Bambang Nursanto Suryolaksono (bukan nama sebenarnya, tokoh aktivis FE UGM), atau aktivis gadis Amoy Rekena (juga bukan nama sebenarnya, tokoh aktivis Fisipol UGM), dan lain-2 nya sedang lari sipat tukang menyelamatkan diri. Seluruh pimpinan aktivis dari kelompok nasionalis dan sosialis lari. Wuss…, wuss…, wuss…, kabur nyaris tak terdengar. Mereka tidak memperdulikan nasib mahasiswa lain yang berhadapan langsung dengan lars senapan.
Faraz cemas. Dia sadar hanya dia dan Anies Baswedan lah yang berada di garis terdepan. Memang mereka bersama ribuan massa mahasiswa. Tapi mereka itu massa mengambang. Bukan tokoh aktivis. Sementara para tokoh aktivis lain sudah lari menyelamatkan diri.
Faraz menoleh, bertanya pada Anies seniornya: “Anies, semua pimpinan aktivis dari kelompok nasionalis dan sosialis kabur. Cuma kita yang berada digaris depan. Kenapa kita tidak ikut lari?” —tanya Faraz dengan suara bergetar menahan takut tak terkira.
(Iyalah Faraz cemas. Saat itu bukan jaman pasca reformasi Bung! Laras senjata di depan mata. Acaman hidup mati riil hanya berjarak beberapa jengkal)
Anies senyum tenang menoleh dengan kalem:
“Raz, kita ini pemimpin”.
„Kita tidak boleh lari meninggalkan mereka (massa mengambang —red)”.
„Mereka berdemo dengan keberanian di dada karena mereka percaya pada kita”.
„Haruskah kita meninggalkan mereka ketika ancaman hidup mati di depan mata?”
Faraz diam sambil lirih menjawab: „Bener Nis, tapi aku takut sekali”.
„Justru pada saat seperti inilah kita harus percaya bahwa Allah SWT pasti melindungi kita”.
„Yang membedakan kita dengan mereka (para pemimpin mahasiswa yang lari —red) cuma satu, yaitu: Iman!” —jawab Anies dengan tegas!
Berbagai cita rasa bercampur aduk antara takut, cemas, malu di dada Faraz.
Sadar bahwa Faraz sangat tertekan, Anies kembali senyum bicara:
„Raz, kalau kamu mau lari, larilah sekarang”.
„Mumpung belum terlambat”.
„Aku sangat memahami keputusanmu untuk lari”.
„Tapi aku tetap akan bertahan disini”.
„Dan aku akan berterima kasih jika kamu juga tetap disini bertahan bersamaku”.
Begitu lah Anies menutup pembicaraan. Selanjutnya seluruh fokus dan konsentrasinya diarahkan untuk menghadapi lawannya, —se-Batalyon pasukan tembur yang siap membantai!
Keberanian dan ketulusan Anies menginspirasi si Faraz. Dengan sisa-2 keberanian terakhir disertai doa-2 terakhirnya, Faraz tegak membatu di samping Anies. Dia memutuskan untuk bertahan apapun yang terjadi, um jeden Preis!
Tepat pukul 14.00, dalam satu komando; „Bantai!”, maka gerak pasukan topan badai menyerbu. Bukannya lari, Anies malah maju kedepan beberapa langkah. Berteriak dia mengusir:
„Hey, ini kampus mahasiswa! Keluar kalian semua! Kalian tidak pantas masuk kampus ini!!!”