Mohon tunggu...
Yanti
Yanti Mohon Tunggu... Administrasi - Dream until your dream come true

instagram: @yanti_id

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Perjalanan Menuju Atap Dunia

16 Juli 2019   19:23 Diperbarui: 17 Juli 2019   22:03 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tibet merupakan daerah otonom yang berada di wilayah negara China. Bagi pengunjung yang memiliki visa China, tidak dapat secara langsung masuk ke Tibet tanpa ada Tibet Travel Permit (TTP). TTP ini hanya bisa diperoleh melalui travel agent lokal di Tibet.

Tibet sering disebut sebagai roof of the world (atap dunia) karena letaknya yang berada di ketinggian. Lhasa merupakan ibu kota Tibet dengan ketinggian sekitar 3.658 mdpl, kota-kota lain di Tibet berada di ketinggian di atas 3.700 m.

Bayangan saya, kota-kota di Tibet itu masih sepi dan tradisional, kurang lebih tidak beda jauh dari kondisi seperti di film "Seven Years in Tibet" (1997). Namun gambaran tentang Tibet langsung berubah sesampainya di sana. 

Kondisi jalan dari bandara menuju ke Lhasa mulus. Beberapa kali jalan melewati terowongan yang menembus gunung batu. Memasuki kota Lhasa, terasa modernisasi sudah mulai mempengaruhi Lhasa. Bangunan-bangunan baru berupa mal, hotel, apartemen serta berbagai dealer mobil mewah. 

Lhasa sama sekali bukan kota yang sepi. Memang masih banyak dijumpai para peziarah berjalan mengelilingi kota serta bangunan-bangunan biara yang usianya sudah ratusan tahun.

Hari-hari pertama di Lhasa, efek udara tipis di daerah ketinggian membuat saya mual dan bernafas pendek. Jalan kaki dari pintu lift hotel menuju kamar yang hanya sekitar 100 m, rasanya seperti berjalan 1 km. Apalagi ketika mengunjungi biara-biara yang memiliki banyak tangga dan harus berjalan cukup jauh. Untuk menghindari efek ketinggian semakin memburuk, saya banyak minum air putih serta minum obat sebagai pencegahan.

Selama 3 hari pertama, kami hanya mengunjungi beberapa lokasi yang berada di dalam kota Lhasa. Efek udara tipis di ketinggian biasanya berbeda bagi tiap orang sehingga perlu untuk penyesuaian. 

Sesuai jadwal tur, pada hari ke-4 kami akan menunju kota Shigatse yang merupakan kota terbesar kedua di Tibet setelah Lhasa. Shigatse berada di ketinggian 3.900 m dan berjarak sekitar 350 km dari Lhasa. Meskipun jaraknya cukup jauh, namun di sepanjang perjalanan pemandangan sangat indah. Di kota Shigatse kami menginap 1 malam kemudian melanjutkan perjalanan ke Everest Base Camp (EBC).

Peziarah beristirahat (Dokumentasi pribadi)
Peziarah beristirahat (Dokumentasi pribadi)
Untuk memasuki area Taman Nasional Everest (Qomolangma National Nature Reserve), pengunjung harus memiliki izin yaitu Alien's Permit. Izin ini dapat diperoleh di kota Gyantse, kota kecil sebelum memasuki Shigatse. Biasanya travel agent yang akan mengurusnya dan sudah termasuk dalam biaya tur.

Perjalanan menuju EBC merupakan perjalanan paling berat karena daerahnya semakin tinggi dan harus melalui jalan zig zag, mengelilingi bukit. Jalur zig zag ini merupakan bagian dari Friendship Highway yang menghubungkan China-Nepal sepanjang 800 km. Jalan ini baru dibuka pada tahun 2016. Dalam perjalanan ada beberapa puncak yang dilalui: Simila Mountain Pass (4.353 m), Gawu la Pass (5.189 m), Gyatso la pass (5.220 m), sampai akhirnya kami tiba di EBC (5.200 m).

Meskipun sudah memasuki area TN Everest, puncak Everest masih juga belum terlihat. Dari tempat parkir mobil, kami harus melanjutkan perjalanan menggunakan bis listrik yang telah disediakan. Pengelola menyediakan bus yang ramah lingkungan untuk mengurangi polusi di area taman nasional. 

Sekitar 20 menit kemudian kami sampai di area base camp atau penginapan untuk pengunjung. Kami beruntung karena sore itu cerah, sehingga puncak Everest terlihat sangat jelas. 

Lega rasanya bisa memandang puncak tertinggi di dunia yang sudah menjadi impian bagi banyak pendaki sejak zaman dahulu untuk dapat berdiri di puncaknya. Meskipun hanya memandang dari jauh, namun kemegahan puncak Everest begitu megah. Gunung Everest dengan ketinggian 8.848 m merupakan puncak tertinggi di dunia. Setiap tahun ratusan bahkan ribuan pendaki berusaha untuk menaklukkan puncak Everest baik dari sisi Tibet maupun Nepal.

Roof of The World (Sumber: carlnotfors.com)
Roof of The World (Sumber: carlnotfors.com)
Semakin malam, angin bertiup semakin kencang dan dingin, awan mulai menutupi puncak Everest. Kami segera kembali menuju penginapan di area base camp.

Area base camp untuk pengunjung berbeda dengan base camp untuk para pendaki, sehingga tidak akan terlihat para pendaki yang sedang bersiap menaklukkan puncak Everest. Apalagi saat kami datang, musim pendakian sudah selesai. 

Di area base camp terdapat tenda-tenda serta penginapan (guest house) sederhana untuk menginap. Fasilitas di penginapan cukup sederhana, 1 kamar berisi sekitar 5 tempat tidur dilengkapi dengan selimut listrik untuk menghangatkan badan. Toilet? Yup.. ada toilet tapi tidak ada air untuk menyiram. Silakan membayangkan baunya...:D

Perjalanan selama 8 hari di Tibet memang cukup melelahkan, selain perjalanan darat yang cukup jauh, efek daerah ketinggian membuat badan cepat merasa kelelahan. Namun semua terbayar dengan pemandangan indah yang saya nikmati sepanjang jalan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun