"OK. Tunggu sepuluh menitan, nanti dijemput mobil Cecep. Teman-teman yang lain mau bareng juga nih. Cukuplah semobil."
"Siap."
Aku bergegas menutup panggilan dari Atikah, sahabatku. Setelah berpamitan kepada ibu, aku pergi meninggalkan rumah.Â
Lebih dari lima belas menit berlalu sejak aku berdiri di seberang taman kecil ini. Namun belum ada tanda-tanda kemunculan mobil Cecep.
"Tradisi orang Indonesia, jam karet. Molor sudah biasa," aku menggerutu sendiri sambil duduk di bawah shelter di tepi jalan. Tak ada teman yang bisa diajak bicara membuatku berulang kali bergumam tak jelas. Sekali-kali duduk, kemudian berdiri, duduk lagi, berdiri lagi. Ah, menunggu memang pekerjaan paling membosankan!
"Kenapa, Teh? Lagi nunggu suami, ya?" tanya Andi, tukang parkir yang biasa nongkrong di sana. Rupanya dia memperhatikan kegelisahanku sejak tadi.
"Bukan. Teman saya mau jemput. Tapi lama banget. Ini sudah lewat seperempat jam tapi mobilnya belum nongol," jawabku menumpahkan kekesalan.
"Mobilnya warna apa, Teh? Biar saya bantu."
"Alhamdulillah. Iya betul, tolong Teteh ya, Di. Warna mobilnya silver. Kalau lewat, bilang saya nunggu di sini."
"Tenang, Teh. Jangan khawatir."
Andi kembali ke tengah jalan, mengatur laju kendaraan yang cukup ramai di hari Minggu pagi itu. Belum ada lampu merah di perempatan jalan ini memang. Padahal kendaraan yang lewat akan bertemu di satu titik yang sama pada saat yang bersamaan pula. Cukup semrawut bila tidak ada yang mengatur. Ya, ada hikmahnya juga sih, Andi dan kawan-kawannya dapat income dari situasi seperti ini.