Lagi-lagi harapan kita pastilah pemimpinnya. Pemimpinlah yang menjadi indikator utama karakter suatu bangsa. Pemimpin yang konsisten untuk menjamin kedaulatan masyarakatnya yang satu bangsa dan satu bahasa, yakni Indonesia. Karena dengan liberalisasi dan “keran-keran” pasar bebas yang meng-orientasi-kan penguasaan aset-aset lintas negara berasaskan nilai ekonomis dan efisiensi, mengindikasikan bahwa negara yang demokratis sudah tidak menjadi batasan dan kesulitan besar lagi untuk para pemodal besar dalam mengembangkan “kapitalnya". Pun keresahan masyarakat dan ketidakpercayaan dengan pemerintah negara serta pentingnya peran kebijakan di sebuah negara membawa pada ketidakpedulian. Berarti apa kita sudah tidak perlu negara sebagai representatif suara dan kedaulatan rakyat sehingga baiknya dibubarkan saja? Atau bangsa Indonesia hanya sebagai identitas saja? Lalu apa gunanya Pancasila, Bhineka Tunggal Ika dan Undang-undang Dasar 1945?
Jika kita masih menganggap hal tersebut penting dan representatif akan hak-hak rakyat, tentunya merupakan keharusan untuk mengupayakan “penyadaran diri” dari keterbuaian situasi yang perlahan justru makin mempersempit fungsi negara. Lalu untuk mewujudkannya dibutuhkan pemimpin yang tegas, mempunyai jiwa ke-Indonesia-an yang kuat, dan berani bertindak baik untuk rakyat pribumi maupun pihak asing untuk kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia tanpa peduli (reconsider) status sosial yang ada. Karena status sosial lah yang membentuk lapisan kelas-kelas dan membuat ke-ego-an dan adanya penguasaan aset-aset bangsa di sana-sini sehingga makin memperlebar deviasi kesejahteraan dan kesenjangan ekonomi dari setiap individu di negeri Indonesia. Karena suatu permusuhan timbul karena adanya “kelas-kelas” dalam struktur masyarakat, seperti yang dipaparkan Marx yang dikutip oleh Gunawan Wiradi (2009) dalam bukunya Metodologi Studi Agraria :
“Sepanjang berjuta keluarga hidup dalam kondisi memisahkan cara hidup, kepentingan-kepentingan mereka dengan kelas-kelas lain dan menempatkan diri mereka berseberangan secara bermusuhan maka mereka merupakan suatu “kelas”. Sejauh hanya ada hubungan lokaldi antara petani kecil itu, dan identitias kepentingan mereka tidak membentuk komunitas, tidak membentuk ikatan nasional, dan tidak ada organissasi politik diantara mereka, maka mereka bukanlah suatu kelas 10.”
Pantaskah Budiman Sudjatmiko Menjadi Presiden Republik Indonesia Berikutnya?
Dari latar belakang yang telah diceritakan dan pemberitaan tentangnya serta sepak terjang Budiman Sudjatmiko, jalur politisnya mengindikasikan untuk memperjuangkan hak-hak rakyat terutama untuk pengelolaan lahan, tanah dan bumi yang ada di Indonesia. Atau bisa kita sebut dengan istilah “kedaulatan agraria” bagi masyarakat khususnya masyarakat pedesaan yang diklaim jauh dari kesejahteraan dibandingkan dengan pola hidup manusia perkotaan. Karena pangan notabennya berasal dari produksi hasil bumi berorientasi lahan dan investasi pangan yang cenderung ada di daerah pedesaan. Jadi sangat penting untuk meningkatkan kesejahteraan pedesaan bukan saja dari sudut pandang materi, tapi penjaminan hidup yang berorientasi lahan menurutku. Jika lahan-lahan sudah diberikan kepada pemodal perkotaan maupun pihak asing para “kelas petani” (peasantry) untuk mengupayakan lahan sebagai objektivitas hidup akan terhambat. Jadi sangat bijaksana menurutku meletakkan nilai dasar perjuangan untuk mensejahterakan dan mengupayakan kedaulatan petani dalam mengolah lahan untuk produksi pangan.
Namun kekuatan pengaruh Budiman Sudjatmiko secara politis untuk kebijakan-kebijakan agraria saat ini hanya di ranah parlementer atau DPR, sehingga perlu menjajaki posisi struktural di kenegaraan yang lebih tinggi seperti menteri bahkan presiden. Karena kebijakan tertinggi berada pada tangan presiden secara simbolik. Selain itu dibutuhkan pengkajian yang tepat untuk permasalahan agraria di Indonesia secara model dan sistemnya. Menurut Gunawan Wiradi (2009) model agraria dibedakan atas tiga model, yakni: a. collective reform yaknimodel sosialis,b.redistrbutif reform model kapitalis/liberal (yang berkuasa atau besarlah yang efisien) dan c. redistributif reform model neo-populis (yang kecillah yang efisien) 11.Namun bangsa Indonesia sampai saat ini masih perlu membenahi diri persoalan tersebut karena kebijakan agraria yang akan menentukan kedaulatan bangsa Indonesia, bukan teknologi, ekonomi dan tren yang ada saat ini.
Jika melihat urgensitas isu tersebut dan permasalahannya, maka sangat pantas jika Budiman Sudjatmiko untuk diproyeksikan sebagai the next presiden of Indonesia dan sesuai dengan sepak terjangnya. Ketegasan ideologi dan dampak dari tindakannya yang nyata seperti yang telah dibahas pada lembar sebelumnya menunjukkan kepantasannya sebagai wujud pemimpin bangsa Indonesia. Karena cita-cita ideologi kedaulatan rakyat atas tanah, negara, moral, dan bangsa yang dikemas dalam bentuk Pancasila, UUD 1945, dan Bhinkea Tunggal Ika bergantung atas kedaulatan atas teritori atau wilayahnya sertakeleluasaan di wilayah tersebut untuk objektivitas hidup. Tanah dan air yang didefenisikan memang kita bangsa Indonesia dan negara diatasnya yang harusnya memiliki, bukan milik dan akuisisi pemodal maupun pihak asing. Jika tidak dimiliki bangsa ini maka kedaulatan teritori negara Indonesia pun bisa dipertanyakan kejelasannya. Jika Budiman terus mengedepankan cita-cita tersebut menurutku tentulah pasti akan didukung oleh bangsa Indonesia. Namun apabila ketika sudah menduduki posisi tertinggi bangsa ini dan ternyata tidak sesuai dengan cita-cita ideologis bangsa Indonesia dan jalur hidup yang dilewatinya, apa tidak sama mengecewakannya dengan pemimpin- pemimpin lain? Tentunya akan meningkatkan taraf kekecewaan masyarakat dan bangsa ini. Sehingga jika begitu bisa saja berdampak pada ketidakpedulian perlu atau tidaknya peran negara pada bangsa ini.
Referensi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H