Mohon tunggu...
Antonetta Maryanti
Antonetta Maryanti Mohon Tunggu... Ibu Rumah Tangga -

Seorang Ibu Rumah Tangga yang tak pernah berhenti belajar dan suka menulis. "Orang-orang terdidik adalah orang-orang yang senantiasa mendidik dirinya sendiri."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhiran "a" Panjang dan Akhiran "a" Pendek

15 Oktober 2017   11:13 Diperbarui: 15 Oktober 2017   11:47 854
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://itemku.com/

Bagaimanakah kau menggambarkan sosok ibumu? Setiap kita membingkai kenangan tersendiri tentang ibu. Ada banyak kisah unik, kisah mengharu biru setiap kali mengenang sosok ibu.

Ibuku bukan seorang tipe ibu yang sabar. Ia selalu terburu-buru di pagi hari meskipun ia tidak harus  memakai seragam kerja dan berangkat ke kantor.

Saban subuh selesai mengadoni adonan roti, dengan cekatan ibu menyiapkan keperluan sekolah termasuk makan pagi seluruh anggota keluarga. Ia akan berdandan cantik setelah roti-roti buatan tangannya selesai di pajang di etalase kiosnya yang tidak terlalu besar.

Selain lipstik La Tulipe berwarna orange bernomor 32, pelembap wajah bermerk Ponds yang katanya mampu mencerahkan kulit wajah, dan aku rasa iklan itu bekerja di wajah ibu, serta sapuan bedak baby johnson di wajah putihnya, ibu tak membutuhkan apa-apa lagi seperti serum, cream mata, cream malam demi mempercantik wajahnya.

Aku hampir tak pernah melihat body lotion atau wewangian di meja rias. Hidungnya seperti terserang alergi ketika membaui aroma-aroma dari produk perawatan tubuh. Dan sebagai anak permpuan yang beranjak remaja, aku dan adikku harus memilih body lotion kami dengan bau yang tidak terlalu menyengat dan citra putih selalu menjadi andalan kami. Untuk merawat tubuhnya ibu lebih memilih meminum jamu-jamuan, memakai lulur di seluruh tubuhnya di sore hari beberapa kali dalam seminggu, sebelum membasuh tubuhnya dari keringat yang menempel ditubuh, atau memakai masker untuk menjaga kekencangan wajahnya, yang tak dapat lagi dikonsumsinya karena Nyonya Meneer perusahaan jamu legendaris itu telah dinyatakan pailit setelah sembilan puluh delapan tahun namanya berkibar di dunia industri jamu Indonesia.

Dan seperti menurut cerita, nama menir, nama yang diberikan kepada Lauw Ping Nio nama asli Nyonya Meneer  adalah warisan dari hasratnya sejak dari janin kepada ibunya yang mengidam dan memakan sisa butir halus dari penumbukan padi atau lebih dikenal dengan menir, menjadi meneer karena dipengaruhi oleh ejaan Belanda pada waktu itu, ibuku lalu  beralih ke merk-merk perawatan tubuh tradisional lainnya dengan olahan dan aroma kandungan bahan alami yang masih bertahan atau terkadang ia meraciknya sendiri dengan cara merendam beras yang telah dicuci bersih sebelum ditumbuk hingga halus, menyimpannya dalam lemari pendingin untuk memberi sensasi dingin pada wajah sebelum diaduk rata dengan air bersih, air mawar, dan dioleskan pada wajah.

Setiap pulang sekolah aku selalu mendapati ibuku masih saja cantik dengan bedak yang hampir tak kelihatan dan rona merah lipstik yang masih berjejak di bibir tipisnya. Biasanya ibu hanya melambaikan tangan dan menyuruh aku dan adikku segera masuk ke dalam rumah, dan kami sudah tahu apa yang harus kami lakukan. Bertukar pakaian, makan siang dan berganti tugas dengan ibu melayani pembeli di kiosnya.

Menunggui pembeli di kios ibu yang tak seberapa luas sesudah pulang sekolah adalah hal yang bisa sangat menyenangkan dan juga bisa sangat membosankan. Hal yang menyenangkan adalah aku bisa duduk berlama-lama di deker kios milik ibu sambil bercerita bersama teman-teman tetangga sambil melihat hilir mudik kendaraan dengan musik yang diputar keras-keras disertai dentuman bas yang seperti bisa memecahkan kaca-kaca jendela.

Akan menjadi sangat tidak menyenangkan ketika harus melayani banyak pembeli, duduk berdiri, duduk berdiri dan juga harus fokus menghitung kembalian, lalu mendengarkan cerita teman tidak lagi menyenagkan karena terpotong-potong. Atau ketika tertidur nyenyak di kamar ibu, yang hanya bersekat sebuah kusen tanpa daun pintu dengan kios dan sebuah teriakan dengan akhir huruf i yang diulang-ulang beberapa kali, ketika teriakan pertama tak mendapatkan jawaban, "beliiiiiiiiiiiii," dari bibir seorang anak TK dengan uang lima ratus koin di tangannya, membangunkanku dengan sangat kasar dari mimpi tentang seorang cowok ganteng idola semua anak perempuan di sekolah dan aku hanya bisa menelan semua emosi untuk kantuk yang tak mendapat tempat dalam dunia mimpi, ketika dengan wajah polosnya yang dipenuhi tanda tanya, dia masih menimbang-nimbang untuk dibelikan apa koin lima ratus dalam genggamannya, dua buah permen karet berwarna pink dan hijau cerah atau sebuah cokelat berbentuk lingkaran yang dilapisi kertas yang warnanya sama dengan kalung yang menghiasi leher ibunya.

Karena moto ibu, "Pembeli adalah Raja," maka sekecil atau sebesar apapun nilai rupiah di tangan si pembeli, selembut atau seculas apapun si pembeli, bocah kecil atau orang dewasa si pembeli, kau harus melayaninya dengan senyuman, dan aku harus menambahkan, "bahkan dengan kantuk sekalipun pembeli adalah raja."

Ibuku tak mengenal kata, "sabar" dalam kamus bagaimana ia mendidik anak-anaknya. Saat ibu meneriakkan namaku, Cinthya dengan akhiran a pendek, maka aku masih mempunyai pilihan lain selain segera berlari menghampirinya yaitu meneruskan keasyikanku membaca, mengobrol bersama teman, mengerjakan pr atau memanjakan tubuh dengan hanya berbaring di atas tempat tidur.

Dan jika ibu memanggilku dengan akhiran a yang sangat panjang disertai gelombang kepanikan, sebaiknya aku segera menjawabnya dengan lantang dan berlari menuju ibu, meskipun otakku sekalipun sedang terdesak menghitung sisi terpendek dari segitiga siku-siku, yang juga tak ingin dijeda.

Siang itu langit biru yang jauh diatas sedang cerah-cerahnya. Langit musim kemarau dan matahari yang bertengger manis persis di atas garis khatulistiwa, membuat gerah tubuh sepertinya juga ikut membuat pendek gelombang sabar milik ibu.

Aku baru saja memasuki pintu rumah setiba dari sekolah, "Cinthya, kaukah itu," panggil ibu pelan.

"Iya, ibu."

"Kemarilah cepat," tak ada gelombang kepanikan dalam nada suaranya.

Tanpa menjawab aku terus masuk ke dalam kamar, lalu membaringkan tubuh di kasur empuk, setelah berjalan kaki bersama teman-teman sejauh kurang lebih enak kilometer dibawah terik matahari.

"Cinthya, apa kau tak mendengarkan ibu, cepat kemari?" ulang ibu memanggilku dan nada ketidaksabaran mulai terbaca di suaranya.

Aku baru saja hendak bangkit dan gerakanku terhenti seketika, "buat apa saja kau disitu, apa kau tak mendengar panggilan ibu," suara ibu bagaikan halilintar, matanya membelalak marah terbakar amarah yang tersulut ketidaksabaran, tangannya penuh adonan basah terigu, "cepat ke dapur, bantu ibu tuangkan bibit roti, ibu lupa menaruhnya tadi, entah apakah roti ini masih bisa naik kah tidak, jika tidak ibu bisa mengalami kerugian tujuh puluh ribu," aku mengikuti ibu ke dapur sambil terus mendengarkan celoteh ibu dalam nada suara yang lebih lembut kini. Dan aku beruntung tangan ibu tadi terbalut penuh adonan, jika tadi ibu memanggilku untuk perihal lain yang mendesak, dan ia harus menjemputku ke kamar sudah pasti cubitan atau lecutan hanger di paha harus aku terima.

Pernah suatu siang sepulang sekolah, entah ibu sedang dilanda emosi apa, aku disambut dengan perintah yang menurut ibu harus segera aku laksanakan. Suhu tubuh yang masih panas, disertai kaki yang lelah setelah berjalan jauh membuatku spontan menjawab, "Ibu, tidak bisakah sedikit bersabar? aku baru saja tiba, belum juga bertukar pakaian, belum juga makan siang, bisa tuh langsung suruh mencuci pakaian," dengan nada suara yang sedikit tinggi terpicu emosi.

Aku baru saja meletakkan tas dan ke kamar kecil yang letaknya dipisahkan tembok setengah bata dengan dapur ibu yang cukup luas, ketika hendak kembali ke kamar, ibu melempar sebuah irus kayu, seketika aku melompat serta melengking sejadi-jadinya karena sakit dan juga marah terlebih ketika aku dapati kakiku sudah berlumur darah. Aku marah sejadi-jadinya dan meraih sebuah pisau dapur, "sekalian pakai pisau ini saja ibu, tikam disini," kataku sambil memegang pisau dengan ujungnya mengarah ke dadaku, air mata mengalir deras membasahi kedua pipiku.

Omaku yang baru saja tiba untuk mengunjungi kami, melepaskan tasnya di ruang tamu lalu berlari ke dapur, "Cynthia lepaskan pisau itu, cepat," kata Oma yang langsung meraih pisau di tanganku dan meletakannya kembali di atas meja, "Tuhan, apa yang terjadi dengan kakimu," tanpa menunggu lama oma mendudukan aku di kursi, dan mulai menekan daerah kakiku yang berdarah untuk menghentikan pendarahan. "Apa kau sudah gila, Sonya. Kaki Cinthya sampai berdarah begini, apa yang ada di otakmu?" oma terus mengomeli sambil tangannya terus mengobati luka di kakiku.

"Oma, bilang ke ibu, bunuh saja aku, aku ini macam bukan anaknya lagi. Entah kenapa belakangan ibu terus saja memarahiku... Semua yang aku lakukan selalu salah," aku berusaha mengadu segala hal ke oma dalam isak yang tidak lagi aku tahan.

Ibuku terdiam hanya menatap ibunya yang sedang merawat kaki anaknya yang berdarah. Ibu bahkan tidak datang menghampiriku dan meminta maaf, tatapan matanya sarat penyesalan tapi ia hanya berdiri mematung, serbet berwarna biru dengan motif kotak-kotak ada di tangan kirinya.

Aku masuk ke kamar setelah lukaku selesai diperban oleh oma, tangisku masih berlanjut dan pecah di bawah bantal. Masih sempat kudengar beberapa kalimat antara ibuku dan ibu dari ibuku saling beradu sebelum aku jatuh tertidur. Aku terbangun dengan sebuah pemahaman baru dalam otakku, "jika ibu memanggil tidak peduli panggilannya berakhiran a pendek atau a panjang, tak ada alasan bagimu untuk menunggu, saat namamu dipanggil saat itu juga kau harus segera pergi menghampiri ibumu."

bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun