“Persyaratan pertama politik bukanlah kecerdasan atau stamina, tetapi kesabaran. Politik adalah permainan jangka panjang dan kura-kura biasanya akan mengalahkan kelinci.” John Major
Koalisi parpol dalam mengusung capresnya menuju pilpres 2024 telah diwarnai berbagai atraksi yang mengejutkan. Perubahan spektakuler yang tidak diduga telah terjadi pada minggu ini. Mediapun sibuk memberitakan dinamika yang terjadi pada anggota dua koalisi yaitu Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dan Koalisi Perubahan.
PKB secara mendadak telah memutuskan untuk keluar dari koalisi lamanya yakni KKIR. Keputusan keluar dari koalisi akibat dirubahnya nama KKIR menjadi Koalisi Indonesia Maju. PKB menyatakan bahwa perubahan nama itu dilakukan secara sepihak oleh rekan koalisinya yaitu Partai Gerindra. Padahal koalisi yang dibangunnya bersama Partai Gerindra sering dipublikasikan kepada publik, sebagai koalisi yang solid. Tindak lanjutnya, pada tahun lalu kedua partai tanpa pikir panjang langsung menandatangani pakta kerjasama politik sebagai piagam untuk pemenangan Pilpres 2024. Apa mau dikata, minggu ini piagam tersebut berubah menjadi kenangan belaka.
Menyusul langkah PKB, berikutnya adalah Partai Demokrat mengumumkan hengkang dari Koalisi Perubahan. Menariknya, drama perpisahan anggota koalisi ini telah menimbulkan luka yang mendalam. Akibatnya, kata "penghianatan" ikut menjadi trending topic dan bergaung di seantero Republik ini. Kader partai yang satu mulai menyerang partai atau capres lainnya dengan menggunakan kata "penghianat". Sebaliknya, partai atau capres yang dituduh sebagai penghianat kemudian merespon dan membela dirinya dengan menyebut partai yang menuduhnya sebagai partai yang tidak komitmen atau ingkar janji.
Kondisi ini menimbulkan kesan bahwa parpol dan para elitnya tidak ada yang mau disalahkan. Dramatis memang, bila sikap ksatria mulai hilang dalam diri beberapa tokoh atau elit pada Bangsa ini. Jangan salahkan juga, jika rakyat menyikapi kondisi ini sebagai drama, layaknya playing victim semata.
Publik melihat para elit parpolnya seakan sedang berlomba memainkan drama pembelaan diri dengan tujuan agar mendapat simpati publik. Parpol yang seharusnya berperan memberikan edukasi politik kepada masyarakat. Mohon maaf, perannya justru berubah menjadi dagelan politik semata. Dibalik pembelaannya dengan menyalahkan parpol lain, malah menimbulkan persepsi negatif yang baru. Kesan bahwa "merasa paling benar sendiri" menjadi dominan dan nuansa tersebut bisa saja ditangkap oleh rakyat yang belum menentukan pilihannya. Efeknya, bila dicermati secara seksama. Sebenarnya akan merugikan parpol yang bertikai atau adu kuat itu sendiri.
Publik beranggapan bahwa koalisi yang telah terjalin selama ini akan langgeng dan kokoh. Namun anggapan publik tersebut, ternyata keliru. Kondisi yang terlihat sekarang, jelas bertolak belakang. Terbukti, koalisi tidak menghasilkan kenyamanan bagi masing-masing parpol tersebut. Hal ini terjadi karena adanya faktor selalu ingin berkuasa dan dorongan berlomba agar menjadi pemenang dalam koalisi, apalagi terkait masalah elektabilitas. Seumpama dalam pertandingan sepakbola, tidak bisa semua pemain dalam tim bertindak atau berperan sebagai pencetak gol. Ada peran dan fungsinya masing-masing dalam tim sepakbola, begitu juga seharusnya dalam koalisi atau kerjasama parpol.
Hasilnya, bentuk kerjasama menjadi kurang tulus dan berubah saling intip mencari sisi kelemahan dari rekan koalisinya. Apalagi ada tawaran rumput tetangga yang lebih indah dibandingkan rumput dalam koalisi. Akibatnya, parpol yang merasa tidak nyaman berada dalam koalisi karena keinginannya tidak bisa diakomodasi. Lalu, berupaya mencari cara atau jalan keluar dari koalisi melalui mekanisme yang terhormat dan elegan. Tujuannya agar tidak menimbulkan image negatif dari pemilih dan suara dukungan dari rakyat tetap terjaga.
Namun, pada akhirnya harapan agar bisa keluar secara baik-baik dari koalisi tidak dapat terlaksana dan malah terpleset saling menyalahkan. Supaya ramai dan tetap mendapat simpati serta tidak salah dimata rakyat. Parpol atau pihak yang bertikai terkesan memainkan peran sebagai korban, sekaligus menyalahkan pihak lain yang tidak komitmen terhadap janji. Dampaknya, baru terlihat sekarang yaitu api dalam sekam yang telah disembunyikan selama ini kemudian meledak dan diluapkan serta dihidangkan dihadapan masyarakat.
Masalah sebenarnya telah muncul sejak awal pembentukan kerjasama atau koalisi. Parpol yang merasa tidak ingin kehilangan momentum, lalu secara tergesa-gesa membentuk koalisi. Padahal pilpres 2024 masih lama, namun koalisi sudah dibentuk dua tahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2022. Konsekuensi atas tergesa-gesanya pembentukan koalisi, isi piagam kerjasama tidak mengatur sanksi apabila ada salah satu pihak yang ingkar janji. Seiring waktu berlalu, apa yang diharapkan oleh parpol terhadap koalisinya ternyata tidak semua bisa diwujudkan. Namun, karena isi piagam memiliki kelemahan yaitu tidak mengikat para anggota dalam koalisinya. Dampaknya terlihat seperti saat ini, parpol bebas keluar-masuk koalisi tanpa ada sanksi atau ikatan apapun. Sanksinya malah diberikan kepada masyarakat untuk menilai dan menghukumnya pada hari pencoblosan.
Parpol yang berkoalisi mungkin juga lupa bahwa hakekat dari politik adalah ingin mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Jika parpol yang ingin berkoalisi ingat dan sadar bahwa dalam kekuasaan yang ingin diraih itu, sebenarnya menyimpan benih-benih konflik yang tersembunyi. Setiap saat benih ini memiliki potensi untuk meletus dan meretakkan hubungan. Potensi konflik selama ini tersimpan dengan rapi, namun berwujud seperti "api dalam sekam.", yakni sekam koalisi. Resiko ini bisa diantisipasi, jika parpol tersebut tidak terburu-buru dalam membentuk atau tergabung dalam koalisi dengan mengambil sikap "ojo kesusu".
Seandainya parpol sebelum masuk dalam koalisi, telah mempertimbangkan segala hal termasuk peran yang akan diambilnya, sebagai apa. Pengumpulan data terkait track record rekannya dalam satu koalisi selama ini seperti apa. Apakah dapat dipercaya bila melakukan komitmen pakta perjanjian. Setelah semuanya selesai dipertimbangkan secara matang kemudian baru memutuskan untuk bergabung dalam koalisi, maka dapat meminimalisir kemungkinan munculnya kejadian yang pahit seperti ini. Namun, nasi telah menjadi bubur. Dagelan yang dipertontonkan ini telah menjadi konsumsi publik, mudahan simpati tetap bisa diraih dan bukan antipati dari rakyat pemilih.
Belajar dari pengalaman sejarah sebelum Jokowi menjadi Presiden RI dan menjabat sebagai Gubernur DKI. Beliau, pernah diwawancara para wartawan mengenai keinginannya menjadi presiden RI. Secara lugas, Jokowi menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat "ora mikir copras-capres 2014" dan ingin fokus membangun Jakarta saja. Jawaban Jokowi saat itu, justru menimbulkan simpati publik sebagai figur yang tidak berambisi dan rendah hati. Situasi dan kondisi yang telah terjadi saat ini, malah sebaliknya.
Para capres yang akan maju di pilpres 2024, malah berlomba menampilkan ambisi atau nafsu ingin berkuasanya. Keributan dan situasi gaduh yang terjadi ini, secara relatif memberikan keuntungan bahkan dapat meningkatkan elektabilitas koalisi parpol yang adem-tentrem. Rakyat bisa saja menjadi simpati pada koalisi parpol yang tidak grasa-grusu alias sabar. Dukungan rakyat diperoleh akibat blunder dari sikap serta tindakan yang dilakukan oleh kandidat lawan. Nafsu parpol ingin berkuasa dengan mengorbankan pihak lain kemungkinan dapat menimbulkan rasa takut atau kesan buruk penilaian dari konsituen.
Rakyat mungkin saja bertanya-tanya dalam hatinya? Saat ini belum berkuasa saja, sudah tega menyalahkan temannya. Apalagi nanti setelah mendapat jabatan mungkin akan tega juga menyalahkan rakyatnya. Janji pada piagam pakta kerjasama atau koalisi saja dengan mudahnya diingkari, apalagi nanti janji untuk mensejahterakan rakyat. Jangan-jangan setelah memimpin akan tega juga mengorbankan kesejahteraan rakyatnya.
Wajar saja, jika saat ini Partai Solidaritas Indonesia mengambil sikap tegak lurus Jokowi dan ojo kesusu. Kopdarnas PSI, telah memutuskan untuk menyerap aspirasi rakyat kembali.
Ingat Pilpres 2024, Bukan Lomba Adu Kuat atau Cepat tetapi Lomba Menarik Simpati dan Dukungan Rakyat !!!
Salam Demokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H