Ini membuktikan kalau Donny memang benar pernah belajar pada Rocky, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setidaknya, pernyataan Rocky di ILC benar, bahwa Donny memang pernah menjadi asistennya sewaktu mereka masih bersama-sama di UI.
Mungkin, Donny memang seorang "murid" yang gerah pada pencapaian Rocky", sebagaimana ia tunjukkan dengan berbagai lontaran yang merendahkan. Rocky seolah-olah memiliki kualitas moral yang rendah.
Bayangkan ketika ia menyebut Rocky sebagai  philosopher yang suka mengumbar pikiran-pikiran palsu yang merusak demokrasi. Dan, masih banyak lagi. Padahal, menurut penulis yang masih memegang teguh falsafah hidup manusia Bugis, adalah pantang bagi seorang murid merendahkan martabat seorang guru di depan publik.
Tetapi, ada satu dari Donny yang mengusik, ketika ia mengatakan bahwa ruang publik adalah tempat pikiran dipertukarkan dalam iklim perdebatan yang bebas dari kekuasaan dan uang - ini juga diksi Rocky. Dengan lontaran itu, Donny seolah-olah ingin memberi kesan kalau Rocky telah membawa filsafat ke ruang publik, demi uang. Benarkah?
Bukan apa. Donny yang pernah menjadi asisten Rocky, tentu mengetahui banyak hal tentang pribadi Rocky. Apakah kemunculan Rocky di ruang publik dalam setahun terakhir ini, kira-kira karena uang? Sementara yang kita ketahui 15 tahun mengajar di UI, Rocky tidak pernah mau menerima gaji. Dan, sampai sejauh ini, belum ada satupun negasi dari pihak UI mengenai hal itu. Ah, biar waktu dan Rocky sendiri yang menjawabnya.
Selanjutnya, apakah benar Rocky melakukan pembusukan filsafat sesuai pandangan Goenawan, Sahal dan Donny? Harus diakui bahwa narasi akal sehat yang dibangun Rocky di ruang publik, memang membuat kagum banyak orang. Tetapi, kalau disebut cemplang-cemplung dan pandai berbicara kosong yang seolah-olah cerdas, menurut kriteria Goenawan, maka mestinya Rocky sudah menjadi bahan tertawaan dan olok-olok. Tetapi faktanya, kemunculan Rocky justeru selalu ditunggu-tunggu publik.Â
Selain itu, kelihatan kalau Rocky memang cerdas, bukan seolah-olah. Bahkan kecerdasan Rocky bertutur untuk membuat logika lebih mudah dipahami oleh awam, jelas Rocky bukan tandingan Goenawan, meskipun ia juga seorang ahli pikir pilih tanding yang dikenal melalui tulisan-tulisannya.
Sebagai seorang pegumul filsafat yang mengumbar narasi akal sehat di luar tembok istana, maka tidak salah menyebut Rocky sebagai seorang sofis. Tetapi sofis yang penulis maksud di sini adalah mereka yang menyuarakan kebenaran sebagai hasil proses pergumulan filsafat.
Bukan sofis seperti yang dikuatirkan Mochtar. Bukan pula sofis cemplung-cemplung versi Goenawan, apalagi sofis kaki-tangan penguasa. Terbukti sepanjang hidupnya, Rocky tetap kukuh memilih berdiri di barisan oposisi. Padahal, kalau ia mau berada di dalam tembok istana, Rocky sudah melakukannya pada era Gus Dur dan SBY.
Sebaliknya, Goenawan yang kita kenal dengan pemikiran kritisnya melalui Catatan Pinggir di Majalah Tempo semenjak 1970-an, sekarang di mana? Melalui cuitan-cuitannya di media sosial, akhirnya kita maklum kalau Goenawan kini telah pensiun dari oposisi kritis. Mengapa? Mungkin ia sudah merasa renta dan lelah menjadi oposisi selamanya. Apalagi kekuasaan di lain pihak, pada dasarnya memang memiliki tabiat yang suka merangkul dan menjinakkan.
Lalu, bagaimana dengan definisi Sahal tentang pembusukan filsafat? Tendensius dan sembrono. Terlalu memaksakan diri untuk menstigmatisasi Rocky sebagai pelaku pembusukan filsafat. Â Definisi dan contoh kasus yang ia ajukan sangat mudah dipatahkan, cukup mengajukan sebuah pertanyaan.