Saat saya mengandung 7 bulan anak pertama tiga puluh tahun lalu, masih mengadakan acara Mitoni, sebuah tradisi yang dilakukan kala usai kandungan mendekati usia delapan bulan.
Saat itu saya menjalani berbagai ritual di rumah Ibu, Ungaran. Ibu membantu segalanya saat acara sederhana tersebut. Dengan dibantu seorang Mbah yang biasa mengurusi bayi, ritual dilaksakan. Awalnya saya dimandikan dengan air bunga warna-warni.Â
Selanjutkan saya berganti kain jarit yang jumlahnya tujuh. Wah... lupa jenis kainnya. Yang saya ingat setelah ganti kain jarit itu Mbah duku bayi, menggelidingkan telur dari perut hingga jatuh. Jika pecah, pertanda anaknya laki-laki. Tetapi jika tidak maka anaknya perempuan.
Saya pun lupa pecah atau tidak. Yang jelas anakku yang pertama berjenis kelamin lelaki. Ritul lainnya yang saya ingat adalah suami membelah kelapa gading.
Selain ritual itu ada selamatan yang dihadiri para tetangga dengan tujuan berdoa agar sang jabang bayi beserta ibunya bisa melahirkan dengan selamat.
Itulah kisah yang sudah lama sekali. Kini si anak sudah berkeluarga. Kini saat anak menantu yang kedua sedang mengandung anak pertama dengan usia kandungan tujuh bulan juga mengadakan acara mitoni atau kita menyebutnya tujuh bulanan. Atas kehendak suaminya, acara mitoni tidak dengan tradisi seperti saya dulu. Katanya ingin praktis tidak ribet.Â
Sebenarnya saya selaku orangtua ingin nguri-nguri tradisi tersebut. Namun, hal itu kurang ditanggapi. Ya, sudah sebagai orangtua hanya bisa manut. Intinya kami berdoa kepada Allah agar proses kelahiran berjalan lancar dan bayi lahir dengan sehat serta selamat. Ibunya juga diberi kesehatan dan keselamatan.
Akhirnya kami selamatan dengan mengundang para tetangga. Kami pun memesan menu yang juga lebih praktis dari pada memasak (hehe malas memasak kali, ya). Zaman sekarang cari yang mudah simpel dan praktis. Rumah tidak kotor. Hahaa lagi-lagi ini mungkin alasan saja. Tepat puku 15.00 kami tinggal mengambil makanan.Â
Sampai rumah saya buka. Ada nasi ayam bakar beserta lalapan, ada urap sayuran beserta ikan asin dan tempe. Selain itu ada bubur merah putih, ada rujak yang dikemas dalam wadah plastic yang apik.
Di atas makanan tadi ada kerupuk. Pukul 16.30 Â bapak-bapak hadir . Kami menyambutnya dengan suka cita.
Doa pun dilantunkan Bapak Karjono dengan penuh hikmat. Alhamdulillah acara berjalan lancar. Berdoa dengan berbagi rejeki dengan tetangga.
Tradisi yang biasa dilakukan para sesepuh itu memang tampaknya sedikit luntur. Di daerah saya juga jarang yang melakukan tradisi ini. Umpama ada hanya satu dua. Manusia saat ini ingin lebih praktis. Apalagi jika ritual seperti itu butuh persiapan yang matang.
Walaupun sebenarnya umpama ada dana dan niat bisa juga dilaksanakan untuk melastarikan budaya. Namun, semua bergantung pada diri pribadi. Semuanya baik.
Yang lebih utama adalah mitoni bentuk apa pun sebagai wujud syukur dan berdoa kepada Allah SWT agar bayi dan ibunya sehat dan selamat sampai melahirkan dan diberi kelancaran.
Ambarawa, 9 November 2022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H