Mohon tunggu...
Yulianri Rizki Yanza
Yulianri Rizki Yanza Mohon Tunggu... Student / Assistant Professor -

PhD Student Of Poznan University of Life Science

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Benarkah Wujud Pemimpin Sejati Bangsa Indonesia Bersemayam Dalam Diri Budiman Sudjatmiko?

24 Januari 2014   22:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Itu pula yang mungkin mendorong para aktivis dan pemuda-pemudi berjiwa nasionalisme untuk berani bersuara dan berontak untuk mewujudkannya. Mendorong terjadinya revolusi orde baru 1998 dan mewujudkan pembenahan negara secara menyeluruh -tapi faktanya belum terjadi revolusi total. Tentunya itu pula yang memotivasi seorang Budiman Sudjatmiko untuk mengukir namanya dalam platform revolusi 1996-1999. Namun apa perjuangan untuk perbaikan bangsa sudah benar-benar terwujud? Kita pun tentu masih merasakan ketimpangan-ketimpangan tentunya, tetapi tidak tahu bagaimana cara melampiaskan rasa perjuangan itu atau menemukan objek yang tepat untukmewujudkannya.

Sekilas Dibalik Reformasi 1998 dan Figur Budiman Sudjatmiko

Pertama kali aku mendengar nama Budiman Sudjatmiko ketika pertama kali berinteraksi langsung dengan kawan-kawan Serikat Tani Riau (STR) dan Serikat Tani Nasional (STN) serta partai yang menjadi pelindungnya di daerah Tebet, yakni Partai Rakyat Demokrat (PRD). Interaksi yang dimaksudkan yakni aku terobsesi tentang kasus sengketa lahan antara masyarakat di daerah Pulau Padang, kabupaten Kepulauan Meranti provinsi Riau dan perusahaan PT. Riau Pulp and Paper (RAPP) yang hingga saat ini tidak menunjukkan titik temu dan penyelesaian. Hal ini terjadi karena adanya ketidakjelasan dan penyimpangan kebijakan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia yang harusnya mampu menekan laju desakan ekonomi liberal dan pemanfaatan lahan gambut yang dapat mengancam ekologi dan kearifan lokal masyarakat disana khususnya. Sehingga jiwa dibawah alam sadar malah turut memperjuangkan aspirasi itu. Namun desakan politis dan akademis membuatku beranjak dulu dari urusan tersebut, karena masih belum tergapai pengetahuanku tentang hal itu secara politis dan juga harus menyelesaikan skripsi. Pada saat itulah namanya menjadi sumber inspirasi kawan-kawan STN yang bisa kita bilang frontal, tapi bukan frontal yang anarkis menurutku. Dan ternyata ia merupakan pioner PRD dan STN yang mewadahi serikat tani di Indonesia. Pahamnya pun cenderung lebih kepada Marhaenisme yang dibawa oleh Soekarno setahuku, bukan Komunis maupun Komunis-Sosialis. Karena banyak dari masyarakat yang tidak tahu secara menyeluruh tentang apa itu Komunis, Sosialis, Komunis-Sosialis dan Marhaenisme itu sendiri yang dibawa Ir. Soekarno. Sehingga ketakutan yang tersebar di bangsa ini lebih kepada “kulit permukaannya” dibandingkan apa dibalik kulitnya dan untuk apa tujuannya. Kita bisa salahkan era orde baru untuk itu, karena banyaknya fakta yang diputarbalikan masa kepimpinan Sang “Smiley General” selama 32 tahun.

Berdasarkan latar belakang dan sepak terjangnya Budiman Sudjatmiko memang berjalan di jalur yang sesuai dengan muara politis. Ia lahir di Cilacap 10 Maret 1970 dan mulai terlibat dalam gerakan mahasiswa sejak duduk di bangku kuliah di UGM jurusan ilmu politik. Berdasarkan hasil informasi yang ditelusuri, ia menjadi community organizer yang bertugas melakukan proses pemberdayaan politik, organisasi, dan ekonomi di kalangan petani dan buruh perkebunan di sekitar Jawa Tengah dan Jawa Timur selama 4 tahun yang akhirnya menimbulkan gerakan dan barisan dari kalangan petani dan buruh tani se-Indonesia sampai harus melupakan studinya. Gerakan ini dianggap gerakan “bawah tanah” oleh pihak “kelas atas”, sehingga dikenal dengan gerakan “arus bawah” dan terkenal resisten dengan pemerintah dan militer 6.

