Fenomena integrasi antara Marwah dengan Kanjeng Dimas ini, tampaknya memang ganjil dan sulit diterima oleh akal sehat. Marwah seorang intelektual yang bergelar Ph.D, alumni American University. Sedangkan Kanjeng Dimas, paling tidak, adalah seorang penganut mistisisme atau mungkin lebih tepat disebut okultist. Yaitu seorang penganut kepercayaan supranatural. Â Inilah yang membuat Marwah dihujat karena dianggap merendahkan kecerdasan intelektual yang begitu diagungkan di era ini.
Bagaimana mungkin sains moderen bisa dipadukan dengan okultisme? Lebih kurang seperti itu pandangan orang pada umumnya. Tetapi, apakah memang seorang Marwah telah menjadi sedungu itu? Bagi penulis, tidak. Oleh karena itu, untuk menguak "keanehan" Marwah, maka mari kita coba dekati dengan perspektif teori kuantum yang kerap kali ia sebut dalam berbagai kesempatan.
Dari berbagai referensi yang penulis temukan bahwa dalam fisika kuantum, setidaknya terdapat empat mazhab. Salah satu di antaranya adalah mazhab integrasi. Pendukung mazhab ini melihat adanya hubungan yang dekat antara teori ilmiah dengan keyakinan agama tertentu. Â Fritjof Capra dan Gary Zukaf, misalnya, dua orang fisikawan kuantum mazhab ini, konon, telah berhasil memadukan antara fisika modern dengan mistisisme timur secara sistematis.
Misalnya, dualitas "partikel - gelombang" yang sering disebut sebagai paradox dalam fisika kuantum, memiliki kemiripan dengan polaritas "yin - yan", yang tidak lain adalah "local genius" Taoisme China. Tentu saja tak mudah memahaminya. Tetapi terobosan Capra dan Zukaf itu, dapat dimaknai sebagai pengakuan sains modern  terhadap "local genius", sehingga menjadi sebuah perspektif di dalam usaha menguak misteri kehidupan.
Jika demikian halnya, maka integrasi sains Marwah dengan okultisme Kanjeng Dimas, pada dasarnya memiliki landasan ilmiah pada sains modern. Bahkan pada konteks ini, upaya Marwah melakukan upaya integrasi sains dengan "local genius" di Nusantara ini, justeru patut diapresiasi karena tidak banyak ilmuan kita yang mencoba melakukannya.
Lalu apa landasan teoritis Marwah sehingga ia begitu percaya pada fakta Dimas Kanjeng yang mampu mendatangkan benda-benda yang diingininya? Seperti yang ketahui bahwa menurut perspektif fisika kuantum, ruang dan waktu adalah relatif. Dengan begitu, jarak bisa ditarik - dilipat, serta ruang dan waktu bisa ditembus. Narasi seperti ini tentu membuat jidat kita makin berkerut karena pengetahuan kita sendiri tidak cukup memadai untuk memahaminya, terutama penulis.
Tetapi kalau demikian halnya, maka memang bukan mustahil kalau materi dapat berpindah dari satu tempat ke lain tempat. Dari satu dimensi ke dimensi yang lain (transdimensi). Semua itu bisa terjadi dalam sekejap. Bahkan, konon, ilmuan kuantum "superposisi" telah berhasil membuktikan bahwa sebuah benda dapat berada pada dua dimensi yang berbeda dalam waktu relatif bersamaan.
Berdasarkan narasi di atas, maka peristiwa perpindahan istana Ratu Bilkis pada kisah Nabi Sulaiman dan peristiwa Isra-Mikhraj Rasulullah SAW oleh suatu kekuatan supranatural, dapat diterima dalam perspektif sains moderen. Apatah lagi sekadar memindahkan benda seperti uang kertas, batangan emas, dan batu-batu permata, yang massanya tak seberapa jika dibandingkan dengan sebuah istana, pun, tidak mustahil dengan menggunakan kekuatan yang sama. Dalam hal ini, kita boleh sependapat dan boleh tidak, kalau Kanjeng Dimas memang memiliki kekuatan supranatural. Sehingga penulis cenderung menyebutnya sebagai seorang okultist. Bahkan kita boleh berspekulasi bahwa kekuatan itu berasal dari bantuan Jin atau bersumber dari kekuatan ilahiah.
Namun pada konteks ini, tentu bukan itu soalnya. Tetapi yang ingin penulis sampaikan bahwa meskipun sains memiliki metodenya sendiri, namun sejarah mencatat bahwa kebangkitannya pada abad ke 16 dan 17, tidak benar-benar bebas dari pengaruh luar, seperti mistisisme, terutama yang bersumber dari okultisme. Bahkan sains dan okultisme ini telah lama hidup berselingkuh secara diam-diam di ruang  rahasia.
Jonathan Black (2007) menulis dalam "The Secreet History of The World", Â bahwa Copernicus mengakui tesisnya tentang heliosentris diinspirasi oleh teks-teks dari dunia kuno. Ketika Kepler merumuskan teori-teorinya, ia sadar bahwa kebijaksanaan kuno bekerja melalui dirinya. Bahkan, Newton, ilmuan terbesar yang pernah dilahirkan, pun akhirnya percaya bahwa misteri kehidupan terkodekan dalam bentuk numerik dalam struktur alam.
Newton juga percaya bahwa petunjuk untuk menguraikan kode rahasia itu, tersembunyi dalam sandi-sandi numerik maupun linguistik pada naskah kuno dan pada bangunan kuno seperti Piramida dan Kuil Solomon. Demikian pula, Leibniz, matematikawan Jerman, saingan Newton dalam merumuskan Kalkulus, mengakui kalau diinspirasi oleh mistisisme angka pada Kabbala, yaitu, sebuah tradisi esoterik dalam mistisisme Yahudi.