Mohon tunggu...
Yarifai Mappeaty
Yarifai Mappeaty Mohon Tunggu... Penulis - Laki

Keterampilan menulis diperoleh secara otodidak. Sejak 2017, menekuni penulisan buku biografi roman. Buku "Sosok Tanpa Nama Besar" (2017) dan "Dari Tepian Danau Tempe (2019).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cerita Kekuasaan Membungkam Kebenaran

7 Maret 2019   15:01 Diperbarui: 11 Maret 2019   07:32 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bumi datar seperti selembar tikar permadani yang terhampar. Matahari terbit di timur, bergerak membelah langit lalu tenggelam di barat. Semuanya adalah pemahaman tentang semesta yang dipercaya secara dogmatis oleh pada umumnya masyarakat Eropa hingga abad ke-16. Kendati pada akhirnya persepsi itu terbukti sesat, tetapi begitu kuatnya dipercaya  berasal dari kitab suci, sehingga menjadi  semacam doktrin yang tak terbantahkan oleh siapapun kala itu.

Pada awal abad ke-16, muncul seorang Nicolaus Copernicus (1473 - 1543 M) mencoba mengakhiri kesesatan itu sembari mengajukan teori heleosentris, temuannya. Teori itu ia bangun setelah melalui serangkaian observasi dan eksperimen di bidang astronomi. "Bumi ini bulat. Selain berputar pada sumbunya sendiri, juga bergerak mengitari matahari sebagai pusat tata surya," kira-kira demikian kata Copernicus untuk meyakinkan orang-orang yang ditemui di sekitarnya.

Alih-alih menyadari dan mengakui kesesatan itu, Copernicus justeru di hujat sebagai orang gila dan sesat oleh para pemuka agama dan kalangan bangsawan. Bahkan kalangan Lutherian, sebuah sekte keagamaan yang dipimpin oleh Martin Luther di Jerman menyebutnya, dungu, karena dianggap mengacaukan konsep-konsep ilmu astronomi.

Mengapa Copernicus dihujat? Apakah karena mereka tidak mampu melihat kebenaran Copernicus yang diperoleh melalui pendekatan ilmiah itu? Tidak. Mereka sebenarnya menyadari. Setidaknya bagi orang-orang Andalusia - Spanyol yang telah terlebih dahulu tercerahkan oleh pengaruh Islam. Jauh sebelum itu, dunia Islam telah mengetahui kalau bumi bulat.

Al-Biruni, seorang sarjana Muslim yang hidup pada akhir abad ke-10 hingga awal abad ke-11 (973 - 1048 M), jangankan telah membuktikan bumi bulat, ia bahkan telah berhasil menghitung jari-jari bumi yang hanya berbeda sedikit dengan perhitungan sains modern.  Sehingga mustahil penemuan Al-Biruni itu tidak sampai pada Thomas Aquinas (1225 - 1274), seorang cendekiwan Kristen yang hidup dekat dengan salah satu pusat peradaban Islam  abad ke-13 di Eropa : Andalusia.

Selain itu, terdapat bukti lain yang menunjukkan kalau Eropa sebenarnya telah menyadari bahwa bumi bulat, jauh sebelum Copernicus, Bruno, dan Galilei. Yaitu, bagaimana mungkin Raja Ferdinand dan Ratu Isabel, selaku penguasa baru Andalusia pasca Islam, menyetujui proposal Columbus untuk melakukan pelayaran keliling dunia dalam rangka menemukan "dunia baru" pada akhir abad ke-15, kalau mereka masih meyakini doktrin bumi datar?

Sebagai raja dan ratu, Ferdinand dan Isabel memiliki pengaruh  kuat terhadap otoritas agama yang berpusat di Roma. Dengan demikian, kebenaran pada gagasan heleosentris Copernicus, sebenarnya juga telah disadari oleh para pemimpin agama dan kalangan elite Eropa yang telah tercerahkan, termasuk oleh pemikiran-pemikiran Thomas Aquinas yang hidup dua atau tiga abad sebelumnya.

Tetapi apa lacur, konsep bumi datar telah terlanjur menjadi doktrin keagamaan. Sehingga  bagaimanapun, harus tetap dijaga dan dipertahankan, demi mememlihara hegemoni dan otoritas agama sebagai sumber kebenaran satu-satunya kala itu. Dengan kata lain, jika kebenaran Copernicus diakui secara terbuka, maka sama saja membiarkan terjadinya deligitimasi terhadap otoritas agama.  Apa boleh buat, kekuasaan terpaksa membungkam kebenaran Copernicus dan tidak membiarkannya berkembang dengan cara mengucilkannya dari hadapan manusia. Copernicus beruntung keburu meninggal dunia. Sebab kalau tidak, maka ia mungkin akan mengalami nasib tragis, sama dengan penerusnya, Giordano Bruno (1548 - 1600 M) yang dibakar hidup-hidup.

Kisah tragis kekuasaan membungkam kebenaran seperti yang dialami Copernicus, Bruno, dan bahkan Galilei, sebenarnya bukan yang pertama terjadi dalam sejarah. Nabi Ibrahim yang hidup ribuan tahun sebelum Masehi, pun, mengalami  nasib seperti Bruno : dibakar hidup-hidup. Bedanya, Bruno menyampaikan kebenaran ilmiah, sedangkan Nabi Ibrahim menyampaikan kebenaran spiritual tentang keesaan tuhan (tauhid) di tengah dominasi penyembahan berhala (politeisme).

Beratus tahun sebelum Copernicus, Mansur Al-Hallaj (866 - 922M), menemui kematiannya di tiang gantungan. Konon, tubuhnya dipotong-potong, kemudian dibakar, lalu, abunya dihanyutkan di Sungai Tigris.  Hal itu terjadi, lantaran Al-Hallaj mengungkapkan rahasia paling tersembunyi dari kebenaran spiritual yang diperolehnya. "Aku adalah kebenaran," serunya di tengah pasar-pasar dan di jalan-jalan kota Bagdad. Tidak berapa lama, seruan-seruan Al-Hallaj itu memberinya banyak pengikut, bahkan menjadi sumber inspirasi bagi kaum oposisi untuk melakukan pembrontakan terhadap kekuasaan Khalifah Al-Muqtadir (908 - 935M).

Oleh Al-Muqtadir dan barisan pendukungnya kemudian menyadari kalau Al-Hallaj adalah sebuah ancaman serius, dan, sewaktu-waktu dapat memantik terjadinya revolusi yang dapat menumbangkan kekuasaan Sang Khalifah. Al-Hallaj pun dibungkam dengan tuduhan melakukan kesesatan dan menyesatkan. Mula-mula, ia diisolasi dari pergaulan di masyarakat dengan mengurungnya di dalam penjara. Namun hal itu justeru makin menumbuhkan empati kepada Sang Sufi dan meningkatkan antipati rakyat terhadap Al-Muqtadir. Rezim cemas. Setelah di penjara beberapa tahun lamanya, Al-Hallaj pun akhirnya dieksekusi di tiang gantungan, di hadapan publik Kota bagdad.

Di Tanah Jawa, pada 500 tahun lebih silam, kekuasaan juga mempertontonkan kedigdayaannya membungkam kebenaran. Adalah Syekh Siti Jenar yang dihukum mati oleh otoritas Wali Songo dan penguasa Demak. Ia dituduh sesat dan menyesatkan karena mengajarkan "Manunggaling Kawulo Gusti". Yaitu, sebuah ajaran tentang bersatunya hamba dengan Khaliq yang bersumber dari wahdatul wujud Al-Hallaj. Tetapi, benarkah ajaran Syekh Siti Jenar sesat? Hingga kini masih menjadi kontroversi. Namun tidak sedikit sejarahwan berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar dihukum mati karena ajarannya mengancam otoritas Wali Songo dan Kesultanan Demak, seperti Al-Hallaj mengancam kekuasaan Al-Muqtadir.

Tampaknya kekuasaan, kapan dan di manapun, tetap saja seperti candu yang melenakan. Setiap rezim cenderung kecanduan untuk mereguk nikmat kekuasaan lebih lama. Hal itu membuat watak asli kekuasan yang otoriter kerap muncul untuk menghadapi pihak-pihak yang mencoba mengusik kenikmatannya. Di sini, kebenaran yang dilontarkan sebagai kritik membuat kekuasaan tidak nyaman. Padahal kritik pada dasarnya hanyalah sebuah upaya menyandingkan kebenaran kekuasaan dengan kebenaran oposisi yang bertujuan mencegah terjadinya monopoli kebenaran oleh kekuasaan.

Namun, kritik masih tetap saja dipandang sebagai ancaman bagi kekuasaan, bahkan di negeri yang paling demokratis sekalipun, sehingga harus dibungkam. Tetapi berbeda di masa lalu, membungkam kebenaran di masa kini sedikit lebih "beradab" dengan menggunakan modus bully, persekusi, delik. Sedangkan penjara adalah jalan terakhir, belum sampai pada hukuman mati.

Di negeri ini, terlepas dari situasi politik yang melatarinya, modus tersebut telah menimpa Ahmad Dhani, Neno Warisman, dan Rocky Gerung yang memilih beroposisi terhadap kekuasaan. Modus bully, persekusi, dan pengaduan,  memang bukan tangan kekuasaan sendiri yang melakukannya, tetapi melalui tangan-tangan oknum pendukung dan penikmatnya.

Cerita tentang kebenaran dibungkam kekuasaan sepertinya tak akan pernah berakhir, kendati demokrasi telah mengajarkan kekuasaan untuk mengabdi. Sebab, begitulah kekuasaan dan kebenaran ditakdirkan tidak selalu bersama. Sehingga mengungkapkan kebenaran memang selalu punya risiko.

Kata Sang Bijak, "Tak mudah menemukan kebenaran, tetapi mengungkapkannya jauh lebih berbahaya." Maka, berhati-hatilah!

Bone, 3/2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun