Mohon tunggu...
Yashifa Arwida Salsabila
Yashifa Arwida Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa ilmu komunikasi universitas sultan ageng tirtayasa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ridwan Kamil Dan Jersey Persija : Pencitraan Politik Yang Penuh Kontroversi

26 Desember 2024   19:53 Diperbarui: 26 Desember 2024   19:52 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam dunia politik, apa pun bisa menjadi senjata, termasuk atribut sepak bola. Baru-baru ini, langkah Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat, yang dikenal sebagai pendukung setia Persib Bandung, menjadi perbincangan hangat. Beliau kedapatan memakai jersey Persija Jakarta saat blusukan di ibu kota. Banyak yang langsung bereaksi, baik mendukung maupun mencibir. Pasalnya, Persib dan Persija adalah rival abadi di dunia sepak bola Indonesia, dan langkah ini dinilai berani sekaligus kontroversial.

Kenapa ini jadi isu besar? Ya, karena semua ini nggak lepas dari Pilkada Jakarta yang bakal digelar. Ridwan Kamil disebut-sebut bakal maju sebagai salah satu kandidat, dan The Jakmania, pendukung Persija, adalah kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam politik Jakarta. Berdasarkan data, hampir 80% suara pemilih Jakarta punya hubungan dengan The Jakmania. Jadi, nggak heran kalau Ridwan Kamil berusaha keras untuk "menenangkan hati" mereka.

Namun, langkah ini nggak semulus yang dibayangkan. Banyak pihak yang menilai ini sekadar pencitraan politik semata, apalagi mengingat sejarahnya. Ridwan Kamil, yang sebelumnya sering berseloroh tentang Persija dengan nada kurang menyenangkan, kini justru terlihat mendukung klub tersebut secara terbuka. Ini bikin banyak orang, terutama pendukung Persib, merasa langkah ini terlalu "plastik" dan hanya dilakukan demi kepentingan politik.

Ridwan Kamil sempat terlihat mengenakan jersey Persija ketika melakukan blusukan di kawasan Pademangan, Jakarta Utara. Pemandangan ini tentu langsung menarik perhatian, karena langkah tersebut bukan sesuatu yang biasa. Ada cerita di baliknya. Sebelumnya, Ketua Umum The Jakmania, Diky Soemarno, secara terang-terangan memberikan tantangan kepada Ridwan Kamil untuk membuktikan keberpihakannya kepada Persija. Sebagai politisi yang dikenal cerdik dan tak mau melewatkan peluang, Ridwan Kamil langsung menerima tantangan itu dengan memakai jersey klub rivalnya sendiri, Persija.

Tindakan Ridwan Kamil ini tentu saja langsung jadi perbincangan di mana-mana. Foto dan video dirinya dengan jersey oranye Persija cepat sekali menyebar di media sosial. Baik akun resmi maupun unggahan para pendukungnya sama-sama membantu mempopulerkan momen ini. Orang-orang pun ramai memberikan komentar. Di satu sisi, langkah ini dianggap sebagai cara Ridwan Kamil menunjukkan bahwa dirinya adalah pemimpin yang bisa merangkul semua pihak. Sebagai sosok yang sedang menjajaki peluang di Jakarta, ia ingin terlihat bisa dekat dengan seluruh lapisan masyarakat, termasuk para pendukung Persija, yang selama ini menjadi rival berat Persib Bandung klub yang didukungnya selama ini.

Namun, nggak semua orang bisa menerima langkah ini begitu saja. Di balik pujian yang datang, ada juga kritik dan tanda tanya besar yang muncul. Bagaimana mungkin seseorang yang sebelumnya dikenal mendukung Persib sepenuh hati, bahkan sering bercanda tentang Persija dengan nada yang kurang menyenangkan, kini tiba-tiba berubah arah? Dari sini, banyak yang mulai mempertanyakan niat sebenarnya dari tindakan tersebut. Apakah Ridwan Kamil benar-benar tulus ingin merangkul The Jakmania, atau ini cuma strategi politik semata demi mendapatkan suara mereka di Pilkada Jakarta nanti?

Buat sebagian orang, langkah ini terlihat seperti "bermain aman". Dengan memakai jersey Persija, Ridwan Kamil seperti ingin menunjukkan bahwa dirinya tidak memiliki masalah dengan siapa pun, bahkan dengan kelompok yang sebelumnya dianggap rivalnya. Tapi di saat yang sama, langkah ini juga dinilai sebagai tindakan yang terlalu "berhitung". Banyak yang merasa bahwa apa yang dilakukan Ridwan Kamil bukanlah bentuk keberanian, melainkan semacam trik politik untuk mendapatkan simpati dari kelompok yang memiliki pengaruh besar di Jakarta.

Reaksi dari pendukung Persija sendiri juga nggak seragam. Beberapa di antaranya merasa senang dan menganggap tindakan Ridwan Kamil sebagai bentuk penghormatan kepada klub mereka. Tapi ada juga yang justru merasa skeptis. Mereka mengingat bagaimana Ridwan Kamil di masa lalu pernah melontarkan candaan yang dianggap kurang pantas tentang Persija. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba ini membuat sebagian The Jakmania bertanya-tanya: apakah dia benar-benar peduli, atau hanya memanfaatkan momen untuk kepentingan pribadi?

Sementara itu, pendukung Persib Bandung---yang selama ini menjadi basis kuat Ridwan Kamil---juga merasa bingung, bahkan kecewa. Banyak dari mereka merasa langkah ini seperti "pengkhianatan". Sebagai pendukung Persib, Ridwan Kamil selama ini dianggap sebagai simbol kebanggaan bagi warga Bandung dan Jawa Barat. Ketika dia tiba-tiba memakai jersey Persija, banyak yang merasa identitasnya sebagai pendukung Persib telah luntur demi ambisi politik.

Dari semua respons yang muncul, satu hal yang pasti: langkah Ridwan Kamil ini telah memunculkan diskusi yang sangat luas tentang batas antara pencitraan politik dan ketulusan. Sebagai politisi yang sudah lama berkecimpung di dunia politik, Ridwan Kamil tentu tahu betul bahwa langkahnya ini tidak akan diterima semua pihak. Tapi dia tetap melakukannya, mungkin karena dia yakin bahwa mendekati The Jakmania adalah langkah yang strategis jika dia benar-benar ingin memenangkan hati warga Jakarta.

Namun, di era media sosial seperti sekarang, strategi pencitraan seperti ini bisa jadi pedang bermata dua. Orang-orang dengan mudahnya mengakses informasi dan melihat jejak digital seseorang. Tidak butuh waktu lama bagi netizen untuk menggali kembali pernyataan-pernyataan Ridwan Kamil tentang Persija di masa lalu. Hal ini justru menjadi bahan kritik yang memperkuat pandangan bahwa langkahnya saat ini hanyalah sebuah trik politik.

Meski begitu, ada juga yang melihat langkah ini dari sudut pandang yang berbeda. Mereka berpendapat bahwa Ridwan Kamil sedang mencoba untuk mematahkan stigma dan rivalitas yang selama ini ada antara pendukung Persib dan Persija. Dengan memakai jersey Persija, ia ingin menunjukkan bahwa rivalitas dalam sepak bola tidak perlu dibawa ke ranah sosial atau politik. Langkah ini, menurut pendukungnya, adalah upaya untuk mendamaikan dua kubu besar yang selama ini sering bersitegang.

Bagaimanapun juga, langkah Ridwan Kamil ini tidak bisa dipandang secara hitam putih. Di satu sisi, ia berhasil menarik perhatian publik dan menciptakan diskusi yang luas. Tapi di sisi lain, langkah ini juga membawa risiko besar, terutama terhadap citra dan kredibilitasnya sebagai politisi. Yang jelas, tindakan ini menunjukkan bahwa dalam politik, simbol dan gestur sering kali memiliki arti yang jauh lebih dalam daripada yang terlihat di permukaan.

Sekarang, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah langkah ini akan benar-benar memberikan dampak positif bagi Ridwan Kamil, atau justru menjadi bumerang yang merugikan dirinya sendiri. Waktu akan menjadi penentu apakah strategi ini berhasil atau tidak. Yang pasti, apa yang dilakukan Ridwan Kamil ini telah memberikan pelajaran penting bagi kita semua: di dunia politik, setiap langkah harus diambil dengan hati-hati, karena setiap tindakan akan selalu membawa konsekuensi.

Bagi sebagian orang, langkah Ridwan Kamil dianggap sebagai bentuk keberanian. Ia berani meninggalkan identitas lamanya sebagai pendukung Persib demi menunjukkan bahwa ia siap menjadi pemimpin yang mengakomodasi semua golongan. Tapi, bagi banyak lainnya, ini justru dinilai sebagai langkah yang manipulatif.

Sebelumnya, Ridwan Kamil pernah beberapa kali mengomentari Persija dengan nada bercanda, tapi terkesan meremehkan. Hal ini tentu masih diingat oleh banyak orang, terutama pendukung The Jakmania. Ketika kini ia memakai jersey Persija, sebagian besar publik merasa langkah itu sekadar upaya untuk mengambil hati para pendukung Persija menjelang Pilkada Jakarta.

Kritik semacam ini bukan hal baru di dunia politik. Pencitraan seperti ini sering kali dilakukan politisi untuk memperluas basis dukungan mereka. Namun, di era media sosial, di mana informasi dengan cepat menyebar dan jejak digital sulit dihapus, langkah seperti ini bisa jadi bumerang. Orang-orang dengan mudah membandingkan pernyataan atau sikap seseorang di masa lalu dengan tindakannya sekarang.

Peran Media Sosial dalam Pencitraan

Salah satu alasan kenapa langkah Ridwan Kamil ini jadi heboh adalah karena peran media sosial. Di era digital seperti sekarang, segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang tokoh publik pasti akan menjadi sorotan. Ridwan Kamil, yang memang aktif di media sosial, memanfaatkan platform ini untuk membangun citranya sebagai pemimpin yang modern dan dekat dengan masyarakat.

Ketika foto dan video dirinya memakai jersey Persija tersebar di media sosial, banyak pendukungnya yang memuji langkah tersebut. Mereka melihat ini sebagai bukti bahwa Ridwan Kamil tidak takut untuk keluar dari zona nyaman dan mencoba merangkul semua golongan. Tapi di sisi lain, netizen juga nggak segan-segan mengkritik. Ada yang menyebut langkah ini sebagai "lucu-lucuan", ada juga yang terang-terangan bilang kalau ini adalah bentuk kemunafikan politik.

Media sosial juga jadi arena perdebatan antara pendukung Persib dan Persija. Pendukung Persib merasa "dikhianati" oleh langkah Ridwan Kamil, sementara pendukung Persija juga tidak serta-merta menerima dengan tangan terbuka. Mereka mengingatkan bahwa sikap seseorang tidak bisa berubah begitu saja hanya karena kampanye.

Pencitraan seperti yang dilakukan Ridwan Kamil ini memang punya risiko besar. Di satu sisi, ia berhasil menarik perhatian publik, terutama pendukung Persija yang selama ini mungkin merasa jauh dari sosoknya. Tapi di sisi lain, langkah ini juga berpotensi merusak kredibilitasnya.

Dalam politik, konsistensi adalah hal yang penting. Ketika seorang politisi terlihat berubah sikap secara drastis, apalagi tanpa alasan yang jelas, masyarakat cenderung mempertanyakan ketulusannya. Dalam kasus Ridwan Kamil, perubahan dari pendukung setia Persib menjadi "pendukung" Persija dianggap terlalu mendadak dan tidak meyakinkan.

Bahkan, beberapa pihak menyebut langkah ini sebagai bentuk "pengkhianatan" terhadap pendukung Persib. Mereka merasa Ridwan Kamil seharusnya tetap konsisten dengan identitas lamanya, meskipun sedang mencoba menarik simpati dari kelompok lain.

Pelajaran dari Kasus Ridwan Kamil

Dari kasus ini, kita bisa melihat bagaimana pencitraan politik bekerja di era media sosial. Setiap langkah dan keputusan politisi kini langsung direspon oleh publik dalam hitungan detik. Media sosial membuat segala sesuatu menjadi transparan, termasuk kontradiksi antara sikap seorang tokoh di masa lalu dengan tindakannya saat ini.

Ridwan Kamil mungkin berpikir bahwa memakai jersey Persija adalah cara efektif untuk menunjukkan niat baiknya kepada masyarakat Jakarta. Tapi, seperti yang kita lihat, langkah ini justru memancing lebih banyak kritik daripada pujian.

Ini adalah pelajaran penting bagi politisi lainnya: pencitraan adalah pedang bermata dua. Ketika dilakukan dengan hati-hati dan konsisten, pencitraan bisa menjadi alat yang sangat efektif untuk membangun dukungan. Tapi ketika terlihat terlalu dipaksakan atau bertentangan dengan identitas sebelumnya, pencitraan bisa merusak kredibilitas dan justru menjauhkan mereka dari masyarakat.

Kasus Ridwan Kamil dan jersey Persija adalah contoh nyata bagaimana politik bisa menjadi arena yang penuh dengan simbol dan makna. Dalam upayanya untuk menarik simpati The Jakmania, Ridwan Kamil mengambil langkah yang berani, tapi juga penuh risiko.

Apakah langkah ini berhasil? Hanya waktu yang bisa menjawab. Yang pasti, di era media sosial, segala sesuatu yang dilakukan oleh politisi akan terus dipantau dan dievaluasi oleh publik. Bagi Ridwan Kamil, tantangan berikutnya adalah membuktikan bahwa langkah ini bukan sekadar pencitraan, tetapi benar-benar mencerminkan niat tulus untuk merangkul semua golongan.

Namun, terlepas dari pro dan kontra, kasus ini menunjukkan betapa pentingnya peran media sosial dalam politik modern. Media sosial bukan hanya alat untuk berkomunikasi, tapi juga menjadi medan pertempuran opini yang sangat menentukan. Bagi politisi, konsistensi dan ketulusan adalah kunci untuk memenangkan hati rakyat di tengah era yang serba transparan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun