Mohon tunggu...
Muhammad Ainul Yaqin
Muhammad Ainul Yaqin Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Teknik Informatika Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Dosen Teknik Informatika yang menekuni bidang keahlian Rekayasa Perangkat Lunak, Sistem Informasi, Manajemen Proses Bisnis, Process Mining, dan Arsitektur Enterprise.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Membaca Debat Capres dari Kacamata AI: Siapa yang Lebih Bikin Kita Senyum?

1 Desember 2024   10:22 Diperbarui: 1 Desember 2024   10:24 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.bing.com/images/create

Dunia Debat Capres di Era Digital

Pemilihan presiden di Indonesia selalu jadi ajang panas dan seru, tapi bukan cuma karena siapa yang bakal jadi pemimpin kita berikutnya. Ada faktor lain yang bikin kita terhibur: debat capres! Mulai dari argumen cerdas, janji manis, sampai momen-momen "oops" yang bikin kita geleng-geleng kepala.

Di tengah semua ini, para peneliti cerdas (bukan kita, kita cuma penikmat debat) dari sebuah konferensi di IEEE memutuskan untuk memanfaatkan AI buat analisis sentimen debat capres. Penelitian mereka nggak main-main! Mereka mengupas komentar-komentar YouTube di kanal Najwa Shihab --- si jurnalis kesayangan rakyat --- buat mencari tahu apa sih, sentimen netizen soal capres yang debatnya heboh itu.

Hasilnya? Beberapa algoritma keren seperti Nave Bayes, SVM, sampai LSTM dilibatkan buat cari tahu apakah sentimen penonton itu positif atau negatif. Eh, ternyata si LSTM mampu nyari sentimen positif dengan tingkat akurasi hampir 100%! Sempurna? Iya, tapi jangan senang dulu, bisa jadi itu overfitting alias "terlalu bagus buat jadi kenyataan." Jadi, algoritma itu masih perlu diuji di dataset lain biar nggak cuma jago kandang.

Nah, di artikel ini kita nggak cuma bahas penelitian utama dari Shabrina dkk., tapi juga ngobrolin penelitian pendukung lainnya. Jadi, yuk kita mulai perjalanan AI kita buat memahami hati netizen Indonesia!

Debat Capres: Drama atau Komedi?

Ketika capres debat, ada dua tipe penonton: yang serius nyimak buat ngerti visi-misi capres, dan yang sekadar nonton buat cari hiburan. Untungnya, di era digital ini kita nggak harus tebak-tebak sendiri soal sentimen penonton. Peneliti canggih udah nyediain datanya!

Misalnya, penelitian Shabrina dkk. menemukan bahwa netizen lebih sering kasih komentar positif kalau capres mampu berbicara dengan tenang, rasional, dan ya... sedikit humor. Tapi jangan salah, momen debat panas yang penuh argumen juga bisa menghasilkan sentimen positif kalau disampaikan dengan elegan.

Di sisi lain, komentar yang lebih negatif biasanya muncul kalau capres mulai "saling serang" atau menyampaikan argumen tanpa data yang kuat. Poin ini didukung juga oleh penelitian Rachmad dkk. soal kebijakan penanganan Covid-19. Mereka menemukan bahwa komentar negatif sering muncul ketika masyarakat merasa kebijakan pemerintah kurang efektif atau terkesan meremehkan situasi.

Oh iya, dalam debat capres, jangan lupa juga faktor pembawa acara. Najwa Shihab, misalnya, dikenal sebagai pembawa acara yang nggak segan-segan bertanya tajam. Perannya jadi penting banget buat menjaga jalannya debat tetap informatif tapi nggak kebablasan jadi perang mulut.

AI: Dari Nusantara Sampai Debat Capres

Kalau ngomongin tentang AI dan analisis sentimen, penelitian Utama dkk. tentang nama "Nusantara" sebagai ibu kota baru juga nggak kalah seru. Mereka menggunakan algoritma Convolutional Neural Network (CNN) untuk membaca ribuan komentar netizen. Hasilnya? Mayoritas sentimen positif, tapi jangan salah, komentar netral dan negatif juga banyak.

Nah, kalau kita bandingkan sama debat capres, ada kemiripan yang menarik. Dalam debat, komentar positif bisa muncul saat capres menyampaikan ide-ide besar, misalnya soal pembangunan infrastruktur atau penguatan ekonomi digital. Sama halnya dengan bagaimana masyarakat Indonesia melihat "Nusantara" sebagai simbol masa depan yang cerah (meski sebagian masih galau meninggalkan Jakarta yang penuh kenangan macet).

Tapi komentar netral atau negatif juga bisa muncul saat isu yang dibahas dianggap kurang relevan atau terlalu "mimpi di siang bolong." Misalnya, kalau capres berdebat tentang visi besar tapi lupa membahas langkah konkret buat mencapainya, netizen bakal langsung beralih ke mode komentator skeptis.

Balik lagi ke penelitian Shabrina dkk., algoritma seperti Nave Bayes bisa membantu memfilter komentar-komentar ini. Menariknya, meskipun algoritma ini nggak sekuat CNN, dia tetap bisa kasih gambaran yang cukup akurat soal sentimen publik. Tapi tetap, LSTM yang mereka pakai lebih jago kalau urusan identifikasi sentimen positif dengan detail yang lebih tajam.

Sentimen ala Netizen: Harapan atau Kekecewaan?

Sekarang, kita intip hasil penelitian lain yang seru: Tho dkk. Mereka nggak hanya analisis komentar biasa, tapi fokus ke teks campuran Bahasa Indonesia dan Jawa! Bayangin, netizen yang komen dengan kalimat campuran seperti:
"Capres iki pinter, tapi yo mbok ojo ngapusi!"

Penelitian ini menggunakan Sentence-BERT, model AI yang lebih canggih buat memahami bahasa campuran. Hasilnya, mereka bisa menganalisis sentimen dengan akurasi yang lumayan tinggi, sekitar 83%. Ini penting banget, terutama di Indonesia, di mana komentar dalam debat sering pakai campuran bahasa daerah dan nasional.

Nah, kalau hasil dari penelitian ini dihubungkan ke debat capres, kita bisa lihat bagaimana algoritma AI yang memahami kode campuran ini bakal lebih efektif buat menganalisis debat. Sebab, bukan cuma kalimat baku yang penting, tapi juga konteks dan nuansa dari bahasa yang digunakan.

Misalnya, kalau ada capres yang bilang, "Rakyat kita butuh pemimpin yang ngerti kebutuhan wong cilik!", AI yang pintar bakal bisa nangkep sentimen positif dari kata-kata seperti "pemimpin yang ngerti" meskipun ada campuran bahasa daerah di dalamnya.

AI: Pahlawan di Tengah Perang Komentar YouTube

Siapa yang nggak pernah ngeliat kolom komentar debat capres di YouTube? Rasanya kayak masuk ke medan perang virtual. Di satu sisi, ada pendukung fanatik yang nggak ragu-ragu ngegas, di sisi lain, ada tim kontra yang siap mengkritik dengan dalih "demi kebaikan bersama." Nah, di tengah hiruk-pikuk ini, hadir AI sebagai pahlawan super yang tugasnya menganalisis sentimen.

Bayangin kalau kita harus membaca ribuan, bahkan jutaan komentar manual. Ya ampun, bisa-bisa otak kita overheat duluan! Untungnya, penelitian Shabrina dkk. menunjukkan bahwa dengan bantuan model seperti LSTM, kita bisa menyaring komentar-komentar ini berdasarkan sentimennya. Misalnya:

  • Komentar positif:
    "Saya suka cara capres ini menjelaskan rencana ekonomi digital. Harapan baru buat Indonesia nih!"

  • Komentar negatif:
    "Ngomong doang, tapi nggak ada bukti nyata. Ntar ujung-ujungnya cuma janji kosong!"

Dengan akurasi 100%, LSTM hampir nggak pernah meleset dalam mengidentifikasi sentimen positif. Tapi, seperti yang dibahas dalam penelitian, ini juga bikin kita was-was soal overfitting. Jangan-jangan, si AI terlalu jago di dataset debat capres, tapi pas dipake buat analisis komentar mas-mas Twitter yang bahas tim sepak bola malah bingung.

Sisi Lain: Kebijakan Pemerintah dan Sentimen Netizen

Kalau kita lihat penelitian Rachmad dkk. tentang sentimen kebijakan pemerintah dalam menangani Covid-19, ada hal menarik yang bisa kita tarik ke debat capres. Mereka menggunakan metode Nave Bayes dengan fitur TF-IDF dan information gain buat memilah komentar. Hasilnya, meskipun akurasi rata-rata di angka 86,2%, tingkat recall mereka sampai 97%!

Artinya? Model ini jago banget buat menangkap semua komentar, baik yang positif maupun negatif. Sama seperti di debat capres, di mana komentar bisa sangat beragam, mulai dari:

  • "Capres ini tanggap banget soal isu kesehatan. Bagus, harusnya pemerintah juga kayak gitu!"
  • "Udah tahu pandemi, masih mikirin hal-hal nggak penting. Fokus dong ke kesehatan masyarakat!"

Kekuatan model seperti Nave Bayes adalah kemampuannya untuk memberikan gambaran umum sentimen publik. Tapi, ya, kelemahannya, model ini kurang jago buat memahami konteks yang lebih kompleks, misalnya ironi atau sarkasme. Bayangin kalau ada yang komentar:
"Capres ini luar biasa... luar biasa bikin saya nggak percaya."
Nave Bayes bisa jadi bingung, tapi LSTM atau Sentence-BERT mungkin bisa lebih paham.

Masa Depan Analisis Sentimen Debat Capres

Dengan semua model AI yang ada---dari Nave Bayes sampai CNN dan LSTM---pertanyaannya adalah: ke mana arah masa depan analisis sentimen di Indonesia?

Kalau kita melihat tren, penggunaan AI untuk analisis sentimen nggak cuma bakal berhenti di debat capres. Ini bisa diperluas ke:

  • Kebijakan publik: Untuk melihat bagaimana rakyat merespon kebijakan-kebijakan baru.
  • Produk dan layanan: Brand besar bisa menganalisis ulasan pelanggan secara otomatis dan meningkatkan layanan mereka.
  • Kampanye politik: Capres masa depan mungkin akan pakai AI buat memonitor sentimen publik dan menyesuaikan strategi mereka secara real-time.

AI: Juru Damai Dunia Maya

Pada akhirnya, AI punya potensi besar untuk menjadi juru damai di dunia maya. Dengan membantu kita memahami sentimen publik secara akurat, AI bisa membantu menciptakan diskusi yang lebih sehat, bahkan di tengah debat yang panas.

Tapi, tentu saja, AI juga nggak sempurna. Sama seperti manusia, dia butuh belajar terus-menerus dari data baru dan perlu diawasi biar nggak salah langkah. Jadi, siapkah kita menyambut masa depan di mana AI nggak cuma jadi pengamat, tapi juga aktor penting dalam demokrasi digital?

Kita lihat aja nanti... Eh, atau AI sudah mulai mengawasi kita sekarang?

Referensi:

Artikel Utama:
Shabrina, U. I., Sarno, R., Anggraini, R. N. E., Haryono, A. T., & Septiyanto, A. F. (2024, February). Sentiment Analysis of Presidential Candidate Debates from YouTube Videos. In 2024 IEEE International Conference on Artificial Intelligence and Mechatronics Systems (AIMS) (pp. 1-6). IEEE.

Artikel Pendukung:
Rachmad, A., Kustiyahningsih, Y., Pratama, R. I., Syakur, M. A., Rochman, E. M. S., & Hapsari, D. (2022, October). Sentiment Analysis of Government Policy Management on the Handling of Covid-19 Using Naive Bayes with Feature Selection. In 2022 IEEE 8th Information Technology International Seminar (ITIS) (pp. 156-161). IEEE.

Utama, F. R., Maylawati, D. S. A., Syaripudin, U., Ramdania, D. R., Nurlatifah, E., & Septiadi, M. A. (2023, November). Sentiment Analysis Regarding the Name of "Nusantara" in Indonesia's New Capital City Using Convolutional Neural Network. In 2023 IEEE 9th International Conference on Computing, Engineering and Design (ICCED) (pp. 1-5). IEEE.

Tho, C., Heryadi, Y., Kartowisastro, I. H., & Budiharto, W. (2021, October). A comparison of lexicon-based and transformer-based sentiment analysis on code-mixed of low-resource languages. In 2021 1st International Conference on Computer Science and Artificial Intelligence (ICCSAI) (Vol. 1, pp. 81-85). IEEE.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun