin mendalam mengenai seluk beluk dan berbagai hal Dewi Sambi. Aku dan Broto baru sekali dan beberapa saat bertemu dengan Pak Suarno menunjukkan begitu ramah dan terbukanya masyarakat lokal desa Samiran kepada wisatawan yang datang. Kedekatan ini yang membuat suasana semakin hangat, dan membuat wisatawan timbul perasaan nyaman kemudian akan kembali lagi ke sana seperti apa yang aku dan Broto rasakan. "Dulu mas, penginapan disini hanya ala kadarnya, mulai dari kasur yang masih kasur kapuk, terus rumahnya belum di renov seperti saat ini mas."Â
Pak Suarno masih sangat bersemangat dalam menceritakan perjalanan yang ia lalui dari awal berdiri hingga saat ini. Beliau menambahkan "dulu sayang menganggap remeh pariwisata mas, karena yang belum nampak aja hasilnya, bagi saya pariwisata tidak lebih penting dari pertanian, seperti halnya mata pencaharian mayoritas masyarakat sini mas, akan tetapi setelah nampak hasilnya, dan memiliki keberlanjutan, baru saya bergerak aktif dalam kepariwisataan mas, ya minimal selalu memperhatikan kondisi homestay saya ini".Â
Kesadaran akan pariwisata dapat membantu meningkatkan perekonomian dirasakan langsung oleh masyarakat lokal dalam berbagai hal. Mayoritas masyarakat sadar karena sudah merasakan dampaknya dan sudah membandingkan antara sebelum kenal pariwisata dan setelah mengenali pariwisata.Â
Umbi bakar menjadi makanan favorit ku saat bercengkrama dengan Pak Suarno ditambah dengan sesekali minum kopi yang lebih cepat dingin dari biasanya karena terpengaruh suhu malam yang begitu dingin bagiku. Broto dengan tingkah yang ada aja kali ini merasakan kepanasan umbi kemudian dengan refleksnya memasukkan ke minuman kopi miliknya. Sontak aku dan Pak Suarno menertawakan tingkah dari Broto. Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00, aku dan Broto pamit masuk ke kamar untuk istirahat dan tidur.Â
Lantunan adzan subuh membuat aku terbangun dan bergegas untuk membangunkan Broto yang masih tidur pulas dan kemudian kami persiapan untuk menuju destinasi melihat Arunika atau detik-detik munculnya sinar matahari atau sering disebut dengan sunrise. Perjalanan kami tempuh sekitar 10 menit dengan melewati jalan setapak berkelok-kelok di tengah ladang-ladang milik masyarakat sekitar. Kami bersama beberapa pemuda dari Desa Samiran. Bagi yang belum lihai dalam berkendara sangat disarankan untuk tidak sekali-kali mencoba jalan ini, karena memang perlu kewaspadaan yang ekstra. Tikungan demi tikungan kami lalui dengan sangat hati-hati mengingat masih gelap. Setelah hampir 20 an belokan kami sudah sampai di atas yaitu embung Manajar yang berada di ketinggian 1700 mdpl.
Arunika sang mentari perlahan mulai menampakkan dirinya, membuat langit bergradasi keorangean- orangean diantara hitamnya langit saat itu. Kami berkeliling untuk mencari spot yang dirasa pas untuk menyaksikan merekahnya arunika sang surya. Kursi dan meja portable kami susun kemudian kami mengeluarkan beberapa alat tempur seduh kopi sederhana. Keindahan alam, gunung Merapi, hamparan ladang-ladang pertanian, ditemani seduhan kopi begitu nikmat untuk menikmati goresan langit yang sedikit demi sedikit mulai didominasi oleh warna bias dari sang surya yang hendak nampak. Keindahan embung Manajar menjadi daya tarik dan destinasi yang wajib dikunjungi saat berwisata di Selo.Â
Berdasarkan perjalanan yang kami lakukan, pariwisata bukan tentang daya tarik yang dapat dirasakan oleh mata, namun terdapat banyak hal di dalamnya. Unsur kearifan lokal yang ditunjukkan oleh masyarakat dapat menjadi daya tarik yang berkesan bagi wisatawan. Nikmati setiap perjalanan yang dilakukan, bukan hanya soal mata namun tentang interaksi yang terjalin, maka perjalanan akan lebih berwarna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H