Hal ini tentunya menjadi bukti bahwa masyarakat “arus bawah” tidak serta merta menyatukan diri dan membuat barisan tanpa alasan, jika bukan karena merasa adanya ketidakadilan dan ketidakpercayaan pemerintahan orde baru kala itu. Akhirnya gerakan itu pun melahirkan Partai Rakyat Demokratik atau disingkat PRD, dan menjadi wadah aspirasi bagi masyarakat petani yang dianggap kelas rendah oleh para elit politis. Padahal kita tahu bahwa petani dan pertanian merupakan peran vital untuk kedaulatan bangsa, layaknya pahlawan. Manusia tentunya pasti akan rela mengemis untuk secuil makanan agar bisa tetap hidup. Kurasa pergerakan ini wajar, karena program kesejahteraan yang dijanjikan Soeharto justru membawa pada inflasi ekonomi yang tinggi. Sehingga kemampuan petani pun untuk hidup lebih baik malah menjadi lebih sulit dan ingin berontak.Hal ini pantas untuk diapresiasi.

Konsekuensi perlawanan di masa orde baru masyarakat dan aktivis harus mempertaruhkan mental yang kuat dan siap mati -adanya petrus yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia- karena diancam, diculik bahkan hilang tanpa jejak keberadaannya. Sehingga arus pemberitaan harus tersembunyi, bahkan media pun harus “tiarap” untuk mengabarkan berita di masa rezim otoriter itu. Aku mendapatkan cerita ini dari pamanku di desa Kuok, kabupaten Kampar provinsi Riau yang sempat menjadi aktivis mahasiswa ITB tahun 1980-an. Padahal ia cerdas dan mampu merantau ke ITB bandung, namun konsekuensi menjadi aktivis frontal membuatnya harus lari dan pulang menjadi penggembala ternak di kampung. Bahkan harus melupakan nama lahirnya untuk merahasiakan keberadaan hingga saat ini karena ketakutan yang terus menghantui sehingga tidak ingin menunjukkan eksistensi.

Perjalanan gerakan Budiman Sudjatmiko sudah banyak tergaung bahkan ditulis oleh para aktivis yang mengidolakan kepribadiannya. Terutama ketika ia mendeklarasikan berdirinya PRD itu yang kemudian menjadi awal kelahiran STN. Partai yang diklaim berhaluan sosialis-komunis dari barat ini menurutku berorientasi Marhaen yang dicetuskan Soekarno karena faktor kultural bangsa ini. Perbedaannya menurutku terletak pada subjektifitas paham tersebut, yang cenderung petani dan buruh tani yang berorientasi lahan untuk hidup. Karena kita ketahui bahwa Indonesia dikenal sebagai negara agraris, namun petani dan buruh taninya malah tidak sejahtera bahkan tidak memiliki lahan untuk digarap. Padahal Ir. Soekarno melalui Parlemen telah membahasnya dalam undang-undang pokok agraria tahun 1960 tentang kedaulatan tanah dan lahan yang dapat dipergunakan atas adat dan kepentingan nasional, hanya warga negara yang berhak atas tanah Indonesia (pasal 9 UUPA 1960) dan tidak adanya perebutan paksa (pasal 10 UUPA 1960) 7. Seperti yang kita lihat masa orde baru hingga saat ini, tidak jarang terjadinya konflik lahan dengan perusahaan berorientasi lahan dan penggunaannya dan mengindikasikan adanya ketimpangan kebijakan dan administrasi pemerintah yang perlu ditinjau dan di revisi tentang orientasi penggunaan tanah, bumi, air, dan udaranya –walau undang-undang tentang lahan adat telah diterbitkan tahun 2013 lalu. Lagi-lagi menurutku, wajar saja mereka berontak dari ketidakbenaran keadaan masa itu dan merupakan hal yang sudah seharusnya. Karena hampir separuh penduduk Indonesia adalah petani dan buruh tani, tentunya kita butuh pangan dari mereka para “pahlawan pangan”.

Manifesto PRD yang keluar tanggal 22 Juli tahun 1996 secara tajam menyerang dan mengkritik kondisi politik dan kondisi sosial-ekonomi pemerintahan otorisasi “The Smiley General”. Perlawanan ini terjadi berasaskan kesenjangan sosial akibat kebijakan berorientasi pertumbuhan terpusat, dengan melupakan pemerataan dan distribusi yang adil. Hal ini menunjukkan pemberontakan secara politis pun dimulai dan memancing golongan lain untuk bertindak. Karena secara aspiratif golongan kepartaian hanya terdiri 3 partai saja yang diakui kala itu. Partai di Indonesia kala itu yakni PPP, Golkar dan PDI yang menurutku sengaja dikemas Soeharto sebagai aspirasi saja, namun tidak dapat menggoyangkan posisinya. Tetapi PDI, tadinya merupakan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dirilis Ir. Soekarno ingin direbut kembali oleh putri Ir. Soekarno, Megawati Soekarno Putri melalui Budiman Sudjatmiko, ketua pertama dan salah satu pendeklarasi PRD. Perebutan paksa kantor Dewan Pengurus Pusat PDI di jalan Imam Bonjol Jakarta, 27 Juli 1996 dengan dimotori Budiman Sudjatmiko membuatnya menjadi orang yang dapat membahayakan posisi kekuasaan presiden Soeharto dan diklaim menggunakan metode PKI terhadap kekuasaan negara. Tapi apakah sejarah membuktikan PKI memang menekankan cara-cara anarkisme? Itupun masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab sampai saat ini. Ia sekaligus dijadikan tahanan politik bersama Xanana Gusmao, yang kemudian menjadi presiden Timor-Timor8. Kemudian baru diberikan amnesti setelah 3,5 tahun di masa presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 1999. Hal ini memperlihatkan bahwa jalur perjuangan Budiman Sudjatmiko telah mengantarkannya ke ranah peperangan politik yang lebih hebat dan siap untuk melangkah lebih jauh lagi.

Jalur akademis yang sesuai dengan jalan hidupnya membuatnya berhasrat untuk melanjutkan studi S2 untuk program studi Hubungan Internasional di Cambridge University, dan lulus dengan tesis yang membahas politik luar negeri China. Akhirnya ia dipinang PDI-P (PDI Perjuangan) yang dikenal sebagai partai oposisi dan dipimpin Megawati Soekarno Putri setelah lulus kuliah. Berdasarkan pernyataan di surat kabar, ia menerima pinangan karena faktor ideologis dan PRD sudah kurang sesuai dengan pemikirannya. Padahal jikalau diamati secar objektif, untuk meningkatkan karir politik tentunya harus punya modal besar dan sokongan yang besar. Masuk akal memang jika ia ingin mengayuh karir politis menggunakan perahu sebesar PDI-P.

Saat ini Budiman Sudjatmiko telah duduk di kursi parlemen DPR RI Komisi II, Bidang Pemerintahan Dalam Negeri, Otonomi Daerah, Aparatur Negara, Dan Agraria. Secara sepak terjang pergerakan, ideologi, dan jalur politiknya yang telah dipaparkan diatas, Budiman Sudjatmiko telah menata jalan hidup yang sesuai dengan perannya. Hanya saja pengaruh dan perjuangannya menurutku belumlah maksimal karena masih banyaknya ketimpangan-ketimpangan kebijakan, ekonomi, dan dinamika kepentingan politik dari masing-masing golongan dan partai. Kita lihat saja masih banyaknya konflik, demonstrasi, dan anarkisme golongan tertentu yang malah ada yang membawa simbol-simbol  agama.

Dapat kusimpulkan bahwa Budiman Sudjatmiko merupakan salah seorang pemimpin yang juga diidolakan rakyat, hanya saja “pasarnya” yang berbeda dengan pemimpin-pemimpin terkenal kebanyakan dan paham ideologis yang ia bawa masa orde baru. Berdasarkan informasi yang ada, secara pergerakan organisatoris Budiman Sudjatmiko juga telah banyak mendirikan wadah-wadah aspirasi dan organisasi di ranah nasional hingga internasional. Seperti Ormas Nasional Demokrat, Steering Committee dari Social-Democracy Network in Asia (Jaringan Sosial-Demokrasi Asia), Parade Nusantara dan Gema (Gerakan Masyarakat) Gotong Royong. Ia merupakan Pembina Utama di Dewan Pimpinan Nasional organisasi Parade Nusantara, yaitu organisasi yang menghimpun para kepala desa dan seluruh perangkat desa di seluruh Indonesia, serta menjadi Ketua Umum Gema (Gerakan Masyarakat) Gotong Royong, sebuah ormas yang dikatakan fokus dalam hal sosial ekonomi serta pendidikan.

Hal ini menurutku juga menjadi tolak ukur kekonsistensian ideologinya yang berhaluan kekiri-kirian (Marxis dan Marhaenisme) menurut orang banyak tetapi malah bisa diterima sebagian besar orang jika mengerti tujuan dan dampaknya. Yakni kesejahteraan bersama, terutama untuk masyarakat pedesaan yang cenderung diklaim oleh kebanyakan orang tertinggal secara sosial-ekonomi, pendidikan dan infrastruktur. Penilaian ini dapat dilihat juga dari upayanya untuk meloloskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa yang menjadi janji politiknya. UU Desa, Bank Desa dan Badan Pengelola Desa juga telah berjalan sistemnya. Sistem ini telah berjalan dengan baik setahuku, ketika diceritakan oleh Bapak Erik sahabatku yang merupakan Sekretaris Desa Cibatok 1 Bogor, Jawa Barat dan desanya menjadi desa terbaik ketiga se Jawa Barat tahun 2010 menurut pengakuannya. Tapi entahlah di desa-desa lain yang juga banyak polemik politisnya karena keter-leluasa-an demokrasi, dapat dilihat di pemberitaan oleh media-media dan observasi saya sendiri banyaknya kasus-kasus korupsi yang bahkan telah melibatkan kepala-kepala desa.

Refleksi Indonesia Saat Ini dan Urgensitas Kepemimpinan Bangsa Indonesia

Bangsa Indonesia saat ini telah menunjukkan demokrasi yang sangat terbuka menurutku, setiap orang bebas bersuara dan berpihak sampai-sampai kebablasan, dan bisa jadi tidak tahu untuk apa dan kepada siapa bersuara serta berpihak di negara ini. Demokrasi memang bagus dan malah baik, karena hak-hak dan kebebasan atau keterluasaan individu diberikan sebebas-bebasnya dengan mengandalkan modal. Wujud modal yang kita ketahui tentunya seperti “materi” (uang, rumah dan investasi kebendaan lainnya) atau modal sosial (social capital). Keberpihakan saat ini menurutku cenderung lebih kepada pragmatisme kesejahteraan yang berorientasi wujud materi dan status sosial seperti kedudukan, uang, sarana-prasarana seperti mobil, rumah mewah, dan lainnya. Padahal kita tahu masyarakat Indonesia cenderung merupakan masyarakat agamis dan rohaniah yang tentunya mengajarkan moral, kesederhanaan serta kemanusiaan. Namun saat ini malah menunjukkan indikasi degradasi moral dan rendahnya “kemanusiaan” serta lunturnya kesadaran pentingnya menjaga interaksi antara manusia dengan alam.

Hal ini kita bisa nilai dari banyaknya pemberitaan tentang penggunaan tenaga kerja murah oleh para pemodal atau perusahaan dengan upah yang bahkan tidak cukup untuk hidup setiap bulannya, perdagangan manusia, penggunaan tenaga kerja dibawah umur, hingga eksploitasi lahan dan tambang yang bahkan tidak sesuai kelayakan ekologis, sosialdan tata ruang wilayah. Pengejaran pragmatisme ini tentunya mengantarkan pada keinginan untuk menguasai aset-aset tanah air dengan satuan “nilai ekonomis” berasaskan “efisiensi” sesuai apa yang dipaparkan teori ekonomi modern. Penguasaan aset-aset ini dan keter-leluasa-an yang diberikan negara meliputi bumi, air, tanah, sarana, bahkan hingga udara sekalipun -telah diketahui protokol Kyoto 2005 yang mengantarkan pada Carbon Trading secara global. Secara logis tentunya hanya sebagian orang yang mampu menguasai aset-aset tersebut dengan standar modal materi yang dimiliki dan nilai ekonomis standar seperti uang. Tidak hanya pemodal dari luar negeri yang sudah mulai menguasai aset-aset ini sejak awal orde baru 32 tahun lalu bahkan mempengaruhi masyarakat secara menyeluruh , sehingga banyak yang menyebutkan hegemoni ini merupakan penerapan “neoliberalisme” (kebebasan gaya baru).

Padahal kita tahu penguasaan aset-aset tersebut telah diatur oleh UUPA 1960 dan kebijakan lainnya untuk kesejahteraan dan kedaulatan rakyat. Namun jika kesejahteraan hanya dinikmati hanya sebagian golongan atau kelas masyarakat sementara yang lain semakin tertindas seperti petani dan lainnya, apa sudah dikatakan bangsa ini sejahtera dan berdaulat? Tentunya kita sepakat bahwa bangsa ini belum sejahtera dan berdaulat. Bahkan sebagian besar dari kita berharap banyak pekerjaan (“objektivitas hidup 8”) dari para pemodal atau perusahaan ketimbang mengolah bumi, air, dan tanah yang ada karena faktor pola pikir, pendidikan, dan tren “hedonisme” serta semakin sempitnya lahan untuk digarap 9. Hal ini juga berlaku untuk para sarjana-sarjana yang mengklaim dirinya cendekia pengetahuan, termasuk saya sendiri yang bersekolah di Institusi Pertanian. Wadah yang dicetuskan oleh Ir. Soekarno untuk mengembangkan pertanian dan kedaulatan pangan, lebih berorientasi teknologi dan pemodernan industrial ketimbang kelayakannya untuk diimplementasi kepada para petani dan peternak. Status sosial akademis lebih berharga ketimbang kewajiban untuk mengabdi kepada petani secara langsung. Oleh karena itu merupakan suatu kewajaran dan keharusan jika rakyat berontak yang cenderung dimotori para aktivis notabennya mahasiswa dan akademikus kala itu, tahun 1998. Lalu apa yang dibutuhkan oleh rakyat saat ini untuk kembali menyatukan dan mengembalikan rasa kebangsaan, nasionalisme, pada kondisi carut marutnya negeri ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun