Di Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menghadapi dilema signifikan terkait peran mereka sebagai wakil rakyat versus kapitalis. Mulai dari periode 2024-2029, data menunjukkan bahwa 61% dari total anggota DPR adalah pebisnis atau terafiliasi dengan korporasi. Fenomena ini telah memunculkan kekhawatiran tentang bagaimana DPR dapat menjalankan tugas utamanya sebagai lembaga legislatif yang mewakili kepentingan rakyat jika mayoritas anggotanya memiliki kepentingan bisnis pribadi. Persoalan ini bukanlah sesuatu yang baru, namun intensitasnya semakin meningkat. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) telah mengkritik dominasi pebisnis di parlemen, yang diyakini akan memperkuat kapitalisme kroni di Indonesia.
Perbandingan antara peran DPR sebagai wakil rakyat dan kapitalis menunjukkan dua arah yang saling bertabrakan. Di satu sisi, DPR memiliki tanggung jawab untuk mengawasi pemerintah, menyusun undang-undang, dan membahas anggaran negara. Namun, dengan demikian, mereka juga harus menghadapi tekanan dari kepentingan bisnis yang kuat. Misalkan, pebisnis yang dominan di DPR mungkin lebih fokus pada keuntungan bisnis daripada kepentingan publik, seperti yang dialami dalam revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Ilustrasi kasus-kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR menunjukkan betapa seriusnya dilema ini. Contohnya, kasus Al Amin Nasution, Sarjan Tahir, Yusuf Emir Faisal, Abdul Hadi Djamal, dan Bulyan Royan yang didakwa tuduhan korupsi karena melakukan suap kepada anggota DPR. Kasus-kasus seperti ini bukan hanya menodai integritas lembaga legislatif tetapi juga mengganggu fungsi dasar DPR sebagai badan legislasi yang independen.
Contoh praktis dari bagaimana kapitalisme kroni dapat mempengaruhi peran DPR adalah dalam proses penyusunan undang-undang. Saat revisi UU KPK, kritik mahasiswa bahwa RUU tersebut lahir dari 'perselingkuhan' libido-libido kekuasaan dan ideologi tertentu sangat relevan. RUU-RUU kontroversial seperti RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU PKS seringkali diidentifikasi sebagai produk transaksi pasal antara berbagai kekuatan rent-seekers.
Menurut saya situasi ini membuat demokratisasi nasional terancam oleh dominasi oligarki dan dinasti politik. Dominasi pebisnis di parlemen rawan menciptakan kapitalisme kroni yang boros dan merepotkan ekonomi nasional. Bahkan, buruknya kualitas partai politik di Indonesia menjadi pangkal semua persoalan tersebut. Partai-partai lebih fokus menggaet siapa pun yang punya modal daripada menyiapkan kader kompeten.
Analogi yang tepat untuk menjelaskan dilema ini adalah analogi "tanduk dan sarang." Di mana tanduk (dominan pebisnis) saling bersaing dan menghalangi sarang (demokrasi) untuk berkembang. Demokratik idealnya harus berfungsi sebagai sarang yang melindungi hak-hak rakyat, namun dengan hadirnya tanduk-pebisnis, demokrasinya malah terancam.
Pada akhirnya, posisi DPR sekarang akan memiliki konflik kepentingan yang sangat banyak. Sebab, jumlah pebisnis mendominasi dan pada akhirnya para anggota harus mengorbankan salah satu tanggung jawabnya sebagai kapitalis atau wakil rakyat.Â
Untuk memperluas artikel ini dan membuatnya lebih spesifik, mari kita bahas lebih dalam tentang bagaimana konflik kepentingan antara bisnis dan politik dapat memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta dampaknya bagi kepentingan publik. Selain itu, berdasarkan pengalaman saya, kasus-kasus di mana kepentingan politik diutamakan atas kepentingan masyarakat secara jelas memperlihatkan ancaman nyata dari konflik kepentingan yang semakin intensif di Indonesia.
Pada periode 2024-2029, sebanyak 61% anggota DPR di Indonesia terafiliasi dengan bisnis. Hal ini berarti mayoritas dari mereka memiliki kepentingan pribadi yang terkait langsung dengan korporasi atau perusahaan besar. Kondisi ini menciptakan tekanan besar untuk menyeimbangkan tanggung jawab sebagai wakil rakyat yang seharusnya mengutamakan kepentingan publik dengan tuntutan untuk mengamankan keuntungan bisnis. Fenomena ini tercermin dalam berbagai keputusan dan kebijakan kontroversial, di mana politisi dengan latar belakang bisnis besar sering kali cenderung mendorong regulasi yang menguntungkan sektor swasta atau perusahaan mereka.
Sebagai contoh, revisi terhadap Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang banyak dikritik publik, terutama mahasiswa dan akademisi, dianggap sarat dengan konflik kepentingan. Banyak yang percaya bahwa perubahan undang-undang ini dimaksudkan untuk melemahkan peran KPK dalam mengawasi korupsi, khususnya yang melibatkan politisi dan pengusaha yang berhubungan dekat dengan pemerintahan. Pengalaman pribadi saya, di mana kepentingan bisnis lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan publik, memberikan pemahaman mendalam mengenai bagaimana konflik kepentingan ini dapat membahayakan demokrasi dan mengabaikan hak-hak rakyat.
Ketika politisi yang memiliki keterkaitan dengan bisnis berada di posisi penting, mereka sering kali dihadapkan pada dilema antara memprioritaskan kepentingan pribadi atau publik. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota DPR, seperti Al Amin Nasution, Sarjan Tahir, dan Yusuf Emir Faisal, adalah contoh nyata dari politisi yang mengedepankan keuntungan pribadi. Konflik kepentingan ini berpotensi mencederai kepercayaan publik terhadap integritas lembaga legislatif dan merusak reputasi DPR sebagai representasi rakyat.
Pengalaman pribadi saya yang melihat bagaimana politisi sering kali memilih keuntungan pribadi daripada kepentingan publik memberikan perspektif yang relevan. Misalnya, dalam suatu kasus, politisi mungkin mendukung proyek pembangunan yang menguntungkan korporasi tertentu di mana mereka memiliki kepentingan saham atau keterlibatan langsung. Sebaliknya, proyek tersebut mungkin tidak memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat luas atau bahkan dapat membahayakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis: dapatkah DPR benar-benar berfungsi sebagai wakil rakyat jika mayoritas anggotanya memiliki kepentingan bisnis?
Seperti dalam analogi tanduk dan sarang, kehadiran politisi yang lebih mengutamakan bisnis mengancam 'sarang' demokrasi, yang seharusnya berfungsi untuk melindungi hak-hak rakyat. Tanduk-tanduk ini, yang mewakili kepentingan pebisnis di parlemen, sering kali saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh lebih besar, baik melalui transaksi politik maupun peraturan yang menguntungkan bisnis mereka. Dengan hadirnya aktor-aktor politik yang berorientasi pada keuntungan pribadi, ruang demokrasi semakin menyempit, sehingga rakyat kehilangan kesempatan untuk benar-benar menikmati kebijakan yang berpihak kepada mereka.
Menyadari kompleksitas permasalahan ini, penting bagi partai politik untuk lebih selektif dalam merekrut calon legislatif yang akan mewakili rakyat. Partai politik perlu mendukung kader yang memiliki komitmen terhadap kepentingan publik dan memiliki integritas yang tinggi. Selain itu, pengawasan terhadap DPR oleh masyarakat sipil harus ditingkatkan agar kebijakan yang lahir dari DPR benar-benar mewakili kebutuhan masyarakat.
Sebagai contoh ril yang saya alami, saya pernah menjabat sebagai wakil ketua OSIS SMP. Di kala itu saya berusaha untuk memundurkan diri dari berbagai organisasi yang menimbulkan kepentingan konflik. Mungkin bisa saja dalam sebuah kepanitiaan saya memasukkan teman-teman saya, mungkin dalam pelaksanaan acara saya bisa saja hanya menguntungkan teman-teman saya saja. Hal ini mungkin sekilas terlihat kurang signifikan, tetapi dalam jangka panjang cukup merusak. Karena bila saya sendiri melakukan hal-hal ini maka saya tidak objektif dan pada akhirnya kredibilitas saya sebagai wakil ketua bisa menurun. Maka dari itu, Transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan melalui regulasi yang lebih ketat dan penerapan sanksi yang tegas bagi politisi yang terbukti terlibat dalam konflik kepentingan. Masyarakat juga perlu aktif dalam memberikan suara mereka melalui pemilihan umum yang adil dan transparan, memilih wakil yang benar-benar memiliki rekam jejak yang bersih dan dedikasi yang kuat pada kepentingan publik.Â
Dengan langkah-langkah ini, kita dapat berharap agar DPR dapat berfungsi sesuai mandat sebagai wakil rakyat yang sebenarnya, tanpa didominasi oleh kepentingan kapitalis yang merusak tatanan demokrasi dan ekonomi nasional.
Sumber
https://koran.tempo.co/read/editorial/490223/dominasi-pebisnis-dinasti-politik-dpr
 https://journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalAdministrasiBisnis/article/download/2111/1921
 https://uinsgd.ac.id/wakil-rakyat-dan-janji-politik/
https://uinjkt.ac.id/index.php/id/kesadaran-legislatif-anggota-dpr
https://jurnal.stipan.ac.id/index.php/jurnal-pemerintahan/article/download/92/117/245
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI