Mohon tunggu...
Yanti Rahmayanti
Yanti Rahmayanti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP

Hobi: membaca dan menulis puisi, cerpen/carpon dan novel

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Maaf, Anda Siapa?

21 Februari 2023   03:53 Diperbarui: 21 Februari 2023   08:06 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Drrtttt ... Drrttt. 

Gawaiku berulang kali bergetar. Aku meraih benda pipih berwarna hitam itu kemudian membuka aplikasi WA. Sebuah pesan masuk di grup Alumni SMA. 

"Innalillahi ..." aku berteriak tertahan. Ibu dari Ungguh, teman masa SMA-ku, akhirnya benar-benar dinyatakan meninggal. Masih ingat betul dalam ingatanku, seminggu yang lalu grup sebelah menebar isu tentang meninggalnya ibunda Ray. Setelah mengkonfirmasi ulang ternyata berita itu tak benar sama sekali. Keadaan beliau memang kritis dan hanya mampu terbaring di rumah sakit.

"Benar-benar tak bertanggung jawab!" geramku waktu itu. Ingin rasanya mematahkan jari-jari si penebar gosip yang tak bertanggung jawab tersebut. Kok bisa memuat berita tanpa cross-check? 

Hari ini berita kematian itu sudah benar-benar bisa dipercaya. Ungguh sendiri langsung menanggapi puluhan ucapan bela sungkawa dari teman-temannya yang beberapa menit kemudian telah memenuhi ruang chat. Aku masih termenung dan terpaku. Seketika jiwaku merasakan dalam posisi Ungguh, kuatkah aku bertahan menopang tubuh ini jika dalam waktu kurang dari dua bulan empat orang yang kita sayangi pergi silih berganti? Mulai dari adik, disusul ayah, kemudian kakak dan terakhir ibunya. Hah! Sesak rasanya. Dunia seakan-akan kiamat.

Tes ... tes ...

Tanpa kendali air mataku mengalir tak terbendung. Aku terisak, bahkan tersedu-sedu semakin dalam.

"Halo Yan, mau ikutan takjiah?"

"Tentu. Gabung ya."

"Siap. Mau nunggu di mana?"

"Perempatan Taman Awirarangan. Kebetulan aku masih di rumah ibuku, semalam nginap di sini."

"OK. Tunggu sepuluh menitan, nanti dijemput mobil Cecep. Teman-teman yang lain mau bareng juga nih. Cukuplah semobil."

"Siap."

Aku bergegas menutup panggilan dari Atikah, sahabatku. Setelah berpamitan kepada ibu, aku pergi meninggalkan rumah. 

Lebih dari lima belas menit berlalu sejak aku berdiri di seberang taman kecil ini. Namun belum ada tanda-tanda kemunculan mobil Cecep.

"Tradisi orang Indonesia, jam karet. Molor sudah biasa," aku menggerutu sendiri sambil duduk di bawah shelter di tepi jalan. Tak ada teman yang bisa diajak bicara membuatku berulang kali bergumam tak jelas. Sekali-kali duduk, kemudian berdiri, duduk lagi, berdiri lagi. Ah, menunggu memang pekerjaan paling membosankan!

"Kenapa, Teh? Lagi nunggu suami, ya?" tanya Andi, tukang parkir yang biasa nongkrong di sana. Rupanya dia memperhatikan kegelisahanku sejak tadi.

"Bukan. Teman saya mau jemput. Tapi lama banget. Ini sudah lewat seperempat jam tapi mobilnya belum nongol," jawabku menumpahkan kekesalan.

"Mobilnya warna apa, Teh? Biar saya bantu."

"Alhamdulillah. Iya betul, tolong Teteh ya, Di. Warna mobilnya silver. Kalau lewat, bilang saya nunggu di sini."

"Tenang, Teh. Jangan khawatir."

Andi kembali ke tengah jalan, mengatur laju kendaraan yang cukup ramai di hari Minggu pagi itu. Belum ada lampu merah di perempatan jalan ini memang. Padahal kendaraan yang lewat akan bertemu di satu titik yang sama pada saat yang bersamaan pula. Cukup semrawut bila tidak ada yang mengatur. Ya, ada hikmahnya juga sih, Andi dan kawan-kawannya dapat income dari situasi seperti ini.

"Teh, sini," teriak Andi dari seberang jalan. Tangannya melambai, memintaku mendekat.

"Ya, kenapa? Ada mobilnya?" tanyaku setengah berteriak juga.

Andi mengangguk. Tanpa berlama-lama aku bergegas menyeberang jalan. 

"Mana, Di?"

"Itu Teh, depan. Tadi supirnya nanyain Teh Yanti."

"Oh, ya udah. Makasih ya, Di."

Aku berjalan mendekati mobil Avanza berwarna silver yang terparkir beberapa meter di depan. Tanpa banyak basa-basi aku pun masuk dan duduk di samping supir.

"Teh Yanti?" tanya sopir melirik ke samping.

"I ... iya. Saya Yanti," jawabku kikuk. Aku menatap lelaki di sebelahku ini. Kok bukan Cecep atau D'gengnya? Apa dia nyuruh orang lain buat menjemputku?

 "Maaf A, apa Aa temannya Cecep yang disuruh jemput saya?"

"Cecep?" tanyanya bingung. "Teteh betul Yanti?"

Dahi kami sama-sama berkerut.

"Iya, betul. Maaf, anda siapa?" Aku mulai curiga. Kuperhatikan tangan kanannya yang tak henti mengutak-atik gawai yang dipasang pada dashboard mobil. Sementara itu tangan kirinya memegang setir, mengendalikan mobil yang melaju perlahan.

"Menurut aplikasi saya, Teteh itu ada di titik sesuai pesanan beberapa menit yang lalu dan nama Teteh juga sama," ujarnya kembali mengamati gawai, kemudian meneliti wajahku berulang kali.

"O ... o ... stoppp!!"

Waduh, tas mana tas? Biar kusembunyikan wajah ini di dalamnya. Kabuuuurrr ....

*(Real story by YR)*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun