Dalam keseharian mereka, bukan hanya mereka dibiasakan untuk berbahasa Arab, tetapi juga ditambah bahasa Inggris dan Indonesia. Ditambah lagi, mereka sangat tekun dalam mendalami agama Islam. Saya terkagum dengan jumlah pembelajaran mereka, ada yang mempelajari sejarah islam, haditz, bahkan penulisan kaligrafi yang elok saya saksikan di sana.Â
Berbeda dengan kami di Kolese Kanisius, yang dominan mempelajari mata pelajaran IPA atau IPS. Kami pun juga tidak mempelajari bahasa Arab. Sebagai sekolah Katolik, kami juga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda jauh secara umum dengan teman-teman kita di pesantren.Â
Tujuan Emas
Perbedaan yang saya lihat memiliki satu kesatuan tali merah. Tujuan pembelajaran maupun pendalaman materi semua mengarah kepada memuliakan nama Tuhan. Tentu, cara kami kami dari Kolese Kanisius dan para Santri dari Darul Uluum Lido berbeda. Tetapi pada hakikatnya kita semua memulikan nama Tuhan. Dengan tujuan sama inilah, kita bisa bertemu. Dengan tujuan inilah, kita dapat saling berpendapat dan ingin tahu.
Tujuan mulia yang kita miliki bukan hanya menjadi pendorong untuk bertoleransi, tetapi menjadi katalis utama. Dalam bertoleransi dengan siapa pun, kita harus memiliki kesamaan tujuan. Ditambah lagi, perbedaan ini harus menjadi modal bersama untuk maju sebagai suatu bangsa.Â
Inaya Wahid, salah satu narasumber dalam pembekalan kegiatan ini, seorang tokoh pluralisme dan anak dari presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa pluralisme hanya bisa menjadi sebuah kekuatan ketika kita ingin dan mau berkolaborasi. Dari situlah, terjadi toleransi yang begitu besar pengaruhnya.
Selama 3 hari, saya bertekun belajar dengan para santri. Saya bersama teman-teman lain belajar hadits, Al-Quran, sampai mengaji. Kegiatan mereka begitu ketat. Jadwal yang dibarengi istirahat singkat. Seolah-olah kami berada di dalam pelatihan militer. Kemandirian mereka bagaikan mesin yang tidak pernah lelah. Dengan pakaian kokoh yang rapih dan hitam teratur. Kami tidak berani berbuat ulah.Â
Pagi hari seolah-olah seperti malam yang sunyi. Tanpa bulan yang menemani, suara shalawat yang merdu memandu kami untuk mengikuti kegiatan menghafal Quran setelah subuh. Mata yang begitu berat saya bawa sampai ditangga masjid. Di sana, perasaan lemas dan keinginan tidur mendominasi. Memang, menjadi santri sangat berat dan penuh disiplin.
Saudara Kini dan Selamanya
Saya tertidur lelap di atas matras. Tenaga saya nampak terkuras. Tetapi pada akhirnya saya merasa iba. Iba karena waktu pulang sudah tiba. Seakan-akan saya harus pergi dari rumah saya, dengan rasa syukur saya mengucapkan sayonara. Para santri memberi kami pertunjukkan pentas terakhir dengan penuh ceria. Pembacaan puisi, dansa, dan juga marawis mewarnai hari terakhir dan menjadi penutup manis.Â
Ketika menginjak kaki ke dalam bus, dengan bahagia saya menerima bahwa mereka adalah teman saya. Dengan keberagaman ini saya bangga. Bangga bahwa saya bisa memiliki teman di dalam pesantren, dan bangga bisa menjadi bagian kebhinekaan Indonesia.
Keberagaman yang saya jumpai bersama teman-teman tidak kebetulan, melainkan takdir yang memberi perspektif baru. Sebab, disinilah saya bertemu teman baru. Disinilah saya bertemu Afif yang bercita-cita menjadi dokter.Â
Di sinilah saya bertemu Ahmad yang bercita-cita menjadi insinyur pertambangan. Di sinilah saya bertemu para santri yang memiliki cita-cita tidak jauh dengan kami para Kanisian. Betul bahwa mereka menekuni agama Islam, tetapi mereka juga memiliki cita-cita untuk membangun negeri.