''Enggak! Malah itu yang membuat Mas tertarik melamarmu Din.''
Muka Din bersemu merah jambu mendengar pengakuan jujur dariku. Semakin lucu dan menggemaskan. Lantas aku berpikir begini, gadis muda memang selalu sukses bikin lelaki manapun mabuk, termasuk diriku mungkin.
''Tapi Din...pengidap Bi....''
Aku mengacungkan ibu jari ke muka. ''Tak boleh berkata demikian. Nyatanya kamu bisa berprestasi. Itu menandakan jika dirimu cerdas 'kan?'' Aku menatapnya iba, sementara ia menunduk dengan wajah murung.
''Sudahlah! Lupakan pendapat orang. Mas serius dengan ucapan ini enggak main-main. Minggu depan Mas akan datang ke rumahmu bersama orang tua Mas. Kau tak usah berpikir macam-macam. Mengenai keinginanmu untuk kuliah, kau dapat melakukannya setelah kita menikah nanti. Kau setuju?''
Din diam tak memberi jawaban. Tapi aku yakin diamnya adalah persetujuan. Karena mana mungkin ia menolak, saat kulihat terang-terangan dirinya menampakkan rasa cemburu terhadap Ayu adik angkatku yang kemarin mengunjungiku.
Din cantik, lugu tapi cerdas. Meski ia memiliki satu kekurangan, yakni tervonis sebagai penyandang gangguan kejiwaan yaitu bipolar. Namun aku tulus mencintai dan menerima dia dengan apa adanya.
Noted :
Sepenggal episode novel yang kini masih ditulis penulis, di mana bagian-bagiannya sekarang sedang tayang di salah satu media online.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H