Tentu saja yang ibu maksud adalah ia khawatir karena aku sering menelan permen karet. Pemahaman ibu waktu itu sudah pasti sama dengan pemahamanku saat ini, bahwa pada dasarnya, perut tidak mampu untuk memecah permen karet, berbeda pada makanan lain seperti nasi, ikan, buah, sayur, daging. Meskipun sistem pencernaan punya cara khusus untuk menangani benda-benda seperi permen karet yang ditelan, tetap saja berbahaya mengingat diameter saluran pencernaan anak-anak yang masih kecil.
Aku dengan tegas harus mengatakan tidak dan beberapa kali menyita dan membuang permen karet yang sudah terlanjur dibelinya, karena  mitos warisan ibuku tidak bekerja padanya.
Setelah lelah menangis dan setelah sadar bahwa kata "tidak" tidak akan berubah menjadi "iya" dengan semua reaksinya. Ia lalu terdiam dan mulai mendatangiku ;
"Mama, adek pu hati su rusak."
"Rusak?"
"Iya, itu hati su rusak semua, ade son mau gambar hati kasih mama lai," katanya dengan wajah cemberut.
"Kenapa begitu?"
"Karena mama son kasih ijin adek beli permen karet."
Meskipun terkejut aku berusaha menyembunyikannya, "Baiklah. Kalau begitu mama tunggu ade gambar kasih mama hati yang sonde rusak dan banyak e..."
Merasa putus asa karena signal permusuhannya tak berpengaruh padaku, putri kecil yang terlhat cantik dengan rambut yang dikuncir di belakang kepalanya, pergi meninggalkanku, dan tenggelam dengan semua mainannya. Satu jam berlalu dengan penuh ceria ia mendatangiku dengan selembar kertas penuh simbol hati berukuran besar dan kecil, berwarna merah, kuning, hijau, ungu, cokelat, "mama, lihat ade gambar buah hati banyak untuk mama," katanya dengan senyum paling indah memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang kecil merekah sempurna di bibirnya.
Hatinya sudah indah kembali, rusaknya sudah ditambal kini. Dan semua itu adalah hadiah terindah yang aku terima di hari itu.