"Hamdallah bu. Berkat semangat kepedulian masyarakat terhadap penyebaran covid19.l yang tergabung dalam TBM.pagi-siang hari kami aksi bagi-bagi masker sekaligus kampanye PHBS .Dimulai dari rutin cuci tangan pakai sabun dan air mengalir".
Pesan Apit saya terima pada 16 April 2020.  Saya baru tergerak menuliskan aksi baiknya saat membaca pesannya di Seri Diskusi Pendidikan. Ya, saya mengundangnya masuk ke wag tersebut untuk berbagi praktik baik.  Pemuda desa ini merintis TBM Cipeundeuy di tanah keluarganya. Saya teringat kembali rasa takjub dan bangga bertemu dengan pemuda-pemudi desa penggerak literasi di Komunitas Ngejah Desa Sukawangi Garut Selatan.Â
Saya sempat menyimak rencana YSTC melibatkan TBM dan PKBM dalam upaya cegah COVID-19 dan Belajar dari Rumah luring. Rupanya Apit sudah lebih dulu melaksanakannya bersama penggerak literasi di TBM Cipeundeuy.
TBM Â Cipeundeuy dan kawan-kawan siap menjadi ujung tombak pelaksana Belajar dari Rumah. Saya mengajaknya membangun Istana "Dasawisma Tangguh Bencana".
Saya benar-benar beruntung dipertemukan dengan Apit dan kawula muda di desa-desa di Komunitas Ngejah saat menyerahkan Wakaf Buku jelang akhir 2019.
Saya mengajak Retno, teman se almamater untuk pergi ke TBM Cipeundeuy..
Ada beberapa peristiwa yang mendebarkan selama perjalanan malam menuju Garut Selatan melalui Pangalengan
Begini ceritanya.
Kami berdua berangkat malam hari dengan badan remuk redam setelah mengangkut beberapa kotak buku ke dalam mobil Xenia putihnya Retno.
"Capeknya. Retno masih kuat nyetir?" Tanya saya sambil minum kopi hangat bekal dari rumah.
"Kita pelan-pelan aja ya, Yan, "jawab Retno.
Beberapa kali kami mampir ke pom bensin. Tak ada yang menjual premium.
Kami menyusuri jalan berhotmix mulus. Retno berhasil menaklukkan beberapa kelokan tajam dan agak menanjak. Saya pun tertidur. Teman saya ini terbiasa menyetir dengan kecepatan sangat rendah. Perjalanan mulai hujan dan berkabut.
Saya terbangun saat mobil mundur dan slip di area yamg gelap. Hati berdebar kencang, apalagi saat melihat sebelah kiri jalan ternyata cukup curam. Waktu pukul 2 dini hari.
Entah bagaimana tiba-tiba ada orangtua renta yang menghampiri dan menemani kami. "Sakedap deui oge aya nu dongkap ngabantos, "kata si aki yang mengaku selalu keliling shalat malam di tajug yang sepi.
Tiba-tiba kami berdua dikejutkan oleh cahaya terang dari ketinggian. Ada truk lewat. Dua orang perempuan cantik berkerudung turun menghampiri kami. Mereka bercerita tentang sopir  yang bersikeras pulang. Rupanya ada yang perlu bantuan. Begitu kata mereka. Keduanya mengaku heran karena tak ada yang berani melewati jalan berkelok menanjak lewat tengah malam. Biasanya jalan licin dan berkabut tebal setelah hujan.  Sopir truk belum berhasil menarik keluar mobil Retno.
Tak lama kemudian datang mobil elf.
"Eh Ibu, naha wayah kieu aya di jalan?" Begitu kata sopir elf sambil menyodorkan tangan menyalami kami. Mang Endi namanya. Ia  mengaku mengenalku saat menjasi penyintas banjir dan membantu tim Sigap KerLiP saat banjir di Baleendah tahun lalu. Mang Endi memacu mobil Retno dengan kecepatan tinggi.
Alhamdulillah mobil bisa keluar dan langsung melaju ke atas. Â Saya dan Retno menghampiri dengan nafas terengah-engah.
"Mangga Bu, lalaunan we, Â bensinna tos bade seep, masih seueur tanjakan, "kata Mang Endi. Ia turun dan menghampiri mobil elfnya. Kami tak sempat bersalaman lagi.
Tak jauh dari tempat kami berhenti ada pertamini. Saya  mengeluarkan uang selembar
"Bu, punten saayana we, nya. Asana mah kantun sakedik deui, "kata perempuan penjual bensin. Ia masih berdaster dengan kerudung pink menutup kepalanya.
"Pak, kunaon mesinna, nya? Bensinna ngocor teras, tapi meteranna  teu jalan!" Teriakannya memecah kesunyian.
Mereka berdua kebingungan.
"Retno, biasanya full tank habis berapa?" Tanya saya. Â Retno masih terlihat shock dengan kejadian slip tadi Â
"Bu, Pak, karena meterannya ngga jalan saya berikan 200 lagi ya, "ujar saya sambil menyodorkan uang.
"Ulah Bu, da tadi kantun sakedik deui, paling oge 70 rebu seepna. Mung abdi teu aya angsulanna" kata si bapak.
Saya mengajaknya melihat penanda bensin. Full tank.
Keduanya mau menerima. Alhamdulillah. Mereka mendoakan kami selamat di perjalanan. Sesekali saya lihat mereka mengecek mesin pertamininya.
Kami berdua tiba di TBM Cipeundeuy jelang subuh setelah melewati jalan berbatu dan licin bekas hujan. Tanah merah dimana-mana. Kami diterima oleh keluarga Apit dengan hangat. Kakaknya Apit sempat bercerita tentang peristiwa mati suri yang dialaminya. Saat ini ia memimpin MTs Al Maarif yang didirikan di tanah milik ayah mereka. Ayahnya Apit juga masih memiliki sebidang tanah. Keluarga ini benar-benar peduli pendidikan. Â Apit membuka TBM Cipeundeuy, Â kakaknya memimpin MTs dan berencana mendirikan pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H