Mohon tunggu...
Yarra Wiryadenta
Yarra Wiryadenta Mohon Tunggu... Lainnya - SMA Kanisius Jakarta

Walaupun saya hanya seorang siswa yang duduk dibangku SMA. Ketertarikan saya untuk menulis dijiwai dari ketertarikan terhadap media massa serta masalah atau polemik yang ada di masyarakat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menuju Kebhinekaan Sejati

16 November 2024   21:40 Diperbarui: 16 November 2024   21:57 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Koleksi Pribadi

"Perbedaan itu bukan alasan untuk terpecah, tetapi justru modal untuk bersatu."


B.J. Habibie

Berangkat nan jauh ke luar kota. Membayangkan kehidupan berbeda. Saya pergi bersama kawan sejawat. Menuju tempat yang tak dekat. Dari menteng raya, kami pergi menuju lido. Daerah indah, hijau, dan asri. 

Di sana, saya berjumpa dengan mereka. Para penjaga warisan Al-Quran. Para tahfidz, Santri, dan Ustadz. Tampaknya kami sama, sama-sama bagian dari Indonesia, sama-sama manusia.

Bergegaslah kami mengambil tas dari bus, kendaraaan kami. Menggunakan seragam yang tampak asing di sana. Kami bertemu mereka. Seketika, kami enggan, ragu, dan tidak menyapa. Pelan-pelan kami menyapa. Berkenalan, berbicara, suasana menjadi cair dalam sekejap. Memang kita tidak berbeda, sama-sama remaja, dan sama-sama penuh cinta.

Perjumpaan dengan Perbedaan

Berasal dari titik awal yang berseberangan, Bukan berarti dalam sebuah garis kita tidak saling bertemu. Gradien yang berbeda memungkinkan dua persamaan bertemu dalam satu atau bahkan dua dan tiga titik. Perjumpaan ini mencerminkan titik temu yang jelas. 

Titik temu di mana kita memiliki persamaan visi mengenai dialog dan interaksi antar agama. Ya, kita semua menginginkan persatuan diatas segalanya. Dalam kata lain, toleransi merupakan hubungan yang terjadi secara mutual. Toleransi adalah salah satu bentuk apresiasi atas perbedaan masing-masing.

Dalam kata-kata kyai Muhammad Yazid Dimyati, pimpinan pesantren Daarul Uluum Lido menyatakan bahwa program ini adalah dalam ranah pendidikan. Artinya, Kolese Kanisius bersama Daarul Uluum Lido ingin memberikan wawasan luas kepada para peserta didiknya akan kekayaan keberagaman yang kita miliki.

Perjumpaan keberagamaan ini menarik. Selama acara pertama kami saling melirik, bukan karena perasaan iri, melainkan wajah-wajah yang antusias untuk berkenalan. Kami berjabat tangan, tersenyum, dan meneruskan dengan kisah-kisah perbedaan masing-masing. Nyatanya, setelah lama bercerita, saya sadar bahwa banyak sekali perbedaan mereka yang begitu indah.

Dalam keseharian mereka, bukan hanya mereka dibiasakan untuk berbahasa Arab, tetapi juga ditambah bahasa Inggris dan Indonesia. Ditambah lagi, mereka sangat tekun dalam mendalami agama Islam. Saya terkagum dengan jumlah pembelajaran mereka, ada yang mempelajari sejarah islam, haditz, bahkan penulisan kaligrafi yang elok saya saksikan di sana. 

Berbeda dengan kami di Kolese Kanisius, yang dominan mempelajari mata pelajaran IPA atau IPS. Kami pun juga tidak mempelajari bahasa Arab. Sebagai sekolah Katolik, kami juga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang berbeda jauh secara umum dengan teman-teman kita di pesantren. 

Tujuan Emas

Perbedaan yang saya lihat memiliki satu kesatuan tali merah. Tujuan pembelajaran maupun pendalaman materi semua mengarah kepada memuliakan nama Tuhan. Tentu, cara kami kami dari Kolese Kanisius dan para Santri dari Darul Uluum Lido berbeda. Tetapi pada hakikatnya kita semua memulikan nama Tuhan. Dengan tujuan sama inilah, kita bisa bertemu. Dengan tujuan inilah, kita dapat saling berpendapat dan ingin tahu.

Tujuan mulia yang kita miliki bukan hanya menjadi pendorong untuk bertoleransi, tetapi menjadi katalis utama. Dalam bertoleransi dengan siapa pun, kita harus memiliki kesamaan tujuan. Ditambah lagi, perbedaan ini harus menjadi modal bersama untuk maju sebagai suatu bangsa. 

Inaya Wahid, salah satu narasumber dalam pembekalan kegiatan ini, seorang tokoh pluralisme dan anak dari presiden Abdurrahman Wahid mengatakan bahwa pluralisme hanya bisa menjadi sebuah kekuatan ketika kita ingin dan mau berkolaborasi. Dari situlah, terjadi toleransi yang begitu besar pengaruhnya.

Selama 3 hari, saya bertekun belajar dengan para santri. Saya bersama teman-teman lain belajar hadits, Al-Quran, sampai mengaji. Kegiatan mereka begitu ketat. Jadwal yang dibarengi istirahat singkat. Seolah-olah kami berada di dalam pelatihan militer. Kemandirian mereka bagaikan mesin yang tidak pernah lelah. Dengan pakaian kokoh yang rapih dan hitam teratur. Kami tidak berani berbuat ulah. 

Pagi hari seolah-olah seperti malam yang sunyi. Tanpa bulan yang menemani, suara shalawat yang merdu memandu kami untuk mengikuti kegiatan menghafal Quran setelah subuh. Mata yang begitu berat saya bawa sampai ditangga masjid. Di sana, perasaan lemas dan keinginan tidur mendominasi. Memang, menjadi santri sangat berat dan penuh disiplin.

Saudara Kini dan Selamanya

Saya tertidur lelap di atas matras. Tenaga saya nampak terkuras. Tetapi pada akhirnya saya merasa iba. Iba karena waktu pulang sudah tiba. Seakan-akan saya harus pergi dari rumah saya, dengan rasa syukur saya mengucapkan sayonara. Para santri memberi kami pertunjukkan pentas terakhir dengan penuh ceria. Pembacaan puisi, dansa, dan juga marawis mewarnai hari terakhir dan menjadi penutup manis. 

Ketika menginjak kaki ke dalam bus, dengan bahagia saya menerima bahwa mereka adalah teman saya. Dengan keberagaman ini saya bangga. Bangga bahwa saya bisa memiliki teman di dalam pesantren, dan bangga bisa menjadi bagian kebhinekaan Indonesia.

Keberagaman yang saya jumpai bersama teman-teman tidak kebetulan, melainkan takdir yang memberi perspektif baru. Sebab, disinilah saya bertemu teman baru. Disinilah saya bertemu Afif yang bercita-cita menjadi dokter. 

Di sinilah saya bertemu Ahmad yang bercita-cita menjadi insinyur pertambangan. Di sinilah saya bertemu para santri yang memiliki cita-cita tidak jauh dengan kami para Kanisian. Betul bahwa mereka menekuni agama Islam, tetapi mereka juga memiliki cita-cita untuk membangun negeri.

Keberagaman ini menjadi pembelajaran bagi ktia bahwa pada hakikatnya kita sama. Bila saya bisa andaikan, latar belakang kita seperti ras, suku, dan agama hanyalah baju yang kita pakai. Tentu baju kita berbentuk beda-beda, tetapi itu tidak bisa menjadi alasan untuk tidak peka. Justru beragam baju ini menjadi cara kita untuk bisa lebih maju dan bahkan berkolaborasi untuk membangun negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun