"Bu, punten saayana we, nya. Asana mah kantun sakedik deui, "kata perempuan penjual bensin. Ia masih berdaster dengan kerudung pink menutup kepalanya.
"Pak, kunaon mesinna, nya? Bensinna ngocor teras, tapi meteranna  teu jalan!" Teriakannya memecah kesunyian.
Mereka berdua kebingungan.
"Retno, biasanya full tank habis berapa?" Tanya saya. Â Retno masih terlihat shock dengan kejadian slip tadi Â
"Bu, Pak, karena meterannya ngga jalan saya berikan 200 lagi ya, "ujar saya sambil menyodorkan uang.
"Ulah Bu, da tadi kantun sakedik deui, paling oge 70 rebu seepna. Mung abdi teu aya angsulanna" kata si bapak.
Saya mengajaknya melihat penanda bensin. Full tank.
Keduanya mau menerima. Alhamdulillah. Mereka mendoakan kami selamat di perjalanan. Sesekali saya lihat mereka mengecek mesin pertamininya.
Kami berdua tiba di TBM Cipeundeuy jelang subuh setelah melewati jalan berbatu dan licin bekas hujan. Tanah merah dimana-mana. Kami diterima oleh keluarga Apit dengan hangat. Kakaknya Apit sempat bercerita tentang peristiwa mati suri yang dialaminya. Saat ini ia memimpin MTs Al Maarif yang didirikan di tanah milik ayah mereka. Ayahnya Apit juga masih memiliki sebidang tanah. Keluarga ini benar-benar peduli pendidikan. Â Apit membuka TBM Cipeundeuy, Â kakaknya memimpin MTs dan berencana mendirikan pesantren.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H