Saya berpendapat bahwa penangkapan Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Sulawesi Utara Sudiwardono oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Jum'at (6/10) malam, berkaitan sangat erat dengan kengototan pansus angket KPK DPR RI untuk "mengebiri" KPK dan keputusan hakim Cepi Iskandar yang menkonfirmasi "kesaktian" Setya Novanto. Ketua PT Manado ditangkap bersama terduga penyuapnya, Aditya Anugerah Moha, seorang anggota DPR dari fraksi Partai Golkar. Penyuapan ini ditengarai untuk mengamankan proses banding dalam perkara korupsi dengan terdakwa Marlina Moha Siahaan, mantan bupati Bolaang Mongondow pereode 2001-2006 dan 2006-2011 yang juga merupakan ibunda dari Aditya (Kompas, 8 Oktober 2017).Â
Ditangkapnya puluhan Hakim dari tingkat terendah sampai tingkat tertinggi, ratusan anggota DPR RI, DPRD I dan DPRD II, puluhan kepala Daerah tingkat I dan II, puluhan pejabat tinggi kementerian dan lembaga negara oleh KPK karena kasus korupsi menunjukkan bahwa Republik Indonesia telah nyaris "sempurna" ditelikung dan dirangket oleh korupsi dan koruptor.
Ada paling tidak tiga catatan penting dan menarik terkait dengan penangkapan dua "petinggi negeri" tersebut. Pertama Sudiwardono rupanya terlalu percaya kepada keampuhan dan kesaktian para anggota pansus angket KPK DPR RI. Beliau melihat bahwa upaya pansus untuk melumpuhkan KPK dilakukan secara sistematis, terukur, efektif dan "transparan". Dimulai dari "merangkul" para terpidana korupsi guna menghimpun informasi dari para "orang penting" tersebut terutama terkait dengan berbagai dugaan kesalahan KPK selama mereka ditangani oleh lembaga anti rasuah itu.Â
Dilanjut audiensi dengan beberapa pimpinan lembaga negara yang berhubungan dengan KPK, tentu saja juga dalam rangka mendapatkan bukti bukti dugaan penyimpangan yang telah dilakukan oleh KPK. Terbaru para anggota pansus telah bertemu dengan Kapolri guna meminta kesediaan Polri untuk menghadirkan paksa para pimpinan KPK untuk "diadili" secara resmi di kantor DPR, setelah beberapa kali pimpinan KPK menolak panggilan pansus.Â
Publik tentu tahu ini adalah upaya pansus untuk mengadu domba dua lembaga hukum yang memang beberapa kali mengalami "gesekan". Bahkan sebelum pertemuan dengan Kapolri beberapa kali pansus "mewacanakan" untuk beraudiensi dengan RI 1. Mengacu pada hal hal tersebut, Sang ketua PT mengira KPK bakal sangat sibuk dan kewalahan "menghadapi" berbagai serangan tersebut.
Entah tabir apa yang menghalangi penglihatan Sudiwardono dari kenyataan yang sangat jelas bahwa segala "gangguan" dari pansus dan hakim Cepi Iskandar malah mengobarkan semangat KPK untuk melakukan berbagai OTT dan penangkapan terhadap pejabat yang diduga lancung di tempat tempat yang berbeda secara beruntun dan berkesinambungan.
 Tabir inilah yang diduga menyebabkan Ketua PT Manado itu "terlena" dan dengan senang hati menanda tangani "surat sakti" yang membuat Marlina bisa keluar dari rutan Malendeng Manado pada tanggal 18 September setelah jaksa memasukkan mantan bupati ini ke sel pada 20 Juli. Secara singkat dapat dinyatakan disini bahwa kedudukan tinggi Sudiwardono sama sekali tidak menggambarkan ketinggian integritas, kewaspadaan dan kecerdasannya.
Kedua, bisa jadi Aditya adalah contoh nyata dari seorang anak yang sangat berbhakti kepada ibunya. Dalam sebuah hadits yang sangat terkenal diceritakan bahwa Abu Hurairah RA, berkata, "Seseorang datang kepada nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan berkata, 'Wahai Rasulullah, kepada siapakah aku harus berbakti pertama kali?' Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Dan orang tersebut kembali bertanya, 'Kemudian siapa lagi?'
 Nabi shalallaahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Ibumu!' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi?' Beliau menjawab, 'Ibumu.' Orang tersebut bertanya kembali, 'Kemudian siapa lagi,' Nabi shalallahu 'alaihi wasallam menjawab, 'Kemudian ayahmu.'" (HR. Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 2548).
Saat keluar dari gedung KPK, Aditya mengaku bahwa ia hanya ingin memperjuangkan ibunya."Saya berusaha semaksimal mungkin, niat saya baik tapi mungkin cara yang belum terlalu tepat sehingga saya sering saya katakan, saya berjuang saya berusaha maksimal demi nama seorang ibu," (Antara, 8/10)
Jadi perlu digarisbawahi disini, penghormatan kepada ibu itulah driving force dari Aditya untuk bertemu, bersilaturahmi dan berkomunikasi sekaligus menyerahkan uang kepada Sudiwardono. Mungkin karena menganggap bahwa tindakan mereka "sangat agamis" dan  "sangat mulia" maka Aditya dan Sudiwardono  menggunakan kata sandi "pengajian" untuk pertemuan pertemuan gelap yang mereka selenggarakan.