Parpol yang berkoalisi mungkin juga lupa bahwa hakekat dari politik adalah ingin mencapai dan mempertahankan kekuasaan. Jika parpol yang ingin berkoalisi ingat dan sadar bahwa dalam kekuasaan yang ingin diraih itu, sebenarnya menyimpan benih-benih konflik yang tersembunyi. Setiap saat benih ini memiliki potensi untuk meletus dan meretakkan hubungan. Potensi konflik selama ini tersimpan dengan rapi, namun  berwujud seperti "api dalam sekam.", yakni sekam koalisi. Resiko ini bisa diantisipasi, jika parpol tersebut tidak terburu-buru dalam membentuk atau tergabung dalam koalisi dengan mengambil sikap "ojo kesusu".Â
Seandainya parpol sebelum masuk dalam koalisi, telah mempertimbangkan segala hal termasuk peran yang akan diambilnya, sebagai apa. Pengumpulan data terkait track record rekannya dalam satu koalisi selama ini seperti apa. Apakah dapat dipercaya bila melakukan komitmen pakta perjanjian. Setelah semuanya selesai dipertimbangkan secara matang kemudian baru memutuskan untuk bergabung dalam koalisi, maka dapat meminimalisir kemungkinan munculnya kejadian yang pahit seperti ini. Namun, nasi telah menjadi bubur. Dagelan yang dipertontonkan ini telah menjadi konsumsi publik, mudahan simpati tetap bisa diraih dan bukan antipati dari rakyat pemilih.
Belajar dari pengalaman sejarah sebelum Jokowi menjadi Presiden RI dan menjabat sebagai Gubernur DKI. Beliau, pernah diwawancara para wartawan mengenai keinginannya menjadi presiden RI. Secara lugas, Jokowi menjawab pertanyaan tersebut dengan kalimat "ora mikir copras-capres 2014" dan ingin fokus membangun Jakarta saja. Jawaban Jokowi saat itu, justru menimbulkan simpati publik sebagai figur yang tidak berambisi dan rendah hati. Situasi dan kondisi yang telah terjadi saat ini, malah sebaliknya.Â
Para capres yang akan maju di pilpres 2024, malah berlomba menampilkan ambisi atau nafsu ingin berkuasanya.  Keributan dan situasi gaduh yang terjadi ini, secara relatif memberikan keuntungan bahkan dapat meningkatkan elektabilitas koalisi parpol yang adem-tentrem. Rakyat bisa saja menjadi simpati pada koalisi parpol yang tidak grasa-grusu alias sabar. Dukungan rakyat diperoleh akibat blunder dari sikap serta tindakan yang dilakukan oleh kandidat lawan. Nafsu parpol ingin berkuasa dengan mengorbankan pihak lain kemungkinan dapat menimbulkan rasa takut atau kesan buruk penilaian dari konsituen.
Rakyat mungkin saja bertanya-tanya dalam hatinya? Â Saat ini belum berkuasa saja, sudah tega menyalahkan temannya. Apalagi nanti setelah mendapat jabatan mungkin akan tega juga menyalahkan rakyatnya. Janji pada piagam pakta kerjasama atau koalisi saja dengan mudahnya diingkari, apalagi nanti janji untuk mensejahterakan rakyat. Jangan-jangan setelah memimpin akan tega juga mengorbankan kesejahteraan rakyatnya.
Wajar saja, jika saat ini Partai Solidaritas Indonesia mengambil sikap tegak lurus Jokowi dan ojo kesusu. Â Kopdarnas PSI, telah memutuskan untuk menyerap aspirasi rakyat kembali.
Ingat Pilpres 2024, Bukan Lomba Adu Kuat atau Cepat tetapi Lomba Menarik Simpati dan Dukungan Rakyat !!!
Salam Demokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H