Bersama Sandi, Anies pun memeras otak mencari solusi. Mereka berdua mencoba menutup Jalan Jati Baru untuk digunakan bagi PKL. Namun belum apa-apa, Â lawan-lawan politiknya sudah menudingnya melakukan langkah pencitraan terkait agenda politik 2019.
Terhadap tudingan itu, Anies tampak tak peduli dan tetap saja bergeming dengan kebijakannya. Tetapi masalahnya menjadi lain ketika timbul keberatan dari kalangan sopir angkot yang merasa dirugikan oleh kebijakan itu. Mau tak mau, sebagai pemimpin semua kalangan, maka melalui Sandi, Sang Wakil Gubernur, Anies pun membuka dialog dengan pihak sopir angkot guna mencari solusi. Apalagi, para sopir angkot itu adalah wong cilik yang mesti dibelanya.
Komitmen Anies terhadap wong cilik, kembali ditunjukkan melalui kebijakannya yang memberi ruang hidup bagi tukang becak. Anies tidak bisa menutup mata bahwa di Jakarta masih terdapat ribuan becak yang beroperasi di gang-gang sempit. Menjadi moda transportasi pilihan bagi ibu-ibu yang berbelanja di pasar-pasar rakyat. Tentu saja,  becak-becak  itu ilegal karena ada Perda yang melarangnya beroperasi di seluruh wilayah Jakarta.
Keruan saja,  Anies kembali menuai cibiran dari lawan-lawannya dengan menuding  Anies membuat kebijakan asal-asalan yang tujuannya tak lebih dari sekadar melunasi hutang kampanye. Bahkan ia dituduh, selain hendak mengembalikan kesemrawutan bagi Jakarta, juga, legalisasi becak hanya akan mengekalkan kemiskinan pada diri tukang becak dan membiarkan mereka tetap menjadi tukang becak selamanya. Benarkah?  Padahal Anies berkali-kali menyatakan bahwa legalisasi becak itu merupakan kebijakan yang bersifat terbatas dengan batasan yang tegas dan jelas.
Menjadi tukang becak bukanlah pilihan, dan tak seorang pun menginginkannya. Anies juga tentu menyadari hal itu, Â sehingga tak menginginkan ada warganya selamanya menjadi tukang becak. Tetapi realitasnya, Â masih ada rakyatnya hidup mengais rezeki dari mengayuh becak, karena kemampuan, peluang dan kesempatan yang dimiliki hanya itu. Oleh karena itu, Â Anies hanya ingin memberi ruang yang sedikit lapang bagi mereka di dalam mencari rezeki, sembari memikirkan cara lain yang lebih layak.
Pekerjaan mengayuh becak, memang tak manusiawi. Tetapi lebih tak manusiawi lagi ketika membiarkan mereka makan saja tak cukup dan seadanya karena ruang geraknya ditiadakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H