Mohon tunggu...
Antonetta Maryanti
Antonetta Maryanti Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

Seorang Ibu Rumah Tangga yang tak pernah berhenti belajar dan suka menulis. "Orang-orang terdidik adalah orang-orang yang senantiasa mendidik dirinya sendiri."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Simbol Hati dan Permen Karet

17 Oktober 2017   09:50 Diperbarui: 17 Oktober 2017   10:06 846
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di mata anak perempuanku yang  berusia empat tahun empat bulan, cinta adalah dua buah kurva terbuka dengan lengkungan yang lebih besar diatasnya dan meruncing di bawah membentuk sebuah kurva tertutup yang jika diperhatikan bentuknya lebih mirip daun atau lebih dikenal dengan simbol hati.

Gambar hati juga bisa dibentuk dengan menggambar dua buah setengah lingkaran di atas dua sisi belah ketpat yang menyatu di titik sudut teratas, atau bisa juga digambarkan dengan dua buah setengah lingkaran yang duduk di atas dua buah segitiga siku-siku yang sisi tegaknya saling membelakangi, meskipun dua sudut terlihat aneh di tempat dua bangun datar itu menyatu terlihat aneh, sekilas tetap menggambarkan  simbol hati.

Dan seperti itulah ia menghadiahkan aku banyak cinta di pagi hari, di siang hari setelah pulang sekolah, di sore hari atau di malam hari ketika hendak tidur. Dengan keceriaan khas anak-anak ia akan membentuk daun-daun cinta, kurva dan segitiga itu di atas selembar kertas putih, atau buku jurnalku, atau media apa saja yang menurutnya goresan yang dihasilkan oleh campuran grafit dan tanah liat itu bisa melekat sempurna dan menghasilkan simbol cinta untukku.

Hari itu setelah aku mendapat cinta di pagi hari, aku juga mendapati bahwa ia memiliki pemahaman yang lain tentang cinta di siang hari sepulang dari sekolah,

"Ma, kasihkan adek uang kecil."

"Uang kecil untuk dibeli apa?"

"Permen karet."

"Adek boleh beli permen yang lain atau oreo atau biskuat tapi tidak untuk membeli permen karet."

Ia mulai merengek, membanting diri, berteriak dan menangis ketika aku dengan sengaja tidak mengindahkan permintaannya. Sejak bersekolah ia mulai mengenal permen karet.

Beberapa kali ia mendapatkannya dari teman, dan beberapa kali aku hanya bisa menahan napas ketika ia berjalan sendiri ke kios dekat sekolahan dengan dua buah koin lima ratus rupiah, lalu mulai membuka kemasan dan memasukkannya ke dalam mulut sementara aku menunggunya di atas motor.

Aku sendiri tidak terlalu suka mengunyah permen karet, sewaktu kecil ibu sering berkata, "jangan menelan permen karet, nanti pohon permen akan tumbuh di dalam perutmu." Dan hingga besar nikmat permen karet seperti dimatikan oleh gambaran pohon besar yang akan tumbuh di dalam perut, harus kuakui bahwa mitos ibuku berpengaruh besar dalam suka tidaknya aku akan permen karet.

Tentu saja yang ibu maksud adalah ia khawatir karena aku sering menelan permen karet. Pemahaman ibu waktu itu sudah pasti sama dengan pemahamanku saat ini, bahwa pada dasarnya, perut tidak mampu untuk memecah permen karet, berbeda pada makanan lain seperti nasi, ikan, buah, sayur, daging. Meskipun sistem pencernaan punya cara khusus untuk menangani benda-benda seperi permen karet yang ditelan, tetap saja berbahaya mengingat diameter saluran pencernaan anak-anak yang masih kecil.

Aku dengan tegas harus mengatakan tidak dan beberapa kali menyita dan membuang permen karet yang sudah terlanjur dibelinya, karena  mitos warisan ibuku tidak bekerja padanya.

Setelah lelah menangis dan setelah sadar bahwa kata "tidak" tidak akan berubah menjadi "iya" dengan semua reaksinya. Ia lalu terdiam dan mulai mendatangiku ;

"Mama, adek pu hati su rusak."

"Rusak?"

"Iya, itu hati su rusak semua, ade son mau gambar hati kasih mama lai," katanya dengan wajah cemberut.

"Kenapa begitu?"

"Karena mama son kasih ijin adek beli permen karet."

Meskipun terkejut aku berusaha menyembunyikannya, "Baiklah. Kalau begitu mama tunggu ade gambar kasih mama hati yang sonde rusak dan banyak e..."

Merasa putus asa karena signal permusuhannya tak berpengaruh padaku, putri kecil yang terlhat cantik dengan rambut yang dikuncir di belakang kepalanya, pergi meninggalkanku, dan tenggelam dengan semua mainannya. Satu jam berlalu dengan penuh ceria ia mendatangiku dengan selembar kertas penuh simbol hati berukuran besar dan kecil, berwarna merah, kuning, hijau, ungu, cokelat, "mama, lihat ade gambar buah hati banyak untuk mama," katanya dengan senyum paling indah memperlihatkan gigi-gigi putihnya yang kecil merekah sempurna di bibirnya.

Hatinya sudah indah kembali, rusaknya sudah ditambal kini. Dan semua itu adalah hadiah terindah yang aku terima di hari itu.

Cinta bukan lagi hanya sekedar simbol yang bentuknya mirip daun atau dua buah setengah lingkaran dan dua buah segitiga yang disatukan, bagi putri kecilku kini, cinta akan rusak ketika keinginannya tak terpenuhi, atau ketika dimarahi.

Bagiku, aku mencintai mereka tanpa syarat. Tanpa syarat yang juga berarti bahwa tidak semua keinginan yang mereka ingini harus dituruti dan dipenuhi. Terkadang aku harus berteman dengan kata tidak. Menyakitkan memang melihat air mata mereka yang jatuh, atau mendengar ujaran-ujaran serta protes-protes mereka saat hati mereka sedang rusak. Namun, yang aku tahu saat hati mereka kembali membaik, mereka belajar sesuatu dari kata "tidak" dan aku akan selalu ada, menanti waktu itu untuk memberikan mereka pelukan.

Ye eL, Rote, 171017 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun