Gaya hidup mewah keluarga pejabat dan pegawai negeri sedang menjadi sorotan. Isu ini bermula ketika kasus pemukulan terhadap David yang dilakukan oleh Mario Dandy. Publik yang geram akan ulahnya, makin kesal setelah melihat beberapa postingan mobil mewah rubicon termasuk moge di medsos pribadinya.Â
Sorotan masyarakat ini kemudian berpindah dan menilisik penghasilan orang tuanya yang ternyata, seorang pejabat PNS di Kementerian Keuangan. Tak hanya itu, publik juga menelusuri gaya hidup dan harta kekayaan seluruh pejabat di lingkungan kementerian keuangan. Hari ini, netizen mulai menyoroti gaya hidup keluarga pejabat pada kementerian lainnya.
Gaya hidup hedonis keluarga para pejabat sebenarnya adalah fenomena gunung di lautan, yang kelihatan baru puncaknya saja. Lemahnya kontrol melekat dari pimpinan sebagai atasan langsung dan inspektorat pengawasan ditengarai sebagai bentuk pembiaran atas penyalahgunaan wewenang dan jabatan yang dilakukan oleh bawahan yakni, oknum PNS.Â
Publik juga mulai mempertanyakan efektivitas LHKPN dan Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan  sebagai mekanisme pencegahan korupsi? Apakah koordinasi yang lemah antar lembaga penegak hukum dijadikan peluang oleh oknum PNS untuk melakukan tindakan  dalam hal ini dugaan korupsi?
Para ahli sempat berdebat, bahwa perilaku pungli atau korup disebabkan gaji dan tunjangan yang diterima oleh pegawai itu kecil atau kurang. Muncullah kebijakan untuk menaikkan tunjangan PNS dan kementerian keuangan termasuk salah satu kementerian yang mendapat fasilitas kebijakan tersebut.Â
Namun, melihat fenomena perilaku hedon, jelas ini bukan karena kurangnya gaji untuk membiayai kebutuhan hidup. Gaya hidup mewah yang diperlihatkan di medsos bahkan melebihi penghasilan selebritis.Â
Besarnya tunjangan yang diterima oleh pegawai tetap akan dirasakan kurang, jika mentalnya memang sudah bobrok dan memilih gaya hidup foya-foya. Pemerintah lupa, bahwa menaikkan gaji atau tunjangan tidak berbanding lurus dengan hidup jujur dan sederhana.
Revolusi mental yang digaungkan saat kampanye oleh Jokowi, belum menyentuh dan merubah pribadi para oknum pegawai negeri sipil untuk hidup jujur dan bertanggung jawab. Sebenarnya gaya hidup seperti ini telah terpola secara turun temurun sejak zaman pemerintah Belanda.Â
Dalam bukunya  "Dari Soal Priayi sampai Nyi Blorong (2002)", sejarawan Ong Hok Ham mengatakan bahwa Jejak birokrasi Indonesia dapat dilihat sejak era maskapai dagang VOC yang dulunya korup dan tradisional hingga menjadikan perusahaan dagang tersebut bangkrut. Korupsi pada masa VOC dilakukan oleh atasan hingga bawahan, ditandai dengan hidup foya-foya, pesta dan dansa-dansa. Proses rekrutmen dan kenaikan karir pegawai bukan berdasarkan merit sistem (keahliannya), tetapi pada hubungan dekatnya pada atasan sebagai patron yang harus dilayani.Â
Lalu, Daendels mereformasi total birokrasi VOC dan mengganti nama PNS Â dengan sebutan "Ambtenaar". Ciri khas dari ambtenaar yaitu berpakaian jas putih-putih, topi helm keras seperti topi baja, dan pergi serta pulang kerja naik sepeda. Jabatan ini menjadi impian dari kebanyakan anak-anak pribumi, karena dipandang bahwa kehidupannya terjamin (Wikipedia.org).Â
Pegawai negeri dan keluarganya pada zaman Belanda mendapat hak istimewa antara lain, gaji yang tinggi, kesehatan terjamin dan sekolah khusus bagi anak-anaknya. Pemerintah Belanda kemudian membedakan rakyat jajahan dengan pegawainya yang disebut sebagai kaum priyayi. Tujuan pembedaan ini, supaya terbagi kelas atau strata di masyarakat sehingga lebih mudah dijajah (devide et impera).Â
Kondisi ini berlanjut hingga Indonesia merdeka sebutan ambtenaar dirubah menjadi pangreh praja (penguasa lokal/rakyat) kemudian terakhir disebut sebagai pamong praja (pelayan rakyat). Sebutan memang berubah, namun perilaku budaya sebagai kaum priyayi atau ningrat terbawa hingga Indonesia merdeka. Hal ini ditandai dengan mengganti bentuk pesta menjadi seremoni jabatan, atribut dan simbol kemegahan pegawai yang tetap diwariskan.
Sebutan pamong praja, pada masa reformasi ini menjadi salah kaprah dan sering disalah artikan. Praja adalah rakyat yang berdasarkan sebutan pada sistem kerajaan zaman dahulu, berbeda dengan rakyat berdasarkan sistem demokrasi di negara egaliter saat ini. Pamong praja pada sistem kerajaan berfungsi memungut upeti (pajak) dan melayani raja, selain bertugas menjaga ketertiban dan melayani masyarakat.Â
Wajar, jika wajah birokrasi saat ini, terbawa suasana historis tersebut dan lebih cenderung melayani atasan sebagai rajanya ketimbang menjadi pelayan/pembantu atau hamba masyarakat. Istilah "jika bisa dipersulit, buat apa dibuat mudah" sering terdengar ketika rakyat membutuhkan pelayanan. Mempersulit layanan agar mendapat upeti merupakan warisan buruk masa lalu, yang sekarang mungkin didengar sebagai "pungli". Birokrasi yang seharusnya melayani kebutuhan masyarakat, malah ingin dan minta dilayani oleh rakyatnya melalui "uang pelicin".Â
Mental priyayi mendapat justifikasi melalui simbol dan atribut yang dipertontonkan ke masyarakat. Otokritik atas penggunaan pakaian dinas yang dikenakan oleh PNS lengkap dengan seluruh lambang kepangkatan di pundaknya patut dipertanyakan. Padahal bukan militer atau polisi, apa pentingnya bagi warga yang membutuhkan pelayanan. Apakah ini merupakan salah satu bentuk simbolik ingin menunjukan kemegahan dan kekuasaan terhadap rakyat? Apa fungsi dan manfaatnya pakaian dinas sipil dengan model kepangkatan bagi masyarakat? Apakah bertujuan untuk menakuti-nakuti rakyat yang sedang membutuhkan layanan melalui lambang dan atribut tersebut? Apakah atribut pakaian tersebut untuk membedakan pegawai dengan rakyat sebagai kawulanya seperti pada sistem kerajaan?Â
Padahal pakaian dinas PNS sebenarnya bisa ditampilkan dengan wajah yang lebih humanis misalnya, pakaian batik korpri atau pakaian bebas atau pakaian daerah supaya lebih dekat dengan rakyatnya.Â
Pakaian dinas Militer dan Polisi berhubung adanya garis komando, wajar jika menggunakan pangkat. Hal ini perlu, agar terkondisi sistem kepatuhan dari bawahan pada perintah atasan termasuk kepatuhan bawahan dari bagian/divisi lainnya.
Mengacu pada teori birokrasi dari Max Weber, pegawai pada masa kerajaan dan penjajahan pada masa lalu terlihat bekerja secara tradisional dan belum menjadi birokrasi modern. Syarat mutlak birokrasi modern menurut Max Weber, pegawainya dapat bekerja secara profesional dengan etos kerja yang legal, rasional dan impersonal. Legal dan impersonal yaitu, pegawai negeri bekerja tidak melanggar hukum dan mampu terbebas dari godaan kolusi maupun korupsi. Harapannya ialah, birokrasi yang ideal dapat terwujud di Republik ini. Birokrasi dapat menjalankan fungsinya sebagai alat yang otonom dan netral serta dapat digunakan oleh negara untuk mencapai tujuannya yaitu mensejahterakan rakyat.Â
Merubah wajah birokrasi tidak dapat dilakukan dalam semalam, perubahan mental perlu dilakukan setiap saat melalui beberapa alternatif :
1. Sistem kenaikan karir pegawai. Penerapan sistem merit dengan pengawasan lembaga eksternal yang independen  diharapkan bisa menghilangkan budaya setoran pada atasan. Bukan rahasia umum, setoran telah menjadi isu dan sebagai syarat apabila seorang pegawai ingin direkrut atau naik pangkat bahkan mendapat jabatan. Ekses perilaku negatif ini adalah contoh kecil yang menjadi perhatian dan perlu diberantas oleh segenap komponen bangsa.
2. penggunaan sistem online secara masif  pada semua layanan perlu dipercepat untuk mengatasi perilaku buruk, korup sisa peninggalan zaman kolonial. Sistem online diharapkan dapat mengurangi tatap muka dan negosiasi antara pelayan dengan rakyat yang ingin dilayani.Â
3. Merubah istilah atau kalimat pada lembaga PNS yang sebenarnya kurang perlu, misalnya Pamong Praja diganti dengan sebutan "pelayan/abdi/pembantu/hamba masyarakat", supaya sama seperti "Public Service" di negara -negara yang lebih egaliter. Pakaian dinas dengan sistem kepangkatan di pundak yang digunakan oleh PNS agar dievaluasi. Hal ini perlu dilakukan untuk meninggalkan budaya supremasi Priyayi menjadi budaya manunggal dengan rakyatnya.
4. Revolusi mental pegawai beserta pejabatnya adalah suatu keharusan dan dijadikan kebutuhan mendesak bagi bangsa ini. Penegakan hukum para oknum pegawai dengan membawa ke meja hijau termasuk menyita asetnya perlu dilakukan secara kontinyu agar ada efek jera bagi pegawai lainnya. Tindakan darurat melalui penegakan hukum, kiranya dapat dilakukan lebih serius agar negara ini dapat terhindar dari kebangkrutan yang dilakukan oleh oknum pegawainya seperti di zaman VOC dulu.Â
5. PNS, perlu didukung agar bisa mereformasi perilaku dirinya. Â Masyarakat juga perlu berubah mentalnya dengan mulai membiasakan diri tidak memberi uang pelicin kepada aparatur negara. Masyarakat yang terbukti melakukan tindakan menyuap atau menyogok oknum PNS, juga perlu diberikan hukuman yang setimpal.
Semoga Bermanfaat dan Salam Demokrasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H