Tepat di 20 Ramadhan, 13 Mei 2020, 2 bulan pasca pemerintah Denmark menginstruksikan seluruh pegawai di sektor publik untuk mulai memberlakukan Work from Home (WFH).Â
Hal ini tentu juga berlaku bagi seluruh jajaran pengajar maupun staff administrasi di Universitas serta sekolah dasar hingga menengah, sehingga proses belajar mengajar pun praktis ikut diliburkan.Â
Lebih lanjut, terhitung mulai 14 Maret 2020 pemerintah Denmark melakukan penutupan perbatasan menyusul total penambahan 127 kasus positif COVID-19 baru, menjadi 801 kasus.
Denmark merupakan salah satu negara dengan respon tercepat dalam melakukan lockdown dan menginstruksikan warganya untuk melakukan physical distancing. Hal ini guna menurunkan kurva kasus positif (flatten the curve) untuk mengurangi beban rumah sakit di Denmark akibat menumpuknya jumlah pasien. Selain itu, pemerintah Denmark juga melakukan pengecekan melalui rapid test secara masif terhadap 6.000 orang per harinya.
Berdasarkan data dari Sundhedsstyrelsen (Danish Health Authority) per tanggal 13 Mei 2020 diperoleh data sebagai berikut:
People tested/jumlah orang diuji: 345,712
Confirmed cases/kasus positif: 10,667
Recovered/sembuh: 8,663
Death/meninggal: 533
Case fatality/tingkat fatalitas: 5.0%
Sumber: sst.dk
Dari data di atas, Denmark dinilai banyak pihak menjadi salah satu negara yang sukses dalam melakukan langkah pencegahan penyebaran virus corona, dibandingkan negara lain yang "terlambat" dalam melakukan pengambilan kebijakan publik.
Lalu, gimana sih rasanya hidup jadi mahasiswa perantauan di tengah kondisi lockdown dan physical distancing?
Selayaknya kebanyakan orang, penulis merasa bahagia pada satu hingga dua minggu awal dilakukan physical distancing ini, terlebih seluruh kegiatan perkuliahan dialihkan melalui sistem daring (online teaching/studying), yang selanjutkan akan penulis sebut sebagai Study From Home (SFH).
Kampus saya kebetulan tidak menggunakan platform berbasis Zoom atau Google Meet seperti yang kebanyakan digunakan, namun menggunakan Blackboard sehingga lebih aman dan stabil.
Waktu belajar menjadi lebih fleksibel, persiapan sebelum kuliah pun menjadi lebih singkat karena tidak perlu lagi mengalokasikan waktu untuk melakukan persiapan ke kampus, dan lain lain. Meskipun demikian, perubahan sistem menjadi kuliah daring membuat dosen pengampu mata kuliah menjadi lebih "kreatif" untuk memberikan tugas dan bahan bacaan tambahan guna membuat mahasiswa tidak terlalu santai di rumah.
Selain itu, karena seluruh kegiatan dialihkan ke sistem daring, baik yang melakukan WFH maupun SFH, sehingga terkadang jaringan internet agak lambat di pagi hari, dan memaksa penulis untuk berganti-ganti menggunakan jaringan seluler maupun jaringan Wi-Fi.
Untuk ujian semester sendiri, karena penulis mengambil jurusan berbasis humaniora, sehingga seluruh rangkaian ujian sepenuhnya dialihkan dalam bentuk pembuatan paper akhir semester.
Bagi yang mengambil jurusan eksakta dan ilmu alam, tentu kondisi seperti ini cukup menyulitkan karena mayoritas harus melakukan kegiatan perkuliahan dan penelitian di laboratorium.
*Bersambung
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H