Saparan juga digunakan sebagai upaya untuk menghindari bencana/bala seperti wabah penyakit dan gagal panen. Tolak bala bukan menjadi makna tunggal dalam ritual saparan, melainkan juga terdapat makan lain dari ritual saparan yaitu sebagai wujud syukur masyarakat atas berkah selama satu tahun.Â
Bahkan, beberapa warga setempat menganggap ritual saparan sebagai hari jadi desa Kopeng dan patut untuk disyukuri dan dirayakan melalui berbagai ritual khas yang telah menjadi tradisi turun-menurun.Â
Kehidupan sosial masyarakat desa Kopeng juga masih kuat akan gotong royong dan kesolidaritasan antar warga dalam berkehidupan sehari-hari.Â
Hal ini terlihat pada saat adanya acara-acara besar seperti moment idul adha, di mana warga bekerja sama untuk mempersiapkan perayanan idul adha dengan mempersiapkan berbagai kebutuhan untuk kurban dan bahan-bahan masakan untuk perayaan hari raya idul adha di salah satu rumah warga.Â
Kemudian, pada hari raya idul adha tiba, seluruh warga bergotong royong untuk mensajikan masakan khas daerah kopeng dengan bahan utama daging kurban dan daun adas yang dimasak oleh ibu-ibu setempat.Â
Seluruh warga berkumpul bersama untuk menikmati berbagai makanan dan minuman di salah satu rumah warga yang dituakan sehingga tercipta rasa kesolidaritasan yang kuat antar sesama warga.Â
Disamping kekhasan budaya yang terus dilestarikan oleh warga setempat. Salah satu sumber air dan kehidupan di desa Kopeng yaitu Umbul Songo telah tercemar dan bahkan terlihat seperti tidak terurus.Â
Padahal, Umbul Songo merupakan hutan yang dilindungi oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang masuk ke dalam Taman Nasional dan memiliki 115 titik lokasi sumber air.Â
Tak hanya itu, Umbul Songo juga memiliki kekayaan flora dan fauna di dalamnya. Beberapa flora yang masih terpelihara hingga saat ini yakni pinus, Puspa, Pakis, kelompok anggrek, dan sebagainya.Â