Mohon tunggu...
Yansean Sianturi
Yansean Sianturi Mohon Tunggu... Lainnya - learn to share with others

be joyfull in hope

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

PNS, Tuan atau Pelayan Masyarakat?

12 Maret 2023   22:11 Diperbarui: 25 Maret 2023   10:06 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pegawai negeri dan keluarganya pada zaman Belanda mendapat hak istimewa antara lain, gaji yang tinggi, kesehatan terjamin dan sekolah khusus bagi anak-anaknya. Pemerintah Belanda kemudian membedakan rakyat jajahan dengan pegawainya yang disebut sebagai kaum priyayi. Tujuan pembedaan ini, supaya terbagi kelas atau strata di masyarakat sehingga lebih mudah dijajah (devide et impera). 

Kondisi ini berlanjut hingga Indonesia merdeka sebutan ambtenaar dirubah menjadi pangreh praja (penguasa lokal/rakyat) kemudian terakhir disebut sebagai pamong praja (pelayan rakyat). Sebutan memang berubah, namun perilaku budaya sebagai kaum priyayi atau ningrat terbawa hingga Indonesia merdeka. Hal ini ditandai dengan mengganti bentuk pesta menjadi seremoni jabatan, atribut dan simbol kemegahan pegawai yang tetap diwariskan.

Sebutan pamong praja, pada masa reformasi ini menjadi salah kaprah dan sering disalah artikan. Praja adalah rakyat yang berdasarkan sebutan pada sistem kerajaan zaman dahulu, berbeda dengan rakyat berdasarkan sistem demokrasi di negara egaliter saat ini. Pamong praja pada sistem kerajaan berfungsi memungut upeti (pajak) dan melayani raja, selain bertugas menjaga ketertiban dan melayani masyarakat. 

Wajar, jika wajah birokrasi saat ini, terbawa suasana historis tersebut dan lebih cenderung melayani atasan sebagai rajanya ketimbang menjadi pelayan/pembantu atau hamba masyarakat. Istilah "jika bisa dipersulit, buat apa dibuat mudah" sering terdengar ketika rakyat membutuhkan pelayanan. Mempersulit layanan agar mendapat upeti merupakan warisan buruk masa lalu, yang sekarang mungkin didengar sebagai "pungli". Birokrasi yang seharusnya melayani kebutuhan masyarakat, malah ingin dan minta dilayani oleh rakyatnya melalui "uang pelicin". 

Mental priyayi mendapat justifikasi melalui simbol dan atribut yang dipertontonkan ke masyarakat. Otokritik atas penggunaan pakaian dinas yang dikenakan oleh PNS lengkap dengan seluruh lambang kepangkatan di pundaknya patut dipertanyakan. Padahal bukan militer atau polisi, apa pentingnya bagi warga yang membutuhkan pelayanan. Apakah ini merupakan salah satu bentuk simbolik ingin menunjukan kemegahan dan kekuasaan terhadap rakyat? Apa fungsi dan manfaatnya pakaian dinas sipil dengan model kepangkatan bagi masyarakat? Apakah bertujuan untuk menakuti-nakuti rakyat yang sedang membutuhkan layanan melalui lambang dan atribut tersebut? Apakah atribut pakaian tersebut untuk membedakan pegawai dengan rakyat sebagai kawulanya seperti pada sistem kerajaan? 

Padahal pakaian dinas PNS sebenarnya bisa ditampilkan dengan wajah yang lebih humanis misalnya, pakaian batik korpri atau pakaian bebas atau pakaian daerah supaya lebih dekat dengan rakyatnya. 

Pakaian dinas Militer dan Polisi berhubung adanya garis komando, wajar jika menggunakan pangkat. Hal ini perlu, agar terkondisi sistem kepatuhan dari bawahan pada perintah atasan termasuk kepatuhan bawahan dari bagian/divisi lainnya.

Mengacu pada teori birokrasi dari Max Weber, pegawai pada masa kerajaan dan penjajahan pada masa lalu terlihat bekerja secara tradisional dan belum menjadi birokrasi modern. Syarat mutlak birokrasi modern menurut Max Weber, pegawainya dapat bekerja secara profesional dengan etos kerja yang legal, rasional dan impersonal. Legal dan impersonal yaitu, pegawai negeri bekerja tidak melanggar hukum dan mampu terbebas dari godaan kolusi maupun korupsi. Harapannya ialah, birokrasi yang ideal dapat terwujud di Republik ini. Birokrasi dapat menjalankan fungsinya sebagai alat yang otonom dan netral serta dapat digunakan oleh negara untuk mencapai tujuannya yaitu mensejahterakan rakyat. 

Merubah wajah birokrasi tidak dapat dilakukan dalam semalam, perubahan mental perlu dilakukan setiap saat melalui beberapa alternatif :

1. Sistem kenaikan karir pegawai. Penerapan sistem merit dengan pengawasan lembaga eksternal yang independen  diharapkan bisa menghilangkan budaya setoran pada atasan. Bukan rahasia umum, setoran telah menjadi isu dan sebagai syarat apabila seorang pegawai ingin direkrut atau naik pangkat bahkan mendapat jabatan. Ekses perilaku negatif ini adalah contoh kecil yang menjadi perhatian dan perlu diberantas oleh segenap komponen bangsa.

2. penggunaan sistem online secara masif  pada semua layanan perlu dipercepat untuk mengatasi perilaku buruk, korup sisa peninggalan zaman kolonial. Sistem online diharapkan dapat mengurangi tatap muka dan negosiasi antara pelayan dengan rakyat yang ingin dilayani. 

3. Merubah istilah atau kalimat pada lembaga PNS yang sebenarnya kurang perlu, misalnya Pamong Praja diganti dengan sebutan "pelayan/abdi/pembantu/hamba masyarakat", supaya sama seperti "Public Service" di negara -negara yang lebih egaliter. Pakaian dinas dengan sistem kepangkatan di pundak yang digunakan oleh PNS agar dievaluasi. Hal ini perlu dilakukan untuk meninggalkan budaya supremasi Priyayi menjadi budaya manunggal dengan rakyatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun