Ketika politisi yang memiliki keterkaitan dengan bisnis berada di posisi penting, mereka sering kali dihadapkan pada dilema antara memprioritaskan kepentingan pribadi atau publik. Kasus-kasus korupsi yang melibatkan beberapa anggota DPR, seperti Al Amin Nasution, Sarjan Tahir, dan Yusuf Emir Faisal, adalah contoh nyata dari politisi yang mengedepankan keuntungan pribadi. Konflik kepentingan ini berpotensi mencederai kepercayaan publik terhadap integritas lembaga legislatif dan merusak reputasi DPR sebagai representasi rakyat.
Pengalaman pribadi saya yang melihat bagaimana politisi sering kali memilih keuntungan pribadi daripada kepentingan publik memberikan perspektif yang relevan. Misalnya, dalam suatu kasus, politisi mungkin mendukung proyek pembangunan yang menguntungkan korporasi tertentu di mana mereka memiliki kepentingan saham atau keterlibatan langsung. Sebaliknya, proyek tersebut mungkin tidak memberikan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat luas atau bahkan dapat membahayakan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat setempat. Situasi ini menimbulkan pertanyaan kritis: dapatkah DPR benar-benar berfungsi sebagai wakil rakyat jika mayoritas anggotanya memiliki kepentingan bisnis?
Seperti dalam analogi tanduk dan sarang, kehadiran politisi yang lebih mengutamakan bisnis mengancam 'sarang' demokrasi, yang seharusnya berfungsi untuk melindungi hak-hak rakyat. Tanduk-tanduk ini, yang mewakili kepentingan pebisnis di parlemen, sering kali saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh lebih besar, baik melalui transaksi politik maupun peraturan yang menguntungkan bisnis mereka. Dengan hadirnya aktor-aktor politik yang berorientasi pada keuntungan pribadi, ruang demokrasi semakin menyempit, sehingga rakyat kehilangan kesempatan untuk benar-benar menikmati kebijakan yang berpihak kepada mereka.
Menyadari kompleksitas permasalahan ini, penting bagi partai politik untuk lebih selektif dalam merekrut calon legislatif yang akan mewakili rakyat. Partai politik perlu mendukung kader yang memiliki komitmen terhadap kepentingan publik dan memiliki integritas yang tinggi. Selain itu, pengawasan terhadap DPR oleh masyarakat sipil harus ditingkatkan agar kebijakan yang lahir dari DPR benar-benar mewakili kebutuhan masyarakat.
Sebagai contoh ril yang saya alami, saya pernah menjabat sebagai wakil ketua OSIS SMP. Di kala itu saya berusaha untuk memundurkan diri dari berbagai organisasi yang menimbulkan kepentingan konflik. Mungkin bisa saja dalam sebuah kepanitiaan saya memasukkan teman-teman saya, mungkin dalam pelaksanaan acara saya bisa saja hanya menguntungkan teman-teman saya saja. Hal ini mungkin sekilas terlihat kurang signifikan, tetapi dalam jangka panjang cukup merusak. Karena bila saya sendiri melakukan hal-hal ini maka saya tidak objektif dan pada akhirnya kredibilitas saya sebagai wakil ketua bisa menurun. Maka dari itu, Transparansi dan akuntabilitas harus ditingkatkan melalui regulasi yang lebih ketat dan penerapan sanksi yang tegas bagi politisi yang terbukti terlibat dalam konflik kepentingan. Masyarakat juga perlu aktif dalam memberikan suara mereka melalui pemilihan umum yang adil dan transparan, memilih wakil yang benar-benar memiliki rekam jejak yang bersih dan dedikasi yang kuat pada kepentingan publik.Â
Dengan langkah-langkah ini, kita dapat berharap agar DPR dapat berfungsi sesuai mandat sebagai wakil rakyat yang sebenarnya, tanpa didominasi oleh kepentingan kapitalis yang merusak tatanan demokrasi dan ekonomi nasional.
Sumber
https://koran.tempo.co/read/editorial/490223/dominasi-pebisnis-dinasti-politik-dpr
 https://journal.unpar.ac.id/index.php/JurnalAdministrasiBisnis/article/download/2111/1921
 https://uinsgd.ac.id/wakil-rakyat-dan-janji-politik